18 Desember, 2011

Pengolahan Ikan Terabaikan Puluhan Nelayan Berunjuk Rasa

Pekerja di usaha pemindangan ikan di Bajomulya, Kecamatan Juwana, Jawa Tengah, Selasa (13/12). Sekitar 1.500 buruh di Juwana menggantungkan hidupnya dari 30-an usaha pemindangan ini. Usaha pemindangan ini terancam tutup karena lahan yang mereka sewa selama sekitar 17 tahun itu akan diambil alih pemiliknya.

Pati, Kompas - Usaha pemindangan ikan rakyat hingga kini masih terabaikan. Di tengah gangguan cuaca, usaha pengolahan ikan yang didominasi skala kecil dibiarkan menghadapi mekanisme pasar yang membuat bahan baku sulit didapat.

Kondisi ini ditemukan Kompas di sejumlah usaha pemindangan ikan di Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Kota Pekalongan (Jawa Tengah), dan Kabupaten Pati (Jawa Tengah) selama sepekan.

Ketua Paguyuban Pindang Juwana Mohammad Nardi, Selasa (13/12), mengemukakan, usaha pengolahan ikan saat ini masih membutuhkan ikan impor, terutama saat paceklik ikan di musim angin barat.

Kondisi kesulitan bahan baku itu seharusnya bisa diatasi jika tersedia gudang pendingin penyimpanan ikan yang memadai. Gudang penyimpanan dibutuhkan untuk menampung ikan sewaktu panen dan mengantisipasi kekurangan bahan baku sewaktu paceklik ikan.

Di wilayah Juwana, terdapat 31 usaha pemindangan. Kebutuhan bahan baku sekitar 100 ton per hari. Sementara gudang penyimpanan yang disediakan pemerintah hanya berkapasitas 200 ton. Apabila musim paceklik tiba, gudang pendingin itu hanya bisa mencukupi kebutuhan usaha pemindangan selama dua hari.

Bahan baku ikan lokal yang diperlukan mencakup ikan layang dan tongkol. Sementara itu, bahan baku ikan impor yang masuk, antara lain, ikan salem dan tongkol dari China. Ikan salem itu memiliki pasar tersendiri sekitar 10 persen dari total permintaan pasar.

”Impor ikan sebenarnya tidak perlu terjadi apabila kebutuhan bahan baku lokal terpenuhi,” ujar Nardi.
Sementara itu, sejumlah 15 usaha pemindangan di Juwana, Pati, terancam tutup. Menurut Nardi, lahan sentra pemindangan di Desa Bajomulyo yang disewa oleh 15 usaha pemindangan itu selama sekitar 17 tahun akan diambil alih oleh pemiliknya. Usaha pemindangan diminta keluar dari lokasi itu paling lambat 21 Desember 2011.

”Usaha kami terancam tutup jika harus meninggalkan lokasi usaha pemindangan. Kami tidak punya tempat lain untuk usaha,” ujar Nardi.
Hingga kini, belum ada perhatian pemerintah untuk membantu menyediakan lokasi lahan sentra produksi pemindangan yang memadai dan higienis.

Sebelumnya diberitakan, musim paceklik ikan yang berdampak pada merosotnya hasil tangkapan membuat usaha pengolahan ikan yang digarap istri-istri nelayan ikut terhenti.
Di Desa Moro Demak, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, usaha pengolahan ikan yang dikelola istri-istri nelayan terhenti sejak dua pekan lalu karena kendala bahan baku.
Usaha pengolahan ikan itu semula diharapkan mampu menjadi tulang punggung pendapatan keluarga nelayan pada saat paceklik.
Pasokan bahan baku ikan dari nelayan terhenti sejak bulan lalu. Mereka masih memiliki beberapa stok olahan, tapi sekarang itu pun sudah habis. Di desa itu, puluhan kapal nelayan tradisional dan kapal besar dibiarkan tambat karena nelayan berhenti melaut.

Stop impor ikan
Di Jakarta, puluhan nelayan yang tergabung dalam Serikat Nelayan Indonesia (SNI) melakukan aksi unjuk rasa. Mereka mendesak pemerintah menghentikan impor ikan karena akan memukul nelayan.

Aksi unjuk rasa itu merupakan respons dari kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk industrialisasi perikanan melalui kebijakan buka-tutup impor ikan.
Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, dari 79 produk perikanan yang diimpor, sebanyak 40 jenis ikan di antaranya adalah produk perikanan yang dapat ditemukan di perairan ataupun pertambakan Indonesia.

Akibatnya, serangan produk impor pangan perikanan telah berdampak langsung terhadap keterpurukan ekonomi keluarga nelayan ataupun memburuknya kualitas pangan perikanan bagi konsumen domestik. (LKT)

Tidak ada komentar: