Ironisnya, sampai saat ini Indonesia masih mengimpor 1,6 juta ton garam untuk menutupi kekurangan kebutuhan garam dalam negeri itu. Produksi garam nasional saat ini hanya sekitar satu juta ton per tahun, sementara kebutuhan garam nasional dalam satu tahun mencapai 2,6 juta ton.
Produksi garam nasional tahun ini diperkirakan bisa mencapai 1,3 juta ton. Menurut Direktur Kimia Hulu Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Tony Tanduk, produksi garam nasional pada 2011 akan jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Pasalnya, kata Tony, tahun ini kondisi iklim cukup mendukung, di mana curah hujan tidak sebanyak tahun lalu.
Kendati demikian, produksi sebesar 1,3 juta ton belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan garam nasional tahun ini.
Catatan Kementerian Perdagangan menunjukkan, kebutuhan garam nasional tahun ini mencapai 1,6 juta ton, atau naik 1,2 juta ton dibandingkan tahun lalu.
Jumlah itu terdiri dari 750 ribu ton untuk kebutuhan rumah tangga, 250 ribu ton untuk aneka pangan dan 600 ribu ton untuk industri pengasinan ikan.
Bukannya tanpa upaya, karena untuk merealisasikan program garam nasional (Proganas), pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyediakan dana Rp90 miliar pada 2011 untuk pengembangan usaha garam konsumsi dan garam industri di 40 kabupaten/kota di 10 propinsi di Indonesia, termasuk NTT.
Penetapan NTT sebagai salah satu lumbung garam tahun ini diharapkan bisa menjawab kebutuhan garam nasional. Tentu pertumbuhan garam-garam lokal bisa mencapai 200.000- 300.000 ton/tahun.
Ada pendapat bahwa mutu garam NTT lebih bagus dari garam yang dihasilkan petani di Pulau Jawa, selain karena kadarnya berkualitas juga perairan NTT masih bebas dari unsur logam berat.
Karena itu, banyak pengusaha dalam dan luar negeri mulai melirik NTT sebagai daerah produksi garam yang baru.
Diantara daerah yang berpotensi untuk pengembangan garam adalah Kabupaten Nagekeo, Ende dan Kupang.
Pemerintah Kabupaten Nagekeo telah menandatangani nota kesepahaman PT Cheetham Salt Ltd asal Australia di Kementerian Perindustrian di Jakarta untuk pengembangan garam di daerah itu.
Tercatat 13 kabupaten/kota di NTT yang merupakan daerah berpotensi garam, meski sebagian besar masih dikelola secara tradisional yakni Kabupaten Kupang (4.660 ha), Nagekeo (2.500 ha), Ende (500 ha), TTU (500 ha), Lembata (135 ha), Sumba Tengah (10 ha), Sumba Barat Daya (12 ha), Sumba Timur (45 ha), Rote Ndao (39 ha), Alor (30 ha), TTS (50 ha), Belu (20 ha) dan Kota Kupang (4 ha).
Juga para petani garam di kabupaten Pasuruan tahun ini mendapat bantuan dari pemerintah melalui program Program Usaha Garam Rakyat (Pugar) yang digagas oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, senilai Rp900 juta untuk membantu mereka memenuhi sarana dan prasarana pengolahan produktifitas garam.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan, Sulistyowati, ada tujuh kelompok petani garam di Kabupaten Pasuruan.
Alokasi dana untuk ke-7 kelompok itu sebesar Rp350. Sisa bantuan Rp550 juta untuk pembangunan gudang penyimpanan garam dan pintu air sebagai prasarana penunjang produksi serta perbaikan tanggul yang jebol.
Dia berharap, dengan adanya Pugar ini, produktifitas para petani garam meningkat sehingga hasil produksi garam di Kabupaten Pasuruan dapat naik sekira 25-30 persen menjadi 80 ton dari sebelumnya sekira 60 ton per ha.
Target ini, katanya, kemungkinan dapat tercapai karena para petani yang dulu hanya mengandalkan angin untuk menggerakan kincir saat memompa air laut ke dalam etak-petak tambak mereka, kini terbantu oleh adanya pompa air.
"Di Jatim ada 40 daerah penerima program Pugar ini, diharapkan kenaikan produksi garam dari sini ikut membantu memenuhi kebutuhan garam nasional dan dan mengurangi impor garam," katanya.
Stop impor
Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (APGSI) Syaiful Rahman, sekitar 45 persen kebutuhan garam nasional diproduksi dari Jawa Timur dan Madura. Sisanya dihasilkan di Jawa Tengah, Jawa Barat, NTT dan NTB, Sulawesi, Bali, dan Aceh.
Tahun lalu, produksi garam nasional menurun drastis akibat adanya curah hujan "Bisa dibilang kami gagal panen, tapi tahun ini iklim lebih baik, kondisi sudah normal," kata Syaiful sambil berharap kenaikan produksi pada 2011 bisa membantu untuk menghentikan impor garam.
"Pada 2010 kami sudah merugi akibat gagal panen, tahun ini kami terancam kembali rugi karena garam impor. Saat ini, masih dalam proses panen raya, tapi prediksi saya produksi tahun ini akan mendekati kondisi normal," ujarnya.
Sejak impor dibuka oleh pemerintah, katanya, harga garam petani kualitas I turun menjadi menjadi Rp500 dari Rp750/kg awal Agustus tahun lalu, kwalitas II menjadi Rp350 dari Rp550/kg.
Impor garam menurut Syaiful, juga tidak sesuai dengan aturan tata niaga garam nasional.
"Berdasarkan aturan, impor tidak boleh dilakukan satu bulan menjelang panen raya, saat panen raya, hingga dua bulan setelah panen raya. Jadi mestinya impor tidak boleh dilakukan mulai 1 Juli hingga 30 Desember," katanya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad juga yakin, penurunan impor garam akan mendorong tercapainya program swasembada garam nasional pada 2014. Sebagai tahap awal, KKP akan melakukan penurunan impor garam secara bertahap, yaitu dari 2,18 juta ton pada tahun 2010 menjadi 1,02 juta ton pada tahun 2011.
Rencana pemerintah untuk menyetop impor garam mendapat dukungan dari berbagai kalangan antara lain dari mantan Menteri Negara BUMN Sugiharto.
"Saat ini kita memiliki 900 ribu ton garam dan masyarakat sendiri sudah mampu memproduksi 800 ton garam. Jadi sebetulnya dengan disetop pun kecukupan garam akan terjaga," katanya.
Dia juga sependapat bahwa penyetopan impor dilakukan secara bertahap karena industri seperti farmasi dan makanan, masih membutuhkan garam dengan spesifikasi tertentu sesuai standar nasional.
"Jika garam rakyat tidak lolos standardisasi, tentu tidak akan dibeli industri. Sementara, jika industri kita terhambat karena garam, tentu akan jadi masalah juga," tambahnya.
Fadel menyetujui rencana penyetopan impor garam karena itu akan merugikan petani garam. Sementara, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu sebaliknya.
Dia bahkan telah menetapkan kuota impor garam 1,2 juta ton untk menjaga pasokan.
Dua visi berbeda ini kemudian menimbulkan kesalah-pahaman. Namun, perselisihan ini menurut Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, hanya karena kurangnya komunikasi. Memang dua kementerian itu mempunyai alasan masing-masing yang menjadi pembenaran.
"Di sisi Kemendang adalah impor adalah untuk mewaspadai kurangnya cadangan garam, sementara KKP melihat garam impor dapat mematikan produksi petani karena harganya lebih bersaing," ujarnya.
"Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Prinsipnya adalah tingkatkan produksi dan lindungi para petani kita, beli garam dari mereka agar pendapatannya meningkat. Kalau memang kurang, baru impor," tegas Hatta.
Belakangan, menteri kelautan sendiri mengaku sudah tidak ada lagi perseteruan antara kementeriannya dengan Kementerian Perdagangan soal impor garam. ?Sudah berakhir, kemarin tim dari Kemendag juga diikutsertakan."
Pemerintah memang masih belum mengambil keputusan terkait garam impor yang saat ini ditahan oleh KKP di Pelabuhan Belawan itu.
Namun, satu hal pasti, Hatta juga sependapat bahwa garam impor tersebut akan berdampak negatif pada petani garam nasional. "Pokoknya, garam petani harus didahulukan."
(dn/DN/bd-ant)
http://beritadaerah.com/artikel/national/44726
Tidak ada komentar:
Posting Komentar