Rentetan kasus kelautan dalam setahun terakhir terus mengemuka. Upaya penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara yang mencemari Laut Timor belum menunjukkan titik terang. Beberapa kapal angkut dan barang bertabrakan akibat cuaca buruk dan kelebihan muatan tanpa antisipasi yang baik. Beberapa nelayan juga meninggal dunia karena terkena bom ikan. Ratusan nelayan akhirnya menyandarkan kapalnya dan memilih tidak melaut akibat cuaca yang memburuk dan anomali. Praktek impor ikan ilegal terjadi. Demikian pula, insiden saling tangkap di perbatasan berbuntuk konflik antara Indonesia dan Malaysia juga belum berhasil menuntaskan apapun. Malah, beberapa nelayan Indonesia sempat ditahan di Malaysia.
Beberapa contoh kecil tadi ternyata hanya melengkapi wajah kusut penanganan kelautan Indonesia. Kawasan pesisir dan kepulauan masih menjadi kantong kemiskinan Indonesia dengan fasilitas dan sarana yang serba terbatas. Praktek illegal fishing (perikanan illegal) dari ribuan kapal asing dari tidak kurang sepuluh negara, terus terjadi dan merugikan Indonesia puluhan trilyun rupiah setahun. Garis perbatasan Indonesia dengan sepuluh negara tetangga belum tuntas dan menjadi titik-titik rawan kedaulatan. Sekitar 2000 pulau Indonesia diperkirakan akan tenggelam dalam beberapa dekade kedepan. Jumlah tangkapan ikan semakin berkurang. Ancaman bencana pesisir terus mengancam. Kondisi ekosistem sumberdaya kelautan seperti terumbu karang, mangrove, dan sebagainya juga terus menyusut.
Kebingungan berkelautan
Satu pesan jelas adalah Indonesia belum menjadikan kepulauan sebagai prioritas pembangunan. Alokasi anggaran, program maupun kebijakan sangat terbatas dan belum memihak. Kelautan baru dilihat dalam perspektif sempit pembangunan perikanan, dan dititipkan ke Kementerian kelautan dan perikanan (KKP). Kementerian lain akan berpikir panjang dan seolah ‘ketakutan’ ketika bersentuhan dengan pembangunan pulau atau pesisir, sehingga memilih memusatkan pembangunan di daratan. Termasuk donor. Kalaupun punya program, masih sebatas kosmetikal, sekedar mengugurkan kewajiban atau tugas.
Makanya jangan heran ketika menteri Kelautan dan perikanan (KKP), Fadel Muhammad, menetapkan lantang bahwa visi Indonesia adalah meningkatkan produksi perikanan Indonesia 353% yang ironisnya, justru mencakup ikan lele dan ikan air tawar lainnya. Langkah minimalis atau tidak visioner ini menunjukkan pemerintah tidak percaya diri dengan kodrat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Yang lebih fatal adalah, Indonesia belum berani berpikir jauh kedepan, bahkan ketika negara tetangga sekelas Singapura atau Malaysia ‘mempertontonkan’ bagaimana potensi kelautan sebenarnya bisa menjadi mesin penggerak ekonomi dan kesejahteraan. Ada kebingungan besar mau kemana pembangunan kelautan di arahkan dan bagaimana wajah kepulauan kita misalnya dalam 30 atau 50 tahun kedepan. Berbagai kegiatan, program atau inisiatif yang dilakukan di berbagai level pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, berorientasi jangka sangat pendek atau sekedar menjalani business as usual. Tanpa visi dan orientasi jelas. Seperti sebuah perahu yang berputar-putar menghabiskan bensin-solar di tengah lautan tanpa tahu mau kemana kapal akan dilabuhkan.
Kalau hal ini tidak disikapi serius, Indonesia akan semakin terpuruk. Ketimpangan kepulauan dan daratan akan semakin besar. Masyarakat kepulauan akan semakin tertinggal. Sumberdaya akan semakin digerus dan dimanfaatkan oleh pihak asing. Kepulauan dan segenap potensinya akan menjadi seperti kutukan bagi Indonesia.
Mari Bicara Negara Maritim
Pembangunan kelautan Indonesia kini miskin inovasi. Setelah deklarasi Juanda tahun 1957 yang menggemparkan internasional, yang kini kita peringati sebagai hari Nusantara setiap tanggal 13 Desember, praktis tidak ada pencapaian signifikan, kecuali gebrakan (alm) Gus Dur yang berani berinisiatif membentuk kementerian Kelautan tahun 1999. Belasan tahun lalu, mantan Presiden RI Habibie juga sudah mencoba mengilhami arah pembangunan Indonesia dengan deklarasi Benua Maritim di Makassar. Cara pandang yang mendorong Indonesia untuk melihat laut sebagai perekat kepulauan, bukan sebagai sekat. Membalik paradigma pembangunan dari orientasi daratan menjadi kelautan. Kelautan tidak boleh dilihat hanya sebagai sector atau malah sub-sektor sempit, melainkan sebuah matra.
Sayangnya, para pakar dan praktisi belum mampu menindaklanjuti menuangkan gagasan tersebut secara lebih terstruktur dan komprehensif. Mereka justru sibuk dengan eksplorasi model, proses adopsi dan copy-paste pendekatan dari luar negeri, tanpa memahami kondisi dan karakter kepulauan Indonesia dan masyarakatnya. Kiblat pembangunan kelautan juga seolah ada di Jakarta dan beberapa universitas di sekitar Jawa yang kebetulan dekat dengan pengambil keputusan.
Universitas dari kawasan Timur yang ‘bermandikan’ kepulauan dan memiliki pemahaman maupun pengalaman lapangan yang kuat, justru memilih mengekor dan menjadikan model-model adopsi tersebut sebagai ‘kitab suci’. Lahirlah berbagai konsep, model, program atau inisiatif ‘ala-kadarnya’ yang sudah bisa dijamin gagalnya. Kemasannya terlihat bagus, namun miskin kisah sukses karena tidak cocok dengan karakter Indonesia. Konflik dan persoalan justru bermunculan disana-sini yang justru mereduksi semangat berkelautan. Kegagalan demi kegagalan tersebut seolah-olah menjustifikasi bahwa pembangunan di kepulauan memang tidak mungkin berhasil dan tidak layak menjadi prioritas.
Padahal, kalau para pakar, pemikir dan praktisi, termasuk universitas dari kawasan Timur mulai berani melakukan inovasi gagasan dan berpikir dalam kerangka negara Maritim, pembangunan kelautan bisa jauh lebih baik. Berpikir tidak hanya sekedar tahun anggaran berjalan, namun membangun visi 30 – 50 tahun kedepan pembangunan kelautan Indonesia, kita bisa kembali ke koridor yang tepat. Berpikir bahwa kepulauan tidak sekedar tempat tempat yang jauh dan melelahkan serta mahal, tetapi bisa signifikan membayar utang negara. Berpikir bahwa kepulauan bukan hanya tempat penduduk miskin dan tertinggal, namun bisa menjadi pusat petumbuhan Indonesia. Pusat bisnis, pusat kegiatan produksi, pusat edukasi, pusat pengembangan industry, pusat jasa, dan seterusnya. Berpikir tentang bagaimana agar status Indonesia yang baru sekedar negara kepulauan, bisa menjadi Negara Maritim Yang Mandiri dan Berdaulat.
Namun ini bisa jadi hanya angan-angan. Karena para pakar dan pemikir dari kawasan Timur atau memiliki kepulauan yang intens memang lebih ‘pemalu’ meskipun gelarnya sudah bertumpuk-tumpuk. Universitas juga masih lebih banyak terjebak dalam orientasi ‘mengelola internal’ dan belum pada berkontribusi pada masalah negara dan menjawab persoalan. Masih menganggap kiblat pembangunan kelautan masih tetap pada universitas dan para pakar yang ada di Jakarta atau sekitarnya. Masih terpesona dengan kedatangan pejabat dengan berbagai programnya yang sebenarnya belum tentu tepat dengan kebutuhan kepulauan.
Pembangunan kepulauan perlu dibangun dari daerah dengan visi dan pemahaman yang kuat. Dalam konteks ini, memang dibutuhkan lebih banyak fasilitator dan ‘champion’. Universitas perlu bangkit dan keluar dari sekat internal. Para praktisi perlu berani berinisiatif. Dan dengan sistem desentralisasi sekarang, kalau fasilitatornya adalah pejabat setingkat gubernur atau bupati, mungkin hasilnya akan berbeda.
Mzulficar
Dilahirkan di Makassar 22 Juli 1971. Merampungkan pendidikan program study Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) di Universitas Hasanuddin dan Kebijakan Lingkungan di Cardiff University - UK dan bergelut intensif dengan berbagai isu kelautan. Saat ini menjadi penggiat LSM Lokal Kelautan, Destructive Fishing Watch (DFW) dan Indonesia Maritime Institute (IMI)http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/06/05/saatnya-bicara-negara-maritim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar