Kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan bagian integral dari proses pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang kehadiranya sangat diperlukan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Permasalahan yang paling mengemuka dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan saat ini adalah maraknya praktek-praktek penangkapan ikan secara ilegal (illegal Fishing)yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan Indonesia (KII) maupun kapal-kapal perikanan asing (KIA), kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan, pemanfaatan sumberdaya ikan melebihi daya dukungnya, destructive fishing, pemanfaatan lingkungan sumberdaya perikanan yang melebihi daya dukungnya, degradasi lingkungan, pemanfaatan lingkungan sumberdaya perikanan dan ekosistem perairan tanpa izin dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta penegakan hukum (law enforcment).
Landasan konstitusional yang menjadi dasar dalam melakukan kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan semakin kuat hal tersebut didasari atas lahirnya beberapa regulasi yang menjadi acuan (guidance) dalam melaksanakan fungsi pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, landasan konstitusional tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan atas UU NO 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta amanat dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerinatahan, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, selain itu perhatian khusus masalah pengawasan juga menjadi amanah dalam kerangka sistem pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Nasional lima tahunan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor : 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Sesuai dengan amanat konstitusional tersebut mengandung makna dan pilar-pilar strategis serta konseptional dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia.
Selain itu mandat untuk melakukan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan juga menjadi perhatian dunia internasional yang menyadari akan pentingnya kelestaraian sumberdaya kelautan dan perikanan. Beberapa landasan serta mandat dalam melakukan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang menjadi konsensus (kesepakatan bersama) secara Internasional disemua negara antara lain:
a. United Nations Convention on The Law of The Sea (Unclos) Tahun 1982 bahwa setiap negara pantai wajib melakukan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati di Laut lepas dan Zona Ekonomi Ekelusif agar tidak di eksploitasi secara berlebihan.
b. Agreement to Promote Compliance with Internastional Conservation and Management Measure By Fishing Vessel on The High Seas (FAO Compliance Agreement, 1993) “ Negara bendera tidak memberikan ijin pada kapal berbendera mereka untuk melakukan penangkapan ikan di Laut lepas jika tidak dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas kapal di Laut Lepas”.
c. Agreement to Implementation of The United Nations Convention on The Law of The Sea of 10 Desember 1982 Relating To The Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migartory Fish Stocks (Fish Stock Agrement) 1995 “di dalam memenuhi kewajiban mereka bekerjasama melalui organisasi menejemen perikanan regional atau sub regional atau perjanjian, negara diwajibkan menetapkan mekanisme kerjasama yang sesuai pemantauan (Monitoring) pengendalian (controling), pengawasan (Surveillance) dan penegakan hukum (law enforcement).
d. Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF), 1995 “Negara-negara sesuai dengan hukum international, didalam kerangka kerja organisasi atau tatanan pengelolaan subregional, harus bekerjasama menetapkan sistem pemantauan (monitoring), pengendalian (controling),pengawasan (surveillance) dan penegakan (enforcment) berkenanan dengan operasi penangkapan ikan dan kegiatan yang terkait di perairan di luar Yuridiksi Nasional mereka.
e. International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate illegal, unreported and regulated (IUU) Fishing, 2001 “Negara harus melakukan (monitoring), pengendalian (controling),pengawasan (surveillance) secara kompherensif dan efektif, dalam penangkapan ikan sejak permulaannya melalui tempat pendaratan sampai tujuan akhir, termasuk dengan menerapkan setepat mungkin suatu sistem pemantauan kapal perikanan (vessel Monitoring system/VMS).
f. Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region. RPOA adalah regional initiative yang diprakarsai oleh Indonesia-Australia dan disepakati oleh 9 (sembilan) negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Singapura, Brunei Darussalam, dan Timor Leste) plus Australia dan Papua New Guinea. Tujuannya adalah untuk mewujudkan penangkapan ikan yang bertanggung jawab termasuk penanggulangan IUU Fishing di kawasan regional (Laut Cina Selatan, Laut Sulu-Sulawesi dan Laut Arafura). Mandat penanggulangan IUU Fishing tersebut semakin kuat karena Indonesia di tunjuk sebagai sekretariat RPOA tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar