Oleh Ahmad Arif
Laut yang mengepung Nusantara, selain membawa berkah berupa
kekayaan bahari berlimpah ruah, juga kerap membawa masalah. Salah
satunya, hantaman gelombang yang menggerus garis pantai Indonesia
yang panjangnya mencapai 95.000 kilometer.
Dari puluhan ribu kilometer garis pantai di negeri ini, menurut data Kementerian Pekerjaan Umum (2011), sekitar 20 persennya rusak akibat abrasi. Kerusakan karena abrasi dapat mengancam lahan produktif, pariwisata, permukiman warga, bahkan bisa menyebabkan bergesernya garis perbatasan dengan negara tetangga.
Panjangnya garis pantai itu membuat perlindungan tak mudah. Selain perlindungan alami mangrove, dibutuhkan breakwater atau pemecah gelombang buatan, terutama untuk melindungi pelabuhan. ”Mangrove bisa melindungi garis pantai, tetapi untuk melindungi pelabuhan, tetap butuh breakwater buatan,” kata Aris Subarkah, peneliti pada Balai Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Yogyakarta.
Selama ini, breakwater buatan yang dipakai Indonesia, teknologinya diimpor. Misalnya, model tetrapod—dikenal sebagai lapis lindung beton pertama di dunia—ditemukan di Perancis pada 1950. Dolos yang populer di Indonesia ditemukan ahli Afrika Selatan pada 1963. Adapun A-jack teknologinya ditemukan di Amerika Serikat pada 1998. Teknologi X-bloc ditemukan Belanda pada 2003 dan coreloc-II ditemukan Amerika pada 2006.
Sekalipun terlihat sederhana, berupa susunan beton ditumpuk di pantai, teknologi ini diimpor. ”Sebagai negara maritim, (Indonesia) ternyata belum memiliki teknologi breakwater modern temuan ahli dalam negeri. Kita pakai teknologi yang patennya dimiliki negara lain,” kata Aris.
Dan, beberapa teknologi breakwater ini tak cocok diterapkan di Indonesia. ”Sistem tetrapod sebenarnya tak efisien dan sudah ketinggalan zaman, tetapi masih dipakai. Mungkin karena patennya tak berlaku lagi,” katanya.
M Zuhdan Jauzi dalam Rancang Bangun Komponen Pemecah Gelombang BPPT-lock dan Pengujiannya (2011) menyebutkan, banyak breakwater runtuh akibat kesalahan desain atau kesalahan pembangunan karena tidak sesuai desain teknisnya.
Zuhdan merupakan ketua tim peneliti BPDP-BPPT, yang sejak 2009 berupaya menemukan desain breakwater baru yang lebih cocok dibangun di Indonesia dan lebih ekonomis. Selain Zuhdan, beberapa peneliti BPDP lain terlibat dalam pengembangan breakwater ini, yakni Aris Subarkah, Suranto, Sungsang Urip Sujoko, Wahyu Hendriyono, Bambang Sumanto, Sapto Nugroho, dan Gatot Susatijo.
Inovasi desain
Aris Subarkah mengatakan, sebelum mendesain BPPT-lock, breakwater temuan tim BPPT, langkah pertama adalah menggali kelebihan dan kekurangan breakwater yang ada, meliputi klasifikasinya (tipe dan cara pemasangannya). Selanjutnya, menentukan konsep desain terkait klasifikasi itu dengan mempertimbangkan keunggulan teknis dan ekonominya.
Berdasarkan bentuknya, breakwater diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu kubus (cube, modified cube, antified cube, cob, shed), jangkar ganda (dolos dan akmon), tetraeder (tetrapod, tetrahedron), kombinasi batang (accropode, core-loc, A-jack), serta aneka bentuk lain (tribar, hollow square).
Sementara itu, berdasarkan ukuran dan beratnya, breakwater diklasifikasikan menjadi masif (pejal, sangat besar), bulky (besar, gemuk), dan slender (langsing, ramping). Dan, dari jumlah lapis dalam pemasangan di lapangan, diklasifikasikan dalam lapis tunggal dan lapis ganda.
Setelah mempelajari berbagai desain, BPPT-lock dirancang merujuk pada bentuk-bentuk kontemporer dan memenuhi klasifikasi unit lapis lindung lapis tunggal, pola pemasangan acak, dan berukuran menengah.
Zuhdan menyebut, klasifikasi itu dipilih karena lapis tunggal memiliki kelebihan, antara lain konsumsi beton rendah, proses produksi mudah dan murah, serta penanganan mudah. Adapun pemasangan acak akan memudahkan dalam pelaksanaan. Berukuran menengah karena pada tipe ini dimungkinkan optimalisasi antara stabilitas hidrolik dan stabilitas strukturnya.
Keunggulan
Setelah penelitian dua tahun, akhirnya ditemukan struktur breakwater berbentuk X yang memiliki stabilitas tinggi. Temuan ini diberi nama BPPT-lock dan akhirnya mendapat sertifikat paten nomor: P00201000870 dari Kementerian Hukum dan HAM Indonesia pada Agustus 2012.
Pengujian stabilitas hidrolik di saluran dan kolam gelombang BPDP-BPPT Yogyakarta menunjukkan, desain ini memiliki nilai koefisien stabilitas hidrolik cukup tinggi, yaitu nilai 17 untuk bagian badan (trunk) breakwater dan 13 untuk bagian kepala (head) breakwater.
”Dari hasil uji stabilitas hidrolik, BPPT-lock terbukti memiliki performa yang paling baik dibanding dolos, tetrapod, dan Xbloc,” kata Zuhdan.
Sementara itu, Sungsang Urip menyebutkan, selain kelebihan dalam aspek teknis, BPPT-lock juga memiliki keunggulan ekonomi. Misalnya, untuk membangunnya dibutuhkan beton lebih sedikit. Alasannya, desain ini bertipe lapis tunggal sehingga cukup satu lapis saja dalam menutup breakwater. Selain itu, juga memiliki koefisien stabilitas hidrolik yang besar sehingga dimensi BPPT-lock relatif lebih kecil dibandingkan dengan unit lapis lindung lainnya.
Ia juga mengklaim desain temuan timnya mudah dibuat karena rangka besi pengecoran hanya terdiri dua bagian simetris dan sistem mur-baut bekisting sederhana. ”Dari segi pemasangan di pantai, BPPT-lock dapat dipasang secara acak, namun untuk performa lebih baik dapat dipasang dengan pengaturan sederhana,” katanya.
Lewat keunggulan teknis dan ekonomis, menurut Zuhdan, BPPT-lock layak diterapkan pada bangunan pelindung pantai di Indonesia. Lebih dari sekadar inovasi baru, temuan ini diharapkan meningkatkan kemandirian bangsa maritim yang selama ini menggantungkan teknologi asing dalam membentengi lautnya.
http://cetak.kompas.com/read/2013/02/26/02265234/membentengi.negeri.bahari.
Dari puluhan ribu kilometer garis pantai di negeri ini, menurut data Kementerian Pekerjaan Umum (2011), sekitar 20 persennya rusak akibat abrasi. Kerusakan karena abrasi dapat mengancam lahan produktif, pariwisata, permukiman warga, bahkan bisa menyebabkan bergesernya garis perbatasan dengan negara tetangga.
Panjangnya garis pantai itu membuat perlindungan tak mudah. Selain perlindungan alami mangrove, dibutuhkan breakwater atau pemecah gelombang buatan, terutama untuk melindungi pelabuhan. ”Mangrove bisa melindungi garis pantai, tetapi untuk melindungi pelabuhan, tetap butuh breakwater buatan,” kata Aris Subarkah, peneliti pada Balai Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Yogyakarta.
Selama ini, breakwater buatan yang dipakai Indonesia, teknologinya diimpor. Misalnya, model tetrapod—dikenal sebagai lapis lindung beton pertama di dunia—ditemukan di Perancis pada 1950. Dolos yang populer di Indonesia ditemukan ahli Afrika Selatan pada 1963. Adapun A-jack teknologinya ditemukan di Amerika Serikat pada 1998. Teknologi X-bloc ditemukan Belanda pada 2003 dan coreloc-II ditemukan Amerika pada 2006.
Sekalipun terlihat sederhana, berupa susunan beton ditumpuk di pantai, teknologi ini diimpor. ”Sebagai negara maritim, (Indonesia) ternyata belum memiliki teknologi breakwater modern temuan ahli dalam negeri. Kita pakai teknologi yang patennya dimiliki negara lain,” kata Aris.
Dan, beberapa teknologi breakwater ini tak cocok diterapkan di Indonesia. ”Sistem tetrapod sebenarnya tak efisien dan sudah ketinggalan zaman, tetapi masih dipakai. Mungkin karena patennya tak berlaku lagi,” katanya.
M Zuhdan Jauzi dalam Rancang Bangun Komponen Pemecah Gelombang BPPT-lock dan Pengujiannya (2011) menyebutkan, banyak breakwater runtuh akibat kesalahan desain atau kesalahan pembangunan karena tidak sesuai desain teknisnya.
Zuhdan merupakan ketua tim peneliti BPDP-BPPT, yang sejak 2009 berupaya menemukan desain breakwater baru yang lebih cocok dibangun di Indonesia dan lebih ekonomis. Selain Zuhdan, beberapa peneliti BPDP lain terlibat dalam pengembangan breakwater ini, yakni Aris Subarkah, Suranto, Sungsang Urip Sujoko, Wahyu Hendriyono, Bambang Sumanto, Sapto Nugroho, dan Gatot Susatijo.
Inovasi desain
Aris Subarkah mengatakan, sebelum mendesain BPPT-lock, breakwater temuan tim BPPT, langkah pertama adalah menggali kelebihan dan kekurangan breakwater yang ada, meliputi klasifikasinya (tipe dan cara pemasangannya). Selanjutnya, menentukan konsep desain terkait klasifikasi itu dengan mempertimbangkan keunggulan teknis dan ekonominya.
Berdasarkan bentuknya, breakwater diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu kubus (cube, modified cube, antified cube, cob, shed), jangkar ganda (dolos dan akmon), tetraeder (tetrapod, tetrahedron), kombinasi batang (accropode, core-loc, A-jack), serta aneka bentuk lain (tribar, hollow square).
Sementara itu, berdasarkan ukuran dan beratnya, breakwater diklasifikasikan menjadi masif (pejal, sangat besar), bulky (besar, gemuk), dan slender (langsing, ramping). Dan, dari jumlah lapis dalam pemasangan di lapangan, diklasifikasikan dalam lapis tunggal dan lapis ganda.
Setelah mempelajari berbagai desain, BPPT-lock dirancang merujuk pada bentuk-bentuk kontemporer dan memenuhi klasifikasi unit lapis lindung lapis tunggal, pola pemasangan acak, dan berukuran menengah.
Zuhdan menyebut, klasifikasi itu dipilih karena lapis tunggal memiliki kelebihan, antara lain konsumsi beton rendah, proses produksi mudah dan murah, serta penanganan mudah. Adapun pemasangan acak akan memudahkan dalam pelaksanaan. Berukuran menengah karena pada tipe ini dimungkinkan optimalisasi antara stabilitas hidrolik dan stabilitas strukturnya.
Keunggulan
Setelah penelitian dua tahun, akhirnya ditemukan struktur breakwater berbentuk X yang memiliki stabilitas tinggi. Temuan ini diberi nama BPPT-lock dan akhirnya mendapat sertifikat paten nomor: P00201000870 dari Kementerian Hukum dan HAM Indonesia pada Agustus 2012.
Pengujian stabilitas hidrolik di saluran dan kolam gelombang BPDP-BPPT Yogyakarta menunjukkan, desain ini memiliki nilai koefisien stabilitas hidrolik cukup tinggi, yaitu nilai 17 untuk bagian badan (trunk) breakwater dan 13 untuk bagian kepala (head) breakwater.
”Dari hasil uji stabilitas hidrolik, BPPT-lock terbukti memiliki performa yang paling baik dibanding dolos, tetrapod, dan Xbloc,” kata Zuhdan.
Sementara itu, Sungsang Urip menyebutkan, selain kelebihan dalam aspek teknis, BPPT-lock juga memiliki keunggulan ekonomi. Misalnya, untuk membangunnya dibutuhkan beton lebih sedikit. Alasannya, desain ini bertipe lapis tunggal sehingga cukup satu lapis saja dalam menutup breakwater. Selain itu, juga memiliki koefisien stabilitas hidrolik yang besar sehingga dimensi BPPT-lock relatif lebih kecil dibandingkan dengan unit lapis lindung lainnya.
Ia juga mengklaim desain temuan timnya mudah dibuat karena rangka besi pengecoran hanya terdiri dua bagian simetris dan sistem mur-baut bekisting sederhana. ”Dari segi pemasangan di pantai, BPPT-lock dapat dipasang secara acak, namun untuk performa lebih baik dapat dipasang dengan pengaturan sederhana,” katanya.
Lewat keunggulan teknis dan ekonomis, menurut Zuhdan, BPPT-lock layak diterapkan pada bangunan pelindung pantai di Indonesia. Lebih dari sekadar inovasi baru, temuan ini diharapkan meningkatkan kemandirian bangsa maritim yang selama ini menggantungkan teknologi asing dalam membentengi lautnya.
http://cetak.kompas.com/read/2013/02/26/02265234/membentengi.negeri.bahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar