09 Oktober, 2011

INOVASI TEKNOLOGI BAGI KESEJAHTERAAN PETANI GARAM

Oleh : Andre Sulistiawan*

Garam merupakan salah satu komoditas strategis nasional. Selain menjadi kebutuhan bahan pangan garam juga dipergunakan untuk industri. Namun demikian industri garam seolah hanya dibiarkan menggelinding dan hidup seadanya tanpa ada perhatian yang cukup dari pemerintah. Predikat sebagai negara maritim dengan panjang garis pantai 95.191 kilometer belum bisa menjadikan Indonesia sebagai produsen garam dunia. Sampai saat ini pemerintah masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan garam dari impor. Produksi garam dalam negeri hanya mampu menghasilkan 44 persen dari total kebutuhan nasional. Data yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pada medio April 2011 menyatakan total kebutuhan garam nasional mencapai 3,6 juta ton sedangkan produksi dalam negeri hanya 1,6 juta ton. Hal ini disebabkan petani mengalami gagal panen akibat kemarau basah yang terjadi sepanjang tahun 2010.

Selama ini garam nasional masih tergantung pada sentra-sentra produksi di beberapa daerah saja. Pemerintah belum mengupayakan membuka potensi yang masih cukup luas di wilayah-wilayah lain. Selain itu petambak masih menggunakan metode tradisional yang tergantung pada cuaca tanpa ada sentuhan teknologi modern, bantuan permodalan serta pengetahuan yang cukup dari pemerintah. Hampir 80 persen produksi garam nasional dihasilkan di Pulau Madura. Pulau ini memiliki lahan penggaraman 7.000 hektar yang dikelola oleh petani dan 5.000 hektar dikelola oleh PT Garam. Dalam satu musim panen wajar 12.000 hektar lahan penggaraman di Madura menghasilkan 9.000 ton dalam bentuk garam kasar.

Madura sejak jaman dulu terkenal sebagai sentra penggaraman tradisional. Hal inilah yang membuat pemerintah kolonialis Belanda pada waktu itu mendirikan pabrik pengolahan garam yang kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah RI dan menjadi PT Garam Persero. Namun demikian nyatanya nasib para petambak garam tradisional di wilayah ini tidak juga mengalami perbaikan yang berarti. Mereka tetap menjadi kelas miskin dan tidak diperhitungkan dalam skema produksi garam. Bahkan terkadang dianggap sebagai salah satu penghambat untuk kemajuan industri garam nasional. Seperti halnya yang dialami oleh para petambak garam di wilayah Kecamatan Kalianget dan Saronggi Kabupaten Sumenep. Selain harus dihadapkan pada problem distribusi serta permodalan mereka juga harus berebut lahan penggaraman dengan PT Garam. Sejak tahun 1975 lahan milik petani dikuasai oleh PT Garam dengan alasan untuk modernisasi sistem penggaraman.

Saat ini banyak para petani yang tidak memiliki lahan dan beralih menjadi buruh atau mencari pekerjaan lain di kota bahkan banyak juga di antaranya yang pergi keluar negri untuk menjadi buruh migran. Para petani yang masih memiliki lahanpun dihadapkan pada situasi yang serba sulit dimana dalam persoalan pemenuhan kebutuhan modal harus meminjam uang kepada tengkulak dengan konsekuensi hasil panen mereka akan dihargai lebih murah. Pada awal tahun 2011 pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan membuat sebuah program yang dinamakan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat atau disingkat PUGAR. Melalui Program ini pemerintah mengelontorkan anggaran mencapai 90 miliar yang diperuntukkan bagi 10 propinsi yang memiliki basis penggaraman.

Targetnya sampai pada akhir tahun 2011 bisa membuka lahan baru sebanyak 32 Ha. Target lain yang ingin dicapai adalah swasembada garam konsumsi pada tahun 2012 dan swasembada garam industri pada tahun 2015. Meskipun program ini sudah bergulir sejak awal tahun namun pada kenyataannya implementasi di lapangan belum begitu menampakkan hasil. Di Sumenep misalnya Program PUGAR sampai pada Bulan Agustus dananya belum juga bisa dicairkan sedangkan para petani garam sudah selesai melaksanakan tahap awal proses pengerjaan lahan. Dengan demikian dana tersebut praktis tidak lagi bisa dipergunakan sebagai modal awal produksi.

Bantuan tunai ini juga terancam tidak tepat sasaran mengingat mayoritas petambak adalah buruh yang bekerja pada lahan milik tuan tanah. Sedangkan program PUGAR hanya diperuntukkan bagi petambak yang memiliki lahan sehingga sangat mustahil apabila program-program stimulan seperti ini bisa meningkatkan produktifitas dan mutu garam nasional. Situasi ini nampaknya tidak cukup memberi peringatan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan yang solutif dan tepat sasaran. Sehingga sebagian kalangan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan kelangkaan garam nasional. Kondisi ini hadir pada saat mereka sedang getol-getolnya mengupayakan meningkatkan produktivitas dan mutu garam nasional melalui program intensifikasi dan ekstenfikasi garam.

Pemerintah selalu menggunakan perhitungan berdasarkan pada potensi lahan penggaraman yang belum tergarap yang diperkirakan mencapai 14.000 hektar. Namun demikian pemerintah masih kurang memperhitungkan potensi kegagalan dari pembukaan lahan baru ini mengingat problem sesungguhnya dari kelangkaan garam nasional bukan pada luasan lahan yang dikerjakan tapi pada carut-marutnya sistem distribusi dan metode produksi yang masih tradisional. Seharusnya pemerintah segera melakukan percepatan penerapan teknologi modern dalam memproduksi garam khususnya bagi para petambak tradisional yang masih tergantung pada kemurahan alam dalam sistem produksi. Penerapan modernisasi produksi garam nasional ini mendesak untuk segera dilakukan. Selain untuk meningkatkan produksi garam nasional dan menekan laju impor, modernisasi diharapkan bisa mengeliminir dominasi para tuan tanah dan pemodal besar yang selama ini lebih banyak menguasai sistem produksi garam tradisional, dimana merekalah yang menjadi momok bagi petambak kecil.

Dengan modal kuat dan lahan luas para tuan tanah dan pemodal ini dengan leluasa mempermainkan harga serta akses lahan bagi para petambak tradisional. Modernisasi teknologi prosuksi garam sangat penting dilakukan apabila targetan swasembada garam tersebut ingin dicapai dalam jangka pendek karena jika masih mengandalkan metode tradisional, targetan swasembada kemungkinan besar akan mengalami kegagalan. Modernisasi teknologi yang perlu segera diaplikasikan adalah menerapkan teknologi tepat guna dan mudah dijalankan oleh petambak dengan prasyarat bisa berproduksi dalam kondisi cuaca seperti apapun, hemat energi dan tidak memerlukan lahan yang luas untuk mengerjakannya

Tentunya memodernisasi sistem produksi garam tidak mudah dilakukan mengingat untuk menciptakan sebuah terobosan seperti ini memerlukan biaya yang tidak murah. Oleh karena itu pemerintah harus berperan sepenuhnya dengan menggandeng para peneliti yang benar-benar memahami kebutuhan sistem produksi yang dibutuhkan oleh rakyat. Selain itu juga harus dibuat skala prioritas serta tahapan dalam penerapan modernisasi semisal menerapkan teknologi pada proses penguapan dan kristalisasi. Kemudian setelah proses itu menunjukkan progres yang baik baru dilanjutkan pada pembuatan teknologi untuk proses refinasi. Proses ini semata-mata untuk tetap menjaga keberlangsungan serta memudahkan petani untuk memahami dan menguasai teknologi tersebut.

Hal lain yang penting untuk dijadikan sebagai acuan utama adalah teknologi apapun yang akan diterapkan nantinya faktor peningkatan taraf hidup petambak garam merupakan tujuan yang harus menjadi prioritas. Jangan sampai penerapan teknologi ini hanya akan menguntungkan segelintir orang saja. Pada akhirnya diperlukan dukungan semua pihak yang terlibat dalam skema produksi garam ini baik petambak, industri, peneliti, dan pemerintah dalam mensukseskan modernisasi produksi garam. Semua dukungan itu demi terwujudnya swasembada garam nasional dan kesejahteraan bagi para petani garam.


* Penulis adalah Staf IWORK (Institute For Migran Workers). Sedang menjadi asisten penelitian Garam di PPM FE Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Sumber (portal Prakarsa Rakyat atau http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/bulsad/artikel.php?aid=51224


Tidak ada komentar: