KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pekerja memilah ikan jenis salam dan tuna muda hasil tangkapan
kapal penangkap yang merapat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman di Muara Baru, Jakarta, Jumat (20/4/2012), sebelum dipasok ke
pabrik pengolah ikan untuk ekspor. Kementerian Kelautan dan Perikanan
menargetkan produk olahan perikanan pada tahun 2012 sebesar 4,8 juta ton
dengan pasar utama untuk ekspor.
JAKARTA, KOMPAS.com —
Pencurian ikan yang melibatkan nelayan asing terus terjadi di wilayah
perairan Indonesia. Selain karena lemahnya pengawasan instansi terkait,
hal itu tak lepas dari kian agresifnya nelayan asing menjelajahi
perairan Indonesia dengan dukungan kapal dan alat tangkap memadai.
Bahkan,
belakangan, pencurian ikan melebar ke tindak penyelundupan. Modusnya,
hasil tangkapan nelayan asing tersebut diselundupkan kembali ke wilayah
RI, seperti yang marak terjadi di Kalimantan Barat.
Keterangan
yang dihimpun dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta para
pemangku kepentingan, Sabtu-Minggu (2-3/6/2012), menunjukkan, kerugian
akibat penjarahan oleh nelayan asing mencapai Rp 30 triliun per tahun.
Penjarahan
terutama terjadi di Laut China Selatan, Arafuru, Laut Sulawesi, serta
perairan lain yang terhubung langsung ke negara tetangga.
Kepala
Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Medan
Mukhtar mengungkapkan, selama tahun 2011 terdapat 13 kapal asing yang
ditangkap aparat di perairan Selat Malaka. Tahun 2012, sejak Januari
hingga Mei saja, telah ditangkap 7 kapal nelayan asing.
Salah
satunya adalah kapal motor PKFA 8096 yang dinakhodai Soe Min Lat,
berkebangsaan Myanmar. Kapal berbendera Malaysia ini ditangkap Rabu lalu
di Selat Malaka.
Selama ini, sanksi terhadap nelayan asing
tersebut berupa penyitaan kapal. Nakhodanya dipenjara sesuai dengan
putusan pengadilan antara 3 bulan dan 1 tahun.
Sanksi ini tidak
membuat jera nelayan asing. ”Buktinya, masih terus terjadi penangkapan
ikan ilegal di perairan Indonesia,” ujar Mukhtar.
Namun, Ketua
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Medan Zulfahri Siagian
menilai, nelayan asing tidak jera antara lain karena kapal hasil sitaan
dijual murah. Kapal sitaan berukuran 60-70 gros ton (GT) hanya
dilelang seharga maksimal Rp 70 juta. Padahal, harga normalnya mencapai
Rp 700 juta per kapal.
Zulfahri menambahkan, kerugian Indonesia
semakin besar lantaran ada pihak-pihak tertentu yang diduga bekerja
untuk nelayan asing. Dia mencontohkan, kapal-kapal yang disita dan
dilelang tidak kelihatan lagi di Indonesia.
Sebab, lanjut
Zulfahri, oknum yang ikut dalam lelang kapal tersebut diduga mengirim
kembali kapal itu ke negara asal setelah membelinya dengan harga murah.
Padahal, kapal-kapal tersebut mestinya digunakan untuk nelayan
Indonesia.
Mukhtar juga mengakui, Pemerintah Indonesia kerap
direpotkan oleh para anak buah kapal asing itu. Saat ini, pascaproses
hukum kapal-kapal asing itu, terdapat 46 anak buah kapal yang masih
dalam penahanan. PSDKP kesulitan dana untuk memulangkan ke negaranya
atau menanggung kebutuhan hidup mereka. Kini para anak buah kapal itu
menetap di kapal masing-masing di bawah pengawasan petugas PSDKP.
Penyelundupan
Selat
Karimata dan perairan Kalimantan Barat merupakan beberapa kawasan yang
rawan pencurian oleh nelayan asing. Perairan ini bersentuhan dengan
perbatasan Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. Semula, ikan-ikan curian
dari Kalbar itu hampir semuanya diangkut ke negara asing. Namun,
Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak,
Kalbar, menemukan fakta baru bahwa ikan-ikan curian dari Kalbar itu
kini tidak seluruhnya dibawa pulang oleh nelayan asing.
”Sebagian
ikan curian justru disimpan di cold storage atau diolah di Kuching,
Negara Bagian Sarawak. Saat Kalbar kekuarangan ikan, ikan curian itu
akan diselundupkan lewat Kalbar,” ujar Kepala Stasiun PSDKP Pontianak
Bambang Nugroho.
Bambang menyaksikan sendiri kapal-kapal Vietnam
bersandar di Pelabuhan Kuching dan menurunkan muatan ikan hasil curian
dari Kalbar. ”Modus pencurian terus berkembang. Kini banyak kapal
Vietnam yang mendapat izin dari Malaysia, tetapi menangkap ikan di
wilayah RI,” katanya.
Asumsi Bambang terbukti saat penangkapan
mobil boks pengangkut ikan asal Malaysia oleh Kepolisian Resor Kota
Pontianak, April lalu. Polisi menyita sembilan ton ikan beku asal
Malaysia dari sebuah mobil boks. Pemilik ikan, Hengky (37), mengakui
ikan itu berasal dari Malaysia, tetapi merupakan barang pembelian dari
warga sekitar perbatasan RI-Malaysia.
Di Maluku Utara,
berdasarkan hasil survei Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),
pada Desember 2011 pencurian ikan marak terjadi di perairan Morotai,
Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan.
”Di kawasan Patani,
Halmahera Tengah, kami temukan sekitar 300 kapal nelayan asal Filipina
yang sandar saat musim panen ikan tuna,” kata Direktur Walhi Maluku
Utara Ismed Sulaiman.
Ismed mengungkapkan, nelayan Filipina
beroperasi dengan kapal berukuran besar dengan bobot lebih dari 30 GT.
”Ini tak seimbang dengan kapal-kapal pengawas aparat yang tidak bisa
beroperasi saat gelombang tinggi. Dengan kapal-kapal besar itu, nelayan
asing selalu lolos dari kejaran patroli,” katanya.
Menteri
Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengakui pengawasan
Kementerian Kelautan dan Perikanan masih amat minim. Dibutuhkan kerja
sama dengan Kepolisian RI dan TNI Angkatan Laut.
Direktur
Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Syahrin
Abdurrahman mengemukakan, pihaknya hanya mempunyai 24 kapal pengawas
dari idealnya 90 kapal. Itu pun rata-rata sudah berusia 8-10 tahun.
Waktu operasi pengawasan juga sangat terbatas akibat keterbatasan
anggaran dan suplai bahan bakar minyak. (APA/AHA/MHF/INK/LKT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar