Reddy (1993) menyatakan bahwa ikan adalah hewan berdarah dingin, yang
suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan
memilih range suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan
aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan
distribusinya. Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap
ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan
pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta
dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling
jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau
memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan
arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling
penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada
spesies-spesies ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim
pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat
memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut.
Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat
pemijahan (spawning ground) dan fishing ground secara periodik (Reddy,
1993).
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin, maka
di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi
pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar
28°C) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan teratas ini sering pula
disebut lapisan homogen. Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut,
lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan
homogen ini sampai ke dasar.
2. Pengaruh arus
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang
dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada
arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yang terletak garis
mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada
organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam
lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan
selalu mengarah menuju arus. (Reddy, 1993).
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas
antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus
(konvergensi dan divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain
(seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan distribusi
lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada
kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya
berada pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan
juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa
berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddi (melalui rantai
makanan). (Reddy, 1993).
3. Pengaruh cahaya
Ikan bersifat fototaktik (responsif terhadap cahaya) baik secara
positif maupun negatif. Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan
pada malam hari, satu fakta yang digunakan dalam penangkapan ikan.
Pengaruh cahaya buatan pada ikan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan
lain dan pada beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam sehari.
Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik ke permukaan sebelum
matahari terbenam. Setelah matahari terbenam, ikan-ikan ini menyebar
pada kolom air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam setelah matahari
terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu siang hari di dasar
selanjutnya naik dan menyebar pada kolom air pada malam hari.
Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah
cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan. Jumlah
cahaya juga mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak langsung,
hal ini diduga berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga mempengaruhi tingkah
laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih
banyak pada malam hari dibandingkan pada siang hari. (Reddy, 1993).
4. Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut
dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan 0/00 (per mil, gram
perliter). Di perairan samudera, salinitas berkisar antara 340/00 –
350/00. Tidak semua organisme laut dapat hidup di air dengan konsentrasi
garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2 kelompok organisme laut,
yaitu organisme euryhaline, yang toleran terhadap perubahan salinitas,
dan organisme stenohaline, yang memerlukan konsentrasi garam yang
konstan dan tidak berubah. Kelompok pertama misalnya adalah ikan yang
bermigrasi seperti salmon, eel, lain-lain yang beradaptasi sekaligus
terhadap air laut dan air tawar. Sedangkan kelompok kedua, seperti udang
laut yang tidak dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang
ekstrim. (Reddy, 1993).
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di
perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan
lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kedalaman 50-70
meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Di lapisan
dengan salinitas homogen suhu juga biasanya homogen, baru di bawahnya
terdapat lapisan pegat dengan degradasi densitas yang besar yang
menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji,
1993).
Volume air dan konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan
dipengaruhi oleh konsentrasi garam pada lingkungan lautnya. Untuk
beradaptasi pada keadaan ini ikan melakukan proses osmoregulasi, organ
yang berperan dalam proses ini adalah insang dan ginjal. Osmoregulasi
memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada perbedaan konsentrasi
garam yang ada antara lingkungan eksternal dan fluida dalam tubuh ikan.
Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi
tergantung tahap kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa.
Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan
reproduksi pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup.
(Reddy, 1993)
5. Oksigen Terlarut / DO (Dissolved Oxigen)
Oksigen sangat penting dalam proses respirasi, komponen ini tersedia
dalam atmosfer dalam jumlah besar dan dalam jumlah kecil dihasilkan oleh
tumbuhan melalui fotosintesis. Respirasi di perairan memerlukan oksigen
dari dalam air dan menghilangkan limbah karbon dioksida. Insang adalah
tempat di mana pertukaran gas terjadi pada sebagian besar jenis ikan,
meskipun ada juga beberapa jenis ikan yang bernafas melalui kulit.
Biasanya laju konsumsi oksigen dapat digunakan untuk mengukur intensitas
metabolismenya. Laju ini dipengaruhi oleh ukuran ikan dan karakteristik
air seperti suhu dan kandungan CO2. (Reddy, 1993).
Kandungan oksigen dalam air laut bervariasi terhadap suhu dan
kedalaman. Pada sebagian besar lapisan permukaan laut, kandungan oksigen
dalam air bervariasi dalam batas yang relatif sempit. Tetapi, di bawah
lapisan termoklin, dekat dasar dan di beberapa daerah tropis kandungan
oksigen bisa sangat rendah dan sangat mempengaruhi ikan maupun komunitas
bentik yang lain. Migrasi ikan ke arah pantai pada beberapa jenis ikan
dikontrol oleh kandungan oksigen dalam air. Perairan pantai kaya akan
oksigen tetapi miskin makanan. Perairan yang lebih dalam di lepas pantai
mengandung banyak makanan tetapi hanya sedikit oksigen sehingga ikan
tidak dapat tetap berada dalam lapisan ini dalam waktu yang lama.
6. Nutrien
Di antara beberapa nutrien yang ada di air laut, yang paling penting
untuk kebutuhan biologis ikan adalah fosfat, nitrat, dan silikat karena
komponen ini merupakan nutrien penting yang diperlukan untuk pertumbuhan
plankton di laut. Nutrien diperlukan oleh tumbuhan untuk pembentukan
molekul protein. Pada umumnya hewan mendapatkan protein secara langsung
atau tidak langsung dari tumbuhan. Permukaan laut mendapat pasokan
nutrien-nutrien tersebut terutama dari air pedalaman yang dibawa oleh
air sungai, dan dari dasar perairan yang dalam. Air dari perairan yang
sangat dalam menuju ke permukaan laut selama terjadi arus naik
(upwelling) yang disebabkan oleh arus sepanjang pantai, atau sebagai
hasil dari perubahan suhu yang menghasilkan konveksi arus (sirkulasi
vertikal air), atau yang lainnya sebagai konsekuensi dari pertemuan arus
horizontal, suhu hangat dan dingin. Hal ini menyediakan zona photik di
lautan yang kaya nutrien, dengan demikian menimbulkan pertumbuhan
phytoplankton yang melimpah, diikuti zooplankton dan ikan yang melimpah
pula di daerah tersebut. (Reddy, 1993).
Pada beberapa daerah tropis, pengaruh perbedaan musim terhadap
konsentrasi phospat pada peraian pantai lebih sedikit daripada pada
daerah beriklim sedang. Selama periode monsoon, phospat akan melimpah
sepanjang pantai. Jumlah silikat di perairan pantai secara umum tinggi
jika dibandingkan sebelumnya sebagai akibat run off dari daratan.
7. Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke
lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih
dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan
(Nontji, 1993). Menurut Barnes (1988), proses upwelling ini dapat
terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, pada waktu arus dalam (deep current)
bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge
bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan
selanjutnya air mengalir deras ke permukaan. Kedua, ketika dua massa air
bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di bawah
pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke
selatan di bawah pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan
menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana
massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang
bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini
terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut. Ketiga,
upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat
tiupan angin darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini
membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan
ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di
bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan
karena terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik
ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi
dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan
nitrat naik ke permukaan (Nontji, 1993). Selain itu proses air naik
tersebut disertai dengan produksi plankton yang tinggi. Di perairan
Selat Makasar bagian selatan diketahui terjadi upwelling. Proses
terjadinya upwelling tersebut disebabkan karena pertemuan arus dari
Selat Makasar dan Laut Flores bergabung kuat menjadi satu dan mengalir
kuat ke barat menuju Laut Jawa. Dengan kondisi demikian dimungkinkan
massa air di permukaan di dekat pantai Ujung Pandang secara cepat
terseret oleh aliran tersebut dan untuk menggantikannya massa air dari
lapisan bawah naik ke atas. Menurut (Nontji, 1993), proses air naik di
Selat Makasar bagian selatan ini terjadi sekitar Juni sampai September
dan berkaitan erat dengan sistem arus.
Air laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu tinggi,
salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah. Sebaliknya pada lapisan
yang lebih dalam air laut mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan
kandungan zat hara yang lebih tinggi. Pada waktu terjadinya upwelling,
akan terangkat massa air dari lapisan bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang tinggi (Sverdurp, 1942
vide Setiawan, 1991; Reddy 1993). Keadaan ini mengakibatkan air laut di
lapisan permukaan memiliki suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat
hara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa air laut sebelum
terjadinya proses upwelling ataupun massa air sekitarnya. Sebaran suhu,
salinitas, dan zat hara secara vertikal maupun horisontal sangat
membantu dalam menduga kemungkinan terjadinya upwelling di suatu
perairan. Pola-pola sebaran oseanografi tersebut digunakan untuk
mengetahui jarak vertikal yang ditempuh oleh massa air yang terangkat.
Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat
dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu
perairan (Birowo dan Arief, 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi
penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara
dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut
merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan
fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan,
maka proses air naik selalu dihubungkan dengan meningkatnya
produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan
meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut (Pariwono et al, 1988).
Upwelling di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura,
selatan Jawa hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan
diduga terjadi di Laut Maluku, Laut Halmahera, Barat Sumatra, serta di
Laut Flores dan Teluk Bone (Nontji, 1993). Upwelling berskala besar
terjadi di selatan Jawa, sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali
dan Selat Makasar (Birowo dan Arief, 1983). Menurut (Nontji 1993),
upwelling di perairan Indonesia bersifat musiman terjadi pada Musim
Timur (Mei-September), hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat
antara upwelling dan musim.
8 . Plankton dan Bentos
Plankton adalah organisme kecil yang keberadaannya mengambang bebas
di kolom perairan, beberapa diantaranya tidak mempunyai alat pergerakan,
pergerakannya mengikuti arus gelombang. Plankton dibedakan menjadi
phytoplankton (tumbuhan) dan zooplankton (hewan). Phytoplankton terdiri
dari tumbuhan mikroskopik, diatom, flagellata dan alga biru-hijau
sedangkan zooplankton terdiri dari bermacam-macam spesies yang
dikelompokkan dalam beberapa genera. Phytoplankton sangat penting untuk
kehidupan di laut karena kemampuannya mensistesis makanannya sendiri
dari bahan inorganik. Pola makan-dimakan di lautan menunjukkan sebuah
jaring-jaring makanan. Zooplankton, karnivora kecil, merupakan jaring
pertama dalam rantai makanan; biasanya mereka memakan phytoplankton, zooplankton dimakan ikan, dan selanjutnya ikan dimakan
oleh predatornya. Plankton mempunyai peranan yang penting dalam
kehidupan ikan karena mereka berperan pada kelangsungan hidup larva ikan
dan rekruitmen. Biasanya daerah yang kaya phytoplankton juga kaya
zooplankton dan keberadaan ikan yang melimpah (Reddy, 1993).
Organisme
laut yang menetap di dasar laut (benthos) ada yang bergerak dan ada yang
menetap. Organisme bentik merupakan komponen yang penting dalam jaring
makanan di laut. Ikan demersal secara langsung memakan fauna benthik.
Tahapan larva ikan pelagis banyak ditemukan di daerah demersal. Jadi
keberadaan benthos juga berpengaruh dalam memasok ikan pelagis.
Intensitas biomas benthik berhubungan dengan kepadatan ikan dan udang di
suatu wilayah. Rata-rata jumlah dan berat organisme benthik mempunyai
korelasi dengan produksi ikan demersal dan faktor oseanografi. (Reddy,
1993). 2.3.9 Front Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang
mempunyai karakteristik berbeda, misal pertemuan antara massa air dari
Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih
dingin (Bidang Matra Laut-LAPAN, 1997). Daerah front ditandai dengan
gradien suhu permukaan laut yang sangat jelas antara kedua sisi front
(Setiawan, 1991). Robinson (1991) menyatakan bahwa front penting dalam
hal produktivitas perairan laut karena cenderung membawa bersama-sama
air yang dingin dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan yang
lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari suhu dan peningkatan
kandungan hara yang timbul dari percampuran ini akan meningkatkan
produktivitas plankton. Hal ini akan ditunjukkan dengan meningkatnya
stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa
air merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang
cepat dan ombak yang besar.
Lihat Artikel Siraman Rohani Lainnya
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar