09 Juni, 2012

Ikan Indonesia Terus Dicuri

 
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Pekerja memilah ikan jenis salam dan tuna muda hasil tangkapan kapal penangkap yang merapat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman di Muara Baru, Jakarta, Jumat (20/4/2012), sebelum dipasok ke pabrik pengolah ikan untuk ekspor. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produk olahan perikanan pada tahun 2012 sebesar 4,8 juta ton dengan pasar utama untuk ekspor.

JAKARTA, KOMPAS.com — Pencurian ikan yang melibatkan nelayan asing terus terjadi di wilayah perairan Indonesia. Selain karena lemahnya pengawasan instansi terkait, hal itu tak lepas dari kian agresifnya nelayan asing menjelajahi perairan Indonesia dengan dukungan kapal dan alat tangkap memadai. 

Bahkan, belakangan, pencurian ikan melebar ke tindak penyelundupan. Modusnya, hasil tangkapan nelayan asing tersebut diselundupkan kembali ke wilayah RI, seperti yang marak terjadi di Kalimantan Barat. 

Keterangan yang dihimpun dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta para pemangku kepentingan, Sabtu-Minggu (2-3/6/2012), menunjukkan, kerugian akibat penjarahan oleh nelayan asing mencapai Rp 30 triliun per tahun. 

Penjarahan terutama terjadi di Laut China Selatan, Arafuru, Laut Sulawesi, serta perairan lain yang terhubung langsung ke negara tetangga. 

Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Medan Mukhtar mengungkapkan, selama tahun 2011 terdapat 13 kapal asing yang ditangkap aparat di perairan Selat Malaka. Tahun 2012, sejak Januari hingga Mei saja, telah ditangkap 7 kapal nelayan asing. 

Salah satunya adalah kapal motor PKFA 8096 yang dinakhodai Soe Min Lat, berkebangsaan Myanmar. Kapal berbendera Malaysia ini ditangkap Rabu lalu di Selat Malaka. 

Selama ini, sanksi terhadap nelayan asing tersebut berupa penyitaan kapal. Nakhodanya dipenjara sesuai dengan putusan pengadilan antara 3 bulan dan 1 tahun.
Sanksi ini tidak membuat jera nelayan asing. ”Buktinya, masih terus terjadi penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia,” ujar Mukhtar. 

Namun, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Medan Zulfahri Siagian menilai, nelayan asing tidak jera antara lain karena kapal hasil sitaan dijual murah. Kapal sitaan berukuran 60-70 gros ton (GT) hanya dilelang seharga maksimal Rp 70 juta. Padahal, harga normalnya mencapai Rp 700 juta per kapal. 

Zulfahri menambahkan, kerugian Indonesia semakin besar lantaran ada pihak-pihak tertentu yang diduga bekerja untuk nelayan asing. Dia mencontohkan, kapal-kapal yang disita dan dilelang tidak kelihatan lagi di Indonesia. 

Sebab, lanjut Zulfahri, oknum yang ikut dalam lelang kapal tersebut diduga mengirim kembali kapal itu ke negara asal setelah membelinya dengan harga murah. Padahal, kapal-kapal tersebut mestinya digunakan untuk nelayan Indonesia. 

Mukhtar juga mengakui, Pemerintah Indonesia kerap direpotkan oleh para anak buah kapal asing itu. Saat ini, pascaproses hukum kapal-kapal asing itu, terdapat 46 anak buah kapal yang masih dalam penahanan. PSDKP kesulitan dana untuk memulangkan ke negaranya atau menanggung kebutuhan hidup mereka. Kini para anak buah kapal itu menetap di kapal masing-masing di bawah pengawasan petugas PSDKP.

Penyelundupan

Selat Karimata dan perairan Kalimantan Barat merupakan beberapa kawasan yang rawan pencurian oleh nelayan asing. Perairan ini bersentuhan dengan perbatasan Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. Semula, ikan-ikan curian dari Kalbar itu hampir semuanya diangkut ke negara asing. Namun, Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, Kalbar, menemukan fakta baru bahwa ikan-ikan curian dari Kalbar itu kini tidak seluruhnya dibawa pulang oleh nelayan asing. 

”Sebagian ikan curian justru disimpan di cold storage atau diolah di Kuching, Negara Bagian Sarawak. Saat Kalbar kekuarangan ikan, ikan curian itu akan diselundupkan lewat Kalbar,” ujar Kepala Stasiun PSDKP Pontianak Bambang Nugroho. 

Bambang menyaksikan sendiri kapal-kapal Vietnam bersandar di Pelabuhan Kuching dan menurunkan muatan ikan hasil curian dari Kalbar. ”Modus pencurian terus berkembang. Kini banyak kapal Vietnam yang mendapat izin dari Malaysia, tetapi menangkap ikan di wilayah RI,” katanya. 

Asumsi Bambang terbukti saat penangkapan mobil boks pengangkut ikan asal Malaysia oleh Kepolisian Resor Kota Pontianak, April lalu. Polisi menyita sembilan ton ikan beku asal Malaysia dari sebuah mobil boks. Pemilik ikan, Hengky (37), mengakui ikan itu berasal dari Malaysia, tetapi merupakan barang pembelian dari warga sekitar perbatasan RI-Malaysia. 

Di Maluku Utara, berdasarkan hasil survei Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada Desember 2011 pencurian ikan marak terjadi di perairan Morotai, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan.
”Di kawasan Patani, Halmahera Tengah, kami temukan sekitar 300 kapal nelayan asal Filipina yang sandar saat musim panen ikan tuna,” kata Direktur Walhi Maluku Utara Ismed Sulaiman. 

Ismed mengungkapkan, nelayan Filipina beroperasi dengan kapal berukuran besar dengan bobot lebih dari 30 GT. ”Ini tak seimbang dengan kapal-kapal pengawas aparat yang tidak bisa beroperasi saat gelombang tinggi. Dengan kapal-kapal besar itu, nelayan asing selalu lolos dari kejaran patroli,” katanya. 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengakui pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan masih amat minim. Dibutuhkan kerja sama dengan Kepolisian RI dan TNI Angkatan Laut. 

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Syahrin Abdurrahman mengemukakan, pihaknya hanya mempunyai 24 kapal pengawas dari idealnya 90 kapal. Itu pun rata-rata sudah berusia 8-10 tahun. Waktu operasi pengawasan juga sangat terbatas akibat keterbatasan anggaran dan suplai bahan bakar minyak. (APA/AHA/MHF/INK/LKT) 
 

Tidak ada komentar: