Jurnas.com | USAHA
penambangan di pesisir Suramadu diputuskan untuk untuk berhenti
sementara (moratorium). Hal ini menjadi salah satu rekomendasi yang
dihasilkan dari diskusi dengan Dinas ESDM, BLH Jawa Timur, dan PT Gora
Gahana di DPRD Jawa Timur, Senin (25/6).
Audiensi tersebut dilakukan menyusul penolakan nelayan di Selat Madura atas rencana pengerukan pasir oleh PT Gora Gahana untuk dipakai jadi material penimbunan untuk reklamasi wilayah Teluk Lamong seluas 540 hektar (ha). Alasan para nelayan menolak karena mereka mendapati kerusakan lingkungan akibat pengerukan tersebut.
"Moratorium itu sesuai putusan MK yang membatalkan HP3 dan ketentuan Pasal 35 bagian i dalam UU tentang pengelolan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Koordinator Program LSM Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Abdul Halim melalui pesan tertulis kepada Jurnal Nasional, Selasa (26/6).
Dalam diskusi tersebut juga direkomendasikan agar ada peninjauan ulang terhadap izin Amdal PT Gora Gahana sesuai ketentuan Pasal 22-32 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Perpres Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Pembicaraan damai nelayan dengan para pemangku kepentingan di Jawa Timur ini terlaksana usai mereka menyampaikan penolakan resmi kepada Komisi D dan A DPRD Jawa Timur.
"Alasan mereka karena secara teknis pengerukan itu menimbulkan kerusakan lingkungan ekologis dan merugikan masyarakat, nelayan tradisional, secara sosial dan budaya," tutur Abdul.
Sebelumnya, Juru Bicara Forum Masyarakat Pesisir Suramadu, Hasyim, menjelaskan bahwa akibat dari pengerukan pasir yang dilakukan PT Gora Gahana menyebabkan nelayan kesulitan mendapatkan ikan. "Sejak 2006 kami kesulitan menangkap lobster dan menikmatinya. Dan kami alami kerugian material akibat pengerukan pasir mencapai Rp2,6 Triliun," ucapnya. Mustari sebagai penyelam tradisional asal Nambangan Surabaya pun menolak rencana pengerukan tersebut karena merusak ekosistem bawah laut Selat Madura. Ia mendapati di dasar laut muncul lubang-lubang bekas pengerukan pasir yang berakibat pada musnahnya kehidupan biota laut. "Ujungnya adalah menurunnya pendapatan nelayan dan penyelam," kata dia. Kondisi bertolak belakang dengan amanat Pasal 35 (i) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil baik secara langsung atau tidak dilarang melakukan penambangan pasir yang menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, serta merugikan Masyarakat sekitar.
Sumber: http://www.jurnas.com/mobile-news/64714
Audiensi tersebut dilakukan menyusul penolakan nelayan di Selat Madura atas rencana pengerukan pasir oleh PT Gora Gahana untuk dipakai jadi material penimbunan untuk reklamasi wilayah Teluk Lamong seluas 540 hektar (ha). Alasan para nelayan menolak karena mereka mendapati kerusakan lingkungan akibat pengerukan tersebut.
"Moratorium itu sesuai putusan MK yang membatalkan HP3 dan ketentuan Pasal 35 bagian i dalam UU tentang pengelolan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Koordinator Program LSM Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Abdul Halim melalui pesan tertulis kepada Jurnal Nasional, Selasa (26/6).
Dalam diskusi tersebut juga direkomendasikan agar ada peninjauan ulang terhadap izin Amdal PT Gora Gahana sesuai ketentuan Pasal 22-32 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Perpres Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Pembicaraan damai nelayan dengan para pemangku kepentingan di Jawa Timur ini terlaksana usai mereka menyampaikan penolakan resmi kepada Komisi D dan A DPRD Jawa Timur.
"Alasan mereka karena secara teknis pengerukan itu menimbulkan kerusakan lingkungan ekologis dan merugikan masyarakat, nelayan tradisional, secara sosial dan budaya," tutur Abdul.
Sebelumnya, Juru Bicara Forum Masyarakat Pesisir Suramadu, Hasyim, menjelaskan bahwa akibat dari pengerukan pasir yang dilakukan PT Gora Gahana menyebabkan nelayan kesulitan mendapatkan ikan. "Sejak 2006 kami kesulitan menangkap lobster dan menikmatinya. Dan kami alami kerugian material akibat pengerukan pasir mencapai Rp2,6 Triliun," ucapnya. Mustari sebagai penyelam tradisional asal Nambangan Surabaya pun menolak rencana pengerukan tersebut karena merusak ekosistem bawah laut Selat Madura. Ia mendapati di dasar laut muncul lubang-lubang bekas pengerukan pasir yang berakibat pada musnahnya kehidupan biota laut. "Ujungnya adalah menurunnya pendapatan nelayan dan penyelam," kata dia. Kondisi bertolak belakang dengan amanat Pasal 35 (i) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil baik secara langsung atau tidak dilarang melakukan penambangan pasir yang menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, serta merugikan Masyarakat sekitar.
Sumber: http://www.jurnas.com/mobile-news/64714
Tidak ada komentar:
Posting Komentar