Semakin Banyak Pengawas, Semakin Minim Penyelewengan
Memiliki lahan parkir adalah usaha yang sangat menggiurkan. Hanya dengan
bermodal lahan dan tiket parkir, uang ratusan ribupun mengalir setiap hari.
Keuntungan akan bertambah jika tiket parkir tertulis, “Petugas parkir tidak
bertanggung jawab terhadap barang yang hilang/rusak.” Resiko rugipun nol
persen. Lebih menguntungkan lagi jika
tak perlu memiliki lahan sendiri, cukup menggunakan fasilitas negara seperti
trotoar maupun bahu jalan, itulah parkir ilegal. Uang pengelolaan pun tak perlu
dibagi.
Tak heran jika lahan-lahan parkir menjadi perebutan preman-preman. Siapa
yang kuat, dialah penguasa lahan parkir ilegal. Begitu pula yang terjadi dalam
egosektoral. Pemerintah antar lembaga tarik-menarik pengelolaan lahan ‘basah’. Menggunakan
fasilitas atau kewenangan negara untuk keuntungan pribadi. Pada tulisan ini
mari kita fokuskan pada sektor Perikanan dan Kelautan, karena sektor ini
berhubungan dengan air maka pasti akan basah.
Perikanan dan Kelautan merupakan Kementerian termuda yang dilahirkan
oleh Presiden ke 4 RI, KH.Abdurrahman Wahid. Lahirnya Kementerian ini karena
sangat disadari bahwa sebagai negara kepulauan fokus pembangunan selama ini
masih didarat, padahal kekayaan laut lebih melimpah. Pada awal pembentukannya
hingga sekarang, beberapa bidang yang terkait erat dengan perikanan masih
menempel pada kementerian lain masih enggan untuk dilepas dan diserahkan
pengelolaannya pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Terumbu karang, Mangrove, Ikan Napoleon, dan Ikan Arwana, pengelolaannya
masih di dalam lemari Kementerian Pertanian. Kendatipun sudah ada usaha dari
KKP untuk menyerahkan pengelolaan tersebut agar tidak terjadi ambigu
pengelolaan, Kementerian pertanian masih enggan menyerahkan. Akibatnya, ketika
terjadi pelanggaran dilapangan terkait dengan hal tersebut diatas, KKP hanya
mampu memberi peringatan. Beda halnya jika pengelolaan tersebut telah
diserahkan pada KKP, maka penindakan hukum dapat langsung dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan seperti yang tertuang dalam UU
No 45 Tahun 2010 tentang Perikanan.
Sesuai dengan UU No 45 Tahun 2010 perubahan dari UU No 31 tahun 2004 Tentang
Perikanan, dalam hal pengelolaan perlu
dilakukan pengawasan dalam hal ini dilakukan oleh Pengawas Perikanan. Terkait
dengan Pengawasan Perairan untuk mencegah dan menindak IUU (Ilegal, Unreported,
Unregulated) pengawasan dilakukan oleh Angakatan Laut, Polisi Air, dan Pengawas
Perikanan.
Menurut hemat penulis, ini merupakan kemajuan luar biasa untuk
mencegah perlakuan Laut sebagai ‘Lahan Parkir’ penegak hukum. Selama ini
pelaku IUU dari Negeri tetangga sangat luar biasa, sehingga menyebabkan
kerugian yang tidak sedikit. Para pelaku IUU mulai gelagapan ketika Pengawas
Perikanan melalui Kapal Pengawasnya mengobrak-abrik mereka. Jumlah pelaku IUU yang
tertangkap dari negara tetangga meningkat signifikan. Itu semua karena Kapal
Putih, sebutan Kapal Pengawas oleh Nelayan asing, tidak bisa di suap. Penuturan
ini penulis dapatkan dari hasil bincang-bincang dengan nelayan asal Vietnam dan
Thailand.
Logikanya seperti ini, misal,
jika selama puluhan tahun pelaku pengawasan laut dilakukan oleh Angkatan Laut
dan Pol Air yang bisa disuap, maka laut Indonesia tak pernah sepi dari pelaku
IUU. Bahkan para aparat yang seharusnya mengamankan Perairan laut sekaligus
pengayom nelayan nasoinal, malah menjadi centeng
pelaku IUU. Namun, sejak lahirnya PSDKP, para pelaku IUU perlu dana segar baru
jika hendak menyuap PSDKP, itupun jika kapal putih bisa disuap. Alhasil,
kapal-kapal pelaku usaha kotor inipun ditangkap, diadili, dan membayar denda
pada negara untuk pemulihan Sumberdaya. Selanjutnya, para pelaku usaha geram
akan kedatangan PSDKP dan mengadulah pada centeng
peliharaan mereka agar PSDKP bisa diajak kerjasama. Tak mampu melalui jalur kotor, usaha terus dilakukan melalui
jalur politik agar PSDKP tertekan dan kehilangan wewenangnya dalam penegakan
hukum. Maka lahirlah Surat dari Menteri POLHUKAM agar PSDKP tidak lagi
melakukan penegakan hukukm dilaut. Maka kembalilah centeng-centeng ini yang
menguasai laut dan ‘mengamankan’ tuan mereka. Jadi, intinya semakin banyak
lembaga yang melakukan penegakan hukum, maka kegiatan suap menyuap bisa
diminimlisir. Sekali lagi paragraf ini
hanyalah pengandaian yang ada di Kepala penulis.
Kembali pada lahan parkir, sekalipun para preman-preman tersebut
berkuasa jika para satpol PP tegas melakukan pembinaan, maka tidak akan
berserakan lahan-lahan parkir ilegal disepanjang jalan. Perlu diingat,
kejahatan terjadi karena ada kesempatan, pengawasan yang lemah dan ketegasan
aparat yang terlambat.
Akhir katabagi pengawas jadilah
manuasia yang
Tidak mudah puas
Tidak mudah percaya
Dan tidak mudah terpukau
“Beriman dan bertaqwa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar