18 April, 2013

Konservasi Hiu Untuk Pariwisata

Oleh: Toni Ruchimat
Menyebut dan mendengar nama Hiu, yang terlintas dalam  benak kita,  sesosok  hewan yang bermukim di laut  dengan  giginya  yang runcing, ganas, dan mampu mencium bau darah  berkilome­ter jauhnya. Hiu adalah ikan, berkembang biak secara ovovivipar artinya telur dierami dan menetas di dalam tubuhnya dan kemudian induknya melahirkan. Hewan ini juga  terma­suk dalam golongan carnivora, yakni pemakan daging. Hidup di perairan laut lepas, hewan ini juga termasuk dalam  kategori hewan buas.
Dalam  mitologi  masyarakat  Kepulauan  Hawaii,  cerita tentang  hiu  sangat menonjol. Ada cerita  yang  menyebutkan keberadaan manusia hiu, yang mempiliki rahang hiu di  bagian belakang kepalanya. Dalam mitos ini, diceritakan makhluk itu bisa  mengubah diri  bergantian,  dari hiu menjadi manusia  dan  sebaliknya dari  manusia menjadi hiu. Manusia-manusia hiu,  diceritakan kerap  memperingati manusia yang berada di pantai, kalau  di perairan itu terdapat hiu. Kalau  peringatan itu tidak diindahkan,  maka  manusia-manusia hiu lah, yang akan menyantap manusia yang berada  di pantai  itu. Dengan begitu, manusia hiu  itu  memperingatkan manusia lain, agar tidak turun ke laut.
Dalam  budaya-budaya Samudra Pasifik lainnya, hiu  juga kerap  disebut dewa hiu, yang juga merupakan  pemakan  jiwa- jiwa  yang  tersesat. Di Yunani kuno, orang  dilarang  makan daging hiu pada festival-festival perempuan. Selain itu data  statistik  global menyebutkan, sekitar  10  orang meninggal  akibat serangan hiu per tahun. Namun  sebaliknya,  100  juta  hiu juga dibunuh oleh orang-orang  serakah  untuk  dikonsumsi. Terutama bagian sirip, yang dimasak untuk  salah satu hidangan Asia yang terkenal, yakni sup sirip hiu. Sekarang  juga sudah ada beberapa perusahaan  obat-oba­tan, yang memproduksi minyak hati ikan hiu (Squalene), untuk meningkatkan kesehatan hati dan jantung.  
Ternyata di balik keganasannya, hiu diburu untuk kebutuhan konsumsi dan obat-obatan yang artinya sebagian besar bagian tubuh hiu bisa dipergunakan, seperti  yang  pernah  terjadi di pantai perairan Cilacap, Jawa Tengah  dan Raja Ampat, Papua Barat, baru-baru ini.   Padahal,   hiu sesungguhnya memiliki peran yang  sangat  penting  dalam ekosistem laut.  Hiu merupakan hewan  pemangsa puncak (top predator). Jadi, keberadaanya sangat berpengaruh terhadap kesehatan ekosistem, yang menjadi habitatnya. Selaku  top predator, hiu menjadi penjaga  keseimbangan ekosistem  laut. Sebagai predator, hiu tidak  hanya  sekedar sebagai pemangsa ikan lainnya. Makan ikan lain, hiu memasti­kan  agar  kondisi ekosistem tetap sehat,  agar  ikan  tetap  berlimpah.

Pasalnya,  sesungguhnya  hiu  merupakan  predator  yang  memakan ikan-ikan lain yang tidak sehat, tua, dan lemah. Ini menjadikan peran dan fungsi keberadaan hiu di ekosistem laut    begitu  vital.  Secara tidak  langsung  mencegah  penyebaran penyakit  yang dibawa oleh ikan sakit, tua, dan lemah  tadi. Alhasil, ekosistem pun menjadi tetap sehat. 
Saat  ini, populasi hiu mengalami penurunan yang  cepat  dan  drastis di seluruh dunia. Ini akibat tekanan  perburuan  yang begitu tinggi. Permintaan akan sirip hiu terus  mening­kat di pasar internasional, disinyalir menjadi pemicu menur­unnya populasi hiu. Sedikitnya  73 juta ekor hiu dibunuh  setiap  tahunnya.  Padahal,  setelah  dibantai, sebagian  besar  hanya  diambil  siripnya saja, sebagai bahan sup. Akibatnya, banyak  spesies  hiu telah mengalami penurunan lebih dari 75 persen.  Bahkan,  untuk  spesies tertentu penurunan populasi mencapai 90  per­sen. Hiu  menjadi  sasaran langsung  maupun  tidak  langsung sebagai  tangkapan sampingan dalam industri perikanan  pela­gis.  Ironisnya, Indonesia menjadi negara eksportir hiu terbesar di dunia.
Kepunahan hiu akan berdampak besar pada  mata rantai makanan di laut. Begitu hiu punah, populasi ikan yang  biasa  menjadi  mangsanya, seperti tuna dan  kerapu  menjadi   meningkat.  Kedua jenis ikan itu akan memangsa ikan-ikan  di bawahnya secara besar-besaran. Tak  pelak  lagi, dalam waktu  singkat  ikan-ikan  yang biasa  dimakan  tuna dan kerapu juga akan  habis.  Kehabisan makanan, memungkinkan kedua ikan itu lambat laun juga menga­lami kepunahan. Saat ini, hiu  memang  tengah menghadapi ancaman besar kepunahan karena perburuan siripnya. Populasi menjadi sangat rentan,  karena  pola  reproduksinya yang lambat.  Padahal seekor  hiu  karang  membutuhkan  waktu  7-15 tahun untuk menjadi  dewasa  secara    seksual.  Setelah  dewasa,  hiu hanya  mampu  bertelur  atau melahirkan  (bergantung  pada jenis hiu), sebanyak 1  -   10     anak  dengan  frekuensi reproduksi satu kali setiap 2  -   3  tahun.
Padahal, dari hasil sebuah penelitian menunjukkan,  hiu  hidup dapat dijadikan  sebagai  obyek pariwisata, dan ini jauh lebih bernilai dari sisi keekonomian dibandingkan hiu mati yang diambil siripnya.  Ada perhi­tungan  yang  menyebutkan,  hiu hidup  untuk  bisnis  wisata bahari bisa memberikan sumbangan devisa sebesar Rp 300  juta sampai dengan Rp 1,8 miliar per tahun . Ini setara dengan Rp 18 miliar selama ikan itu hidup.

Sementara,  hiu yang dijadikan komoditas  ikan  tangkap  dan makanan, hanya dihargai Rp 1,3 juta per ekor. Ini  tentu  saja, sangat jauh dibandingkan bila hiu itu dibiarkan hidup.
The Conference of the Parties to the Convention on International Trade in Endangered Species  (COP CITES) pada bulan Maret tahun 2013 telah memasukkan 4 spesies hiu (3 jenis hiu caping: Scalloped Hammerhead, Great Hummerhead, Smooth Hammerhead dan satu jenis hiu koboy/Oceanic Whitetip Shark) ke dalam daftar Appendik II CITES. Jauh sebelumnya, jenis Hiu Paus/Whale Shark juga telah diatur pada konvensi tersebut.  Ini berarti bahwa kegiatan penangkapan ikan hiu walaupun masih tetap diperbolehkan, namun dengan pengaturan yang ketat. Untuk itu, kementerian kelautan dan perikanan telah menindaklanjutinya dengan langkah-langkah pengelolaan yang lebih baik terhadap sumberdaya ikan hiu di Indonesia.
Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah serius melakukan upaya konservasi Hiu, disamping upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi yang kini telah lebih 16 juta hektar, yang tentunya melalui upaya ini habitat hiu telah memliki tempat yang lebih aman dari penangkapan illegal. Upaya kami melakukan konservasi dan merubah paradigma konservasi yang selama ini dipahami sebagai perlindungan saja tanpa memandang keseimbangan pelestarian dan pemanfaatannya terus dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan untuk mendukung program strategis Blue economy. Selain itu, kontribusi Indonesia dalam konstelasi konservasi ditingkat regional juga mendapat dukungan positif, saat ini CTMPAs (coral triangle marine protected area system) memasuki tahap finalisasi untuk segera diimplementasikan dalam rangka pencapaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi di 6 (enam) negara wilayah Coral triangle. Di tingkat lokal, Pemerintah Raja Ampat juga telah menetapkan Perda yang secara khusus melarang penangkapan hiu dan biota dilindungi lainnya di perairan Raja Ampat.
Upaya perlindungan jenis ikan terus kami kampanyekan dan susun kebijakannya, saat ini sedang disusun beberapa konsep kebijakan perlindungan jenis, diantaranya untuk hiu. Saat ini, inisiasi status perlindungan hiu paus telah memasuki proses legislasi final untuk penetapannya. Hiu paus merupakan salah satu jenis yang memiliki potensi cukup tinggi untuk pengembangan pariwisata bahari, oleh karena itu perlindungan hiu paus akan mendukung kegiatan pariwisata, termasuk meningkatkan aktivitas pemanfaatan pariwisata di kawasan konservasi yang telah berkembang selama ini. Selain itu KKP juga telah memiliki NPOA (National Plan of Action) hiu walaupun belum dilegislasi dan sedang direview mengikuti perkembangan saat ini.
Perlu diketahui, bahwa sebagian tindakan konservasi hiu telah diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas, khususnya untuk jenis hiu tikus. Artinya Kementerian Kelautan dan Perikanan telah cukup serius melakukan upaya konservasi hiu. Saat ini juga Diretorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan bekerjasama dengan WWF, P4KSI dan LIPI sedang menyusun buku status perikanan hiu di Indonesia.
Seluruh upaya serius pengelolaan konservasi hiu ini diharapkan memberi dampak positif bagi  pencitraan  pariwisata  Indonesia di mata dunia. Banyak  wisatawan  yang     berhasil memotret sejumlah eksploitasi hewan secara berlebi­han dan mereka bagikan di dunia maya. Tentu saja hal  terse­but dapat menjadi pencitraan buruk bagi Indonesia di  dunia.
Penulis adalah Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan


Tidak ada komentar: