14 Maret, 2013

Widjo Kongko: Panggilan Hidup Peneliti Tsunami

KOMPAS/AHMAD ARIF

Menjadi ilmuwan di negeri ini, khususnya di bidang ilmu dasar seperti gempa dan tsunami, bukanlah pilihan gampang. Mereka mesti bekerja dalam sepi, minim apresiasi, termasuk juga kesulitan ekonomi. Namun, Widjo Kongko meninggalkan hidup berkecukupan materi dan memilih jalan sepi itu. Ahmad Arif

Suatu siang di akhir Januari 2005. Widjo tiba di Sirombu, Kabupaten Nias, Sumatera Utara, bersama dua rekannya dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta dua ilmuwan tsunami dari Rusia. Mereka tergabung dalam tim peneliti internasional dalam misi survei cepat (rapid survey) terhadap kawasan terdampak tsunami.

Widjo yang baru enam bulan berada di Indonesia setelah menyelesaikan studi pascasarjana tentang tsunami di Iwate University, Jepang, bertugas meneliti pesisir timur Sumatera dan Pulau Nias serta beberapa pulau kecil lain. ”Survei itu untuk mendokumentasikan dampak fisik ataupun nonfisik di kawasan yang dilanda gempa dan tsunami,” katanya.

Sirombu yang berjarak sekitar 900 meter dari laut terdampak cukup parah. Ketinggian tsunami di pesisir Nias itu sekitar 3 meter, meninggalkan jejak kehancuran berupa rumah- rumah rusak dan puing berserakan.

Kemudian, gempa besar kembali terjadi di Samudra Hindia hanya tiga bulan sejak kedatangan Widjo ke Sirombu. Gempa pada Senin, 28 Maret 2005, malam itu pusatnya tak jauh dari Pulau Nias.

Widjo kembali bergabung dengan tim internasional untuk melakukan survei cepat. Sebulan penuh tim ini menelusuri pesisir barat Sumatera dari Padang hingga Aceh.

Terus belajar

Pada 3 April 2005, Widjo tiba kembali ke Sirombu. Kali ini dia datang bersama rekan-rekannya di BPPT dan tim dari Amerika Serikat.

Begitu kapal merapat di Sirombu, Widjo langsung dicekam perasaan bersalah. Desa yang dikunjunginya tiga bulan silam itu rata dengan tanah. Tak satu rumah pun berdiri. Widjo teringat kepada lelaki yang pernah dijumpainya di desa itu.

Dia merasa berdosa dan gagal karena lelaki itu pernah bertanya soal tsunami, dan dia menjawab tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. ”Setidaknya, jika tahu bakal ada tsunami lagi, saya bisa memberinya peringatan,” katanya.

Di atas puing-puing Desa Sirombu, Widjo terduduk lesu. Dia pun bertekad untuk belajar soal tsunami lebih mendalam lagi. ”Saya harus melanjutkan studi agar bisa memberikan peringatan kepada masyarakat soal bahaya tsunami,” ujarnya.

Widjo kemudian aktif mengikuti berbagai simposium, pelatihan, dan penelitian terkait tsunami, di dalam maupun di luar negeri. Pada 2007-2008, Widjo dan Katrin Monecke dari Kent State University serta lima peneliti lain mengebor 100 lokasi di rawa-rawa Suok Timah, Meulaboh, Aceh Barat, sekitar 2 kilometer dari pantai. Hasilnya, ditemukan lapisan tanah yang diduga terbentuk akibat tsunami raksasa di masa lalu. Tsunami itu diperkirakan terjadi dua kali, yaitu antara tahun 780 dan 990 serta tahun 1290-1400.

”Data tersebut terkonfirmasi dengan penggalian serupa di Pulau Phra Thong, Thailand, yang menunjukkan bahwa tsunami yang terjadi sekitar 600 tahun lalu juga berskala global,” katanya. Hasil penelitian di Meulaboh dan Thailand ini diterbitkan bersamaan di jurnal Nature edisi 30 Oktober 2008.

Penemuan tersebut semakin meyakinkan Widjo dengan pilihannya untuk mendalami ilmu tsunami. Jika tsunami pernah terjadi di masa lalu, artinya petaka ini bisa terjadi lagi di masa mendatang. Masyarakat harus bersiap menghadapinya.

Widjo mendapat beasiswa program doktor di Fakultas Teknik Sipil dan Ilmu Geodesi Universitas Gottfried Wilhelm Leibniz, Hannover, Jerman. Pada Desember 2011, dia menyelesaikan disertasinya tentang pemodelan tsunami di selatan Jawa.

Widjo memang memiliki ikatan dengan kawasan selatan Pulau Jawa. Lelaki yang lahir di Purwokerto ini menikah dengan perempuan Cilacap, Evi Yuni Martuti. Keluarga besarnya pun sebagian tinggal di Cilacap.

Selain ikatan emosional, Widjo juga tertantang dengan minimnya data tentang tsunami di kawasan selatan Jawa. ”Padahal, Cilacap yang padat penduduknya, banyak industri, dan topografinya sangat landai ini rentan tsunami,” katanya.

Menurut Widjo, hampir seluruh wilayah Indonesia yang rentan tsunami sebelumnya belum banyak diteliti, dipetakan, apalagi dimodelkan. Padahal, Nusantara merupakan kepulauan di dunia yang paling rentan dilanda tsunami.

Panggilan

Sebelum bergabung dengan BPPT, lulusan Fakultas Teknik Sipil Jurusan Hidrologi Universitas Gadjah Mada ini pernah bekerja di salah satu badan usaha milik negara (BUMN) di bidang konstruksi. Di BUMN itu kariernya melejit. Baru dua tahun bergabung, dia sudah menjadi manajer proyek yang memimpin pembangunan Jembatan Membramo di pedalaman Papua.

Walaupun secara material berkecukupan, Widjo gelisah. Sebagai insinyur teknik sipil, dia ingin ilmu yang dipelajarinya bisa diaplikasikan. ”Selama bekerja, ilmu yang terpakai hanya sedikit. Paling banyak 15 persen. Sebaliknya, saya lebih disibukkan oleh soal-soal nonteknis, seperti lobi- lobi. Korupsi juga membudaya. Saya merasa tidak cocok dengan kultur di dunia kontraktor,” katanya.

Oleh karena itu, begitu proyek pembangunan jembatan selesai pada 1997, Widjo mundur dari BUMN. Banyak temannya di dunia konstruksi, bahkan juga sebagian anggota keluarganya, yang menganggap pilihan Widjo tidak masuk akal. Penghasilannya bekerja di BPPT lebih kecil dibandingkan penghasilannya saat bekerja di BUMN. ”Dari sisi finansial, saya pun awalnya kaget, apalagi saat itu sudah punya anak satu. Untung saja istri sangat mendukung,” ujarnya.

Tiga tahun pertama, Widjo harus tinggal di kontrakan. Beruntung tahun 2000 dia mendapat beasiswa ke Jepang. Keluarganya pun diboyong ke negara tersebut. ”Beasiswa itu menyelamatkan ekonomi keluarga. Selama empat tahu di Jepang, semuanya tertutupi. Susu anak, pendidikan, semuanya dipenuhi,” katanya.

Widjo merasa telah menapak jalan sesuai panggilan hatinya. ”Saya selalu berdoa, apa yang saya pelajari bisa bermanfaat untuk masyarakat. Jangan sampai ilmu ini tidak ada manfaatnya,” katanya.

http://cetak.kompas.com/read/2013/03/13/02452122/panggilan.hidup.peneliti.tsunami

 

Tidak ada komentar: