MENJAGA NUSANTARA
KOMPAS
Dua
aktivis lingkungan dari Ocean Diving Club (ODC), didampingi aktivis
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, mengadakan observasi terumbu
karang di Pantai Lhok Me, Aceh Besar, Minggu (8/7). Aktivitas ini
bertujuan menyelamatkan biota laut dari kerusakan.
______________________________________________________________________________________
Aceh
mempunyai wilayah pesisir terpanjang di Sumatera. Tak pelak, sektor
perikanan pesisir pun memegang peran vital bagi warga di provinsi ini.
Namun, kian menyusutnya terumbu karang menjadi ancaman besar bagi sektor
ini. Sejumlah organisasi pun kini tergerak untuk melakukan
penyelamatan.
Marwandi (22) dan Fauzan Aulia (21) selesai memasang
perlengkapan selam di tubuhnya. Mahasiswa anggota Ocean Diving Club
(ODC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, itu lalu duduk di bibir
perahu dan bersiap menceburkan diri ke dasar Pantai Lhok Me, Aceh Besar.
Mereka, pekan lalu, akan mengamati pertumbuhan terumbu karang yang
ditransplantasikan sebulan sebelumnya.
Upaya penyelamatan terumbu karang yang dilakukan ODC
Unsyiah di Pantai Lhok Me, Lampanah-Leungah, Aceh Besar, itu dilakukan
bersama Jaringan Kuala Aceh dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh.
Marwandi menuturkan, bulan lalu ODC dan Jaringan Kuala
Aceh membuat transplantasi terumbu karang di pantai itu. Transplantasi
untuk memperbaiki kembali terumbu karang yang rusak itu dilakukan dengan
cara mencangkokkan karang yang masih bagus dengan media semen ke karang
yang rusak.
”Dalam penyelaman ini kami mengamati perkembangan transplantasi itu. Perkembangannya bagus,” kata dia.
Selain
mengamati hasil transplantasi, penyelaman rutin juga sebagai bagian
dari upaya advokasi ODC dan organisasi pencinta lingkungan di Aceh.
Advokasi itu terkait rencana dua perusahaan penambangan pasir besi untuk
menyedot pasir besi di Pantai Lampanah-Leungah, termasuk di Pantai Lhok
Me, yang mengancam terumbu karang. Perusahaan itu berargumen, di
sepanjang Pantai Lampanah Leungah tak ada terumbu karang sehingga bisa
dilakukan penambangan di wilayah itu.
”Dari hasil pengamatan kami dengan ODC, terumbu
karang itu masih ada di sini. Ikan masih menjadikannya sebagai tempat
untuk memijahkan telur. Tidak selayaknya pantai ini dijadikan
penambangan pasir besi,” imbuh Sekretaris Jenderal Jaringan Kuala Aceh,
Marzuki.
Terancam musnah
Terumbu
karang di Pantai Lampanah-Leungah adalah sedikit yang masih tersisa di
wilayah pesisir Aceh, yang mendesak untuk diselamatkan. Pertambangan
juga hanya salah satu faktor penyebab hancurnya terumbu karang di
provinsi ini.
Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh mencatat setiap
tahun 7 persen terumbu karang di provinsi itu hilang. Padahal, akibat
tsunami pada 26 Desember 2004, luasan terumbu karang terkikis antara
40-75 persen, hingga tinggal tersisa 89.652 hektar. Dengan kondisi itu,
kurang dari 15 tahun lagi terumbu karang di Aceh akan musnah.
Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan,
tempat bermain, dan asuhan bagi berbagai biota. Selain itu, terumbu
karang juga menghasilkan bermacam jenis ikan karang, udang karang,
lobster, alga, teripang, dan mutiara.
Marzuki mengatakan, faktor manusia masih menjadi
penyebab utama hancurnya terumbu karang di Aceh. Masih banyak nelayan
yang nekat memakai jaring trawl dan bahan peledak untuk menangkap ikan.
Akibat langsungnya pun kini mulai dirasakan nelayan di
sejumlah pesisir Aceh. Saifuddin (45), nelayan di Lampulo, Banda Aceh,
menuturkan, lima tahun terakhir sangat sulit menangkap ikan di pinggir
pantai. Padahal, sebelum terumbu karang dan mangrove di kawasan pesisir
Banda Aceh musnah, nelayan setempat bisa memancing ikan berbagai jenis
di pinggir pantai.
”Sekarang untuk mendapatkan ikan bawal atau ikan
besar, kami harus melaut ke tengah. Padahal, untuk ke tengah biayanya
besar,” kata dia.
Kepala Seksi Pengelolaan
Pesisir dan Konservasi Taman Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh
Abdus Syakur menuturkan, berkurangnya terumbu karang menjadi ancaman
bagi perekonomian masyarakat pesisir. Ulah manusia menjadi penyebab
utama.
Ia menuturkan, dengan garis pantai sepanjang
2.666,27 kilometer (km), Aceh memiliki nelayan yang sangat besar, yakni
61.768 keluarga dengan 58 persen adalah nelayan tetap serta sisanya
nelayan paruh waktu. Dari jumlah itu, 25 persen nelayan berada di bawah
garis kemiskinan. Angka kemiskinan nelayan itu menjadi angka kemiskinan
tertinggi dibandingkan dengan sektor kehidupan apa pun di Aceh, yang
rata-rata berada pada angka 20 persen.
”Akibat kemiskinan itu, masyarakat pesisir banyak
yang mencari nafkah dengan merusak, misalnya dengan menebang hutan
mangrove atau menangkap ikan dengan bom,” kata Syakur.
Sosialisasi
Untuk mengurangi persoalan itu, Jaringan Kuala Aceh
dan sejumlah organisasi pencinta lingkungan beberapa waktu terakhir giat
mengadakan sosialisasi. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan
memberdayakan kembali Panglima Laot, institusi adat masyarakat pesisir,
untuk menjaga kelestarian lingkungan laut, khususnya terumbu karang dan
mangrove.
”Panglima Laot dahulu berperan dalam menjaga
lingkungan laut di Aceh. Mereka tak hanya menentukan hari baik untuk
melaut, tetapi juga melarang penebangan pohon atau mangrove dan merusak
terumbu karang pada nelayan di kampungnya. Mereka dipatuhi sebagai
institusi adat. Namun, sejak zaman Orde Baru, peran mereka hilang,” ujar
Marzuki.
Jaringan Kuala berusaha terus menggali peran lama
Panglima Laot. Mereka mendampingi Panglima Laot di sejumlah kampung
nelayan untuk berperan aktif mengajak masyarakat menjaga lingkungan.
”Dari segi karisma memang Panglima Laot kini sudah turun di
masyarakat. Ini yang terus kami dampingi dan kuatkan agar peran Panglima
Laot kembali dipandang,” kata dia.
Pawang
Hatta, Panglima Laot Kecamatan Lhong, Aceh Besar, menambahkan, kesadaran
nelayan di wilayahnya untuk menjaga terumbu karang saat ini sudah
semakin baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar