08 Juni, 2011

Lonceng Kematian Nelayan

Berbeda dengan sebagian besar profesi lain, nelayan Indonesia wajib menambahkan pertimbangan cuaca dalam setiap aktifitasnya. Kesalahan memprediksi cuaca, bisa berakibat fatal dan berujung pada kematian. Untuk itu, setiap tahun nelayan memiliki waktu ‘jeda’ dalam bekerja di laut. Pada bulan-bulan peralihan dan musim ombak, dikenal dengan ‘angin utara’ di kepulauan Anambas Kepulauan Riau atau musim je’ne kebo’ (air putih atau berbusa) di kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, misalnya, nelayan terpaksa harus berdiam di pulau. Sayangnya urusan makan dan mencari nafkah tidak bisa ditawar-tawar. Akibatnya, setiap tahun korban tetap berjatuhan dan kecelakaan tetap saja terjadi setiap tahun

Pemerintah belum menyiapkan formula khusus dan tepat untuk mengantisipasinya. Adanya anomali cuaca, akibat fenomena perubahan iklim, semakin memperburuk keadaan. Kerugian ekonomi mencapai milyaran rupiah di setiap pusat-pusat kegiatan nelayan. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) seolah lumpuh dan kapal-kapal ditambatkan, meninggalkan nelayan yang galau.

Nelayan tanpa pemihakan

Meski Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, nelayan hidup dengan kondisi yang serba sulit, apalagi pada periode peralihan cuaca. Kebijakan yang diterapkan di berbagai lini, belum sensitif terhadap kehidupan nelayan kecil dan malah mempersulit.

Pertama, nelayan harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar dari masyarakat perkotaan dan profesi lainnya dalam mengakses dan mendapatkan kebutuhan hidupnya. Harga-harga bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) misalnya berharga jauh lebih mahal di kawasan kepulauan. Hal ini berimplikasi pada mahalnya biaya yang menunjang kegiatan produktif termasuk transportasi, komunikasi, logistik dan sebagainya yang harus ditanggung oleh keluarga nelayan.

Kedua, nelayan kecil tidak didukung oleh jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai seperti asuransi. Sehingga semuanya harus ditanggung sendiri. Kapal-kapal yang rusak akibat ombak besar atau karam menabrak tebing karang, tidak akan mendapatkan ganti rugi. Bahkan ketika mengalami kecelakaan, cacat seumur hidup atau meninggal pun, urusan harus ditanggung sendiri. Perusahaan asuransi masih lebih lebih memilih profesi karyawan yang bekerja di gedung-gedung perkantoran, ketimbang memberikan asuransi kepada pekerjaan nelayan yang beresiko tinggi. Paling tinggi, nelayan menerima informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tentang larangan ke laut dan besarnya gelombang.

Ketiga, akses permodalan sangat terbatas. Perbankan belum melirik kegiatan perikanan, apalagi oleh nelayan kecil, sebagai bagian dari prioritas pembangunan. Sehingga hampir tidak ada akses dan bantuan permodalan yang memadai bagi nelayan. Kegiatan perikanan yang dilakukan berlangsung begitu sederhana dan ala kadarnya. Kondisi ini sekaligus menciptakan ketergantungan nelayan dengan para tengkulak dan rentenir semakin besar. Mau tidak mau, ketika membutuhkan uang, mereka akan mengetuk pintu para tengkulak yang biasanya siap 24 jam. Konsekuensinya, mereka harus pasrah dengan ‘kebijakan’ yang biasanya sangat merugikan, termasuk membayar bunga yang sangat tinggi, kewajiban menjual hasil tangkapan dengan harga yang dipatok oleh tengkulak, komitmen untuk ikut dalam kegiatan perikanan merusak (misalnya pemboman dan pembiusan ikan), dan berbagai bentuk lainnya.

Ketiga hal di atas diperparah dengan terbatasnya sarana dan prasarana di pesisir dan kepulauan dimana nelayan bermukim. Akses terhadap listrik, air bersih, kesehatan, pendidikan, komunikasi, sangat terbatas dan terkadang menjadi barang mewah. Akibatnya wacana pengembangan usaha nelayan selalu berada pada level konsumsi saja. Pengembangan usaha menjadi hal yang sulit dilakukan. Lonceng kematian nelayan terus berdentang. Masa depan nelayan, terus memburam.

Nelayan Juga Manusia

Menjadi nelayan adalah profesi mulia, apalagi di negara kepulauan seperti Indonesia. Untuk itu, masa depan nelayan, khususnya nelayan kecil dan masyarakat kepulauan perlu diselamatkan. Nelayan juga warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan perlakuan dan perhatian yang sama dengan warga negara lainnya. Musim dan cuaca buruk seharusnya tidak menjadi titik penghambat yang menghalangi nelayan untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan. Untuk itu, pemerintah perlu segera menyiapkan strategi dan kebijakan yang memiliki pemihakan terhadap nelayan (pro-nelayan), dan sensitive terhadap perubahan cuaca yang dihadapi.

Pertama, mengantisipasi alternatif pendapatan bagi nelayan, yang memungkinkan nelayan dan keluarganya tetap produktif dan mendapatkan penghasilan selama periode cuaca buruk. Hal ini tidak mudah namun bukan tidak mungkin. Besarnya kebutuhan pasar terhadap komoditas perikanan selama ini belum mampu diimbangi oleh produktifitas. Orientasi budidaya perikanan yang sementara diintensifkan perlu memberikan ruang yang lebih besar bagi nelayan untuk berpartisipasi. Berbagai sarana penunjang perikanan tangkap pun perlu dibenahi. Insentif untuk mendukung perlu disiapkan, termasuk akses permodalan dan perbankan.

Kedua, membangun pusat-pusat pelayanan logistic dan berbagai kebutuhan masyarakat kepulauan secara regular. Harga bahan pokok dan bahan bakar (BBM) misalnya perlu dikelola sehingga memungkinkan nelayan dan masyarakat kepulauan mendapatkannya dengan harga yang sama dengan masyarakat perkotaan. Pola Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) yang dikembangkan oleh Kementerian kelautan dan perikanan (KKP) namun kemudian menyurut perlu diintensifkan lagi, dan merambah ke kawasan kepulauan. Bukan sekedar di pesisir. Pembenahan jaringan informasi dan komunikasi, listrik maupun air bersih perlu diintensifkan.

Ketiga, membangun peta jalan (roadmap) nelayan dan masyarakat kepulauan Indonesia sehingga mereka kembali menjadi ‘tuan rumah’ dan menjadi bagian penting dalam pengelolaa sumberdaya perikanan. Bukan sekedar penonton atau sekedar berorientasi memenuhi kebutuhan sehari-hari belaka, namun pada perspektif yang memungkinkan mereka meningkatkan kesejahteraannya. Bukan meminggirkan mereka dari laut dan “memasung’nya dengan budidaya perikanan. Melahirkan interpreneur nelayan (usahawan lokal) yang bisa bekerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta.

Dalam kerangka yang lebih luas, pemerintah perlu melakukan perubahan paradigm pembangunan, dari daratan menjadi kelautan. Pembangunan di kepulauan bukan sebagai beban, namun sebagai harapan dan masa depan Indonesia. Mendorong agar Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri dan berdaulat.


Mzulficar Dilahirkan di Makassar 22 Juli 1971. Merampungkan pendidikan program study Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) di Universitas Hasanuddin dan Kebijakan Lingkungan di Cardiff University - UK dan bergelut intensif dengan berbagai isu kelautan. Saat ini menjadi penggiat LSM Lokal Kelautan, Destructive Fishing Watch (DFW) dan Indonesia Maritime Institute (IMI)

http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/06/05/lonceng-kematian-nelayan/

Tidak ada komentar: