11 November, 2012

Selamatkan Terumbu Karang Aceh

MENJAGA NUSANTARA

KOMPAS

Dua aktivis lingkungan dari Ocean Diving Club (ODC), didampingi aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, mengadakan observasi terumbu karang di Pantai Lhok Me, Aceh Besar, Minggu (8/7). Aktivitas ini bertujuan menyelamatkan biota laut dari kerusakan. 
______________________________________________________________________________________

Aceh mempunyai wilayah pesisir terpanjang di Sumatera. Tak pelak, sektor perikanan pesisir pun memegang peran vital bagi warga di provinsi ini. Namun, kian menyusutnya terumbu karang menjadi ancaman besar bagi sektor ini. Sejumlah organisasi pun kini tergerak untuk melakukan penyelamatan.

Marwandi (22) dan Fauzan Aulia (21) selesai memasang perlengkapan selam di tubuhnya. Mahasiswa anggota Ocean Diving Club (ODC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, itu lalu duduk di bibir perahu dan bersiap menceburkan diri ke dasar Pantai Lhok Me, Aceh Besar. Mereka, pekan lalu, akan mengamati pertumbuhan terumbu karang yang ditransplantasikan sebulan sebelumnya.

Upaya penyelamatan terumbu karang yang dilakukan ODC Unsyiah di Pantai Lhok Me, Lampanah-Leungah, Aceh Besar, itu dilakukan bersama Jaringan Kuala Aceh dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh.

Marwandi menuturkan, bulan lalu ODC dan Jaringan Kuala Aceh membuat transplantasi terumbu karang di pantai itu. Transplantasi untuk memperbaiki kembali terumbu karang yang rusak itu dilakukan dengan cara mencangkokkan karang yang masih bagus dengan media semen ke karang yang rusak.

”Dalam penyelaman ini kami mengamati perkembangan transplantasi itu. Perkembangannya bagus,” kata dia.

Selain mengamati hasil transplantasi, penyelaman rutin juga sebagai bagian dari upaya advokasi ODC dan organisasi pencinta lingkungan di Aceh. Advokasi itu terkait rencana dua perusahaan penambangan pasir besi untuk menyedot pasir besi di Pantai Lampanah-Leungah, termasuk di Pantai Lhok Me, yang mengancam terumbu karang. Perusahaan itu berargumen, di sepanjang Pantai Lampanah Leungah tak ada terumbu karang sehingga bisa dilakukan penambangan di wilayah itu.

”Dari hasil pengamatan kami dengan ODC, terumbu karang itu masih ada di sini. Ikan masih menjadikannya sebagai tempat untuk memijahkan telur. Tidak selayaknya pantai ini dijadikan penambangan pasir besi,” imbuh Sekretaris Jenderal Jaringan Kuala Aceh, Marzuki.

Terancam musnah

Terumbu karang di Pantai Lampanah-Leungah adalah sedikit yang masih tersisa di wilayah pesisir Aceh, yang mendesak untuk diselamatkan. Pertambangan juga hanya salah satu faktor penyebab hancurnya terumbu karang di provinsi ini.

Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh mencatat setiap tahun 7 persen terumbu karang di provinsi itu hilang. Padahal, akibat tsunami pada 26 Desember 2004, luasan terumbu karang terkikis antara 40-75 persen, hingga tinggal tersisa 89.652 hektar. Dengan kondisi itu, kurang dari 15 tahun lagi terumbu karang di Aceh akan musnah.

Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain, dan asuhan bagi berbagai biota. Selain itu, terumbu karang juga menghasilkan bermacam jenis ikan karang, udang karang, lobster, alga, teripang, dan mutiara.

Marzuki mengatakan, faktor manusia masih menjadi penyebab utama hancurnya terumbu karang di Aceh. Masih banyak nelayan yang nekat memakai jaring trawl dan bahan peledak untuk menangkap ikan.

Akibat langsungnya pun kini mulai dirasakan nelayan di sejumlah pesisir Aceh. Saifuddin (45), nelayan di Lampulo, Banda Aceh, menuturkan, lima tahun terakhir sangat sulit menangkap ikan di pinggir pantai. Padahal, sebelum terumbu karang dan mangrove di kawasan pesisir Banda Aceh musnah, nelayan setempat bisa memancing ikan berbagai jenis di pinggir pantai.

”Sekarang untuk mendapatkan ikan bawal atau ikan besar, kami harus melaut ke tengah. Padahal, untuk ke tengah biayanya besar,” kata dia.

Kepala Seksi Pengelolaan Pesisir dan Konservasi Taman Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Abdus Syakur menuturkan, berkurangnya terumbu karang menjadi ancaman bagi perekonomian masyarakat pesisir. Ulah manusia menjadi penyebab utama.

Ia menuturkan, dengan garis pantai sepanjang 2.666,27 kilometer (km), Aceh memiliki nelayan yang sangat besar, yakni 61.768 keluarga dengan 58 persen adalah nelayan tetap serta sisanya nelayan paruh waktu. Dari jumlah itu, 25 persen nelayan berada di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan nelayan itu menjadi angka kemiskinan tertinggi dibandingkan dengan sektor kehidupan apa pun di Aceh, yang rata-rata berada pada angka 20 persen.

”Akibat kemiskinan itu, masyarakat pesisir banyak yang mencari nafkah dengan merusak, misalnya dengan menebang hutan mangrove atau menangkap ikan dengan bom,” kata Syakur.

Sosialisasi

Untuk mengurangi persoalan itu, Jaringan Kuala Aceh dan sejumlah organisasi pencinta lingkungan beberapa waktu terakhir giat mengadakan sosialisasi. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan memberdayakan kembali Panglima Laot, institusi adat masyarakat pesisir, untuk menjaga kelestarian lingkungan laut, khususnya terumbu karang dan mangrove.

”Panglima Laot dahulu berperan dalam menjaga lingkungan laut di Aceh. Mereka tak hanya menentukan hari baik untuk melaut, tetapi juga melarang penebangan pohon atau mangrove dan merusak terumbu karang pada nelayan di kampungnya. Mereka dipatuhi sebagai institusi adat. Namun, sejak zaman Orde Baru, peran mereka hilang,” ujar Marzuki.

Jaringan Kuala berusaha terus menggali peran lama Panglima Laot. Mereka mendampingi Panglima Laot di sejumlah kampung nelayan untuk berperan aktif mengajak masyarakat menjaga lingkungan.

”Dari segi karisma memang Panglima Laot kini sudah turun di masyarakat. Ini yang terus kami dampingi dan kuatkan agar peran Panglima Laot kembali dipandang,” kata dia.

Pawang Hatta, Panglima Laot Kecamatan Lhong, Aceh Besar, menambahkan, kesadaran nelayan di wilayahnya untuk menjaga terumbu karang saat ini sudah semakin baik. 

Tidak ada komentar: