07 April, 2011

MATA AIR DAN AIR MATA TAMPOMAS

Oleh : Yos Sandyaga, Ir.,MP

Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkannya dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikannya hancur berderai-derai, sesungguhnya pada yang dimikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (Az-Zumar : 21)

Kabupaten Sumedang dengan luas areal 155.871,48 hektar merupakan daerah yang dimanjakan dengan berbagai macam sumber daya alam di sana berdiri kokoh Gunung Tampomas dan Gunung Kareumbi serta berpuluh-puluh gunung dan bukit dimana di bawahnya mengalir sungai Cimanuk, Cipeles, Citarik, Cipunagara dan Cilutung serta ada 214 anak sungai.

Air hujan yang turun di bumi Sumedang yang subur dengan hutan, kebun, rerumputan dan tanaman pertanian mengalir dari permukaan yang poros meresap dan mengalir melalui celah-celah bumi atau tersimpan dalam cadangan air di tanah poros, atau membentuk sungai di bawah tanah. Air yang mengalir dalam tanah tersebut dari arah puncak gunung ke lembah. Apabila air tanah tersebut dihadang oleh lapisan kedap air, air akan berhenti dan mencari celah bumi untuk keluar sebagai mata air. Jumlah total mata air se Kabupaten Sumedang adalah ± 359 lokasi, ini perlu diselamatkan keberadaannya.

Gunung Tampomas merupakan sumber mata air yang banyak keluar di daerah Kecamatan Buahdua, Conggeang, Tanjungkerta, Paseh dan Cimalaka, dimana sebagian airnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah Sumedang khususnya sumber mata air Cipanteneun. Saat ini kondisi debit mata air Cipanteneun sudah sangat mengkhawatirkan yaitu yang asalnya 60 liter/detik sekarang menjadi 53 liter/detik bahkan mungkin lebih kecil lagi diwaktu musim kemarau hanya cukup memenuhi kebutuhan air minum warga di wilayah Kecamatan Sumedang Utara itu juga dilakukan secara bergilir.

Faktor penyebab diantaranya diindikasikan dengan semakin maraknya upaya pengambilan pasir di kaki gunung tampomas yang sudah barang tentu bukan saja pepohonan yang ada di atasnya tetapi sampai kedalaman tertentu pasir dan bebatuan dirusak, sehingga memotong aliran sungai di bawah tanah yang berakibat mata air yang menurut sejarah sejak tempo doeloe Cipanteneun ini merupakan sumber mata air yang diandalkan oleh sebagian masyarakat kota Sumedang.

Di dalam surat Az-Zumar ayat 21, Allah menurunkan air dari langit dan mengatur sumber-sumbernya, pengaturan ini melalui proses gravitasi di mana air yang turun dari langit masuk kedalam pori tanah membentuk cadangan dan keluar sebagai mata air yang membentuk system tata air. Betapa agungnya surat tersebut apabila ditinjau dari konservasi sumber daya tanah dan air. Apabila daerah resapan disekeliling mata air tidak rusak, maka air hujan yang jatuh ke bumi pertama-tama ia akan mengenai tajuk hutan, kemudian mengalir lewat ranting, cabang dan batang masuk dan meresap ke bumi setelah melalui seresah. Air itu akan membentuk cadangan yang tersedia di waktu musim kemarau. Kerusakan terjadi karena konsumsi yang berlebihan, sehingga mendorong penebangan kayu illegal, perusakkan hutan dan lahan, erosi dan tanah longsor yang dibarengi banjir yang akan mengurangi daya tampung tanah.

Tidak seluruh air hujan dapat dinikmati sebagai air untuk makan dan minum. Air yang jatuh menguap lagi untuk menjaga kelembaban udara dan kelangsungan siklus air. Sebagian lagi untuk transfirasi tanaman, baik hutan, perkebunan maupun tanaman pertanian, guna mengganti dan menambah sel-sel organnya, kemudian air yang meresap ke bumi sebagai air tanah untuk menjadi mata air, atau diambil sebagai air sumur. Sisanya mengalir dipermukaan tanah sebagai run off yang mengalir ke sungai terus dibuang ke laut. Air yang mengalir di sungai (debit) adalah jumlah yang tersedia, sebagai rezeki Allah untuk dinikmati dengan bijaksana, tidak berlebihan, serakah dan juga sebagai khalifah harus memeliharanya dengan tidak merusaknya.

Proses pengambilan pasir dan bebatuan baik yang berizin maupun yang tidak berizin terus berlangsung di kaki Gunung Tampomas khususnya wilayah Cimalaka dan Paseh dengan tanpa sadar bahwa aktivitas tersebut berpengaruh besar terhadap keberadaan mata air Cipanteneun dan mata air lainnya. Saat ini mungkin tidak terasa karena bulan basah mungkin lebih besar dari bulan kering sehingga tidak menurunkan debit air, manakala datang musim kemarau panjang maka semua akan menjerit dan menyalahkan intitusi yang mengelolanya. Padahal kalau proses pemulihan galian berjalan sesuai rencana, minimal bencana krisis air bersih di Kabupaten Sumedang kelak tidak akan terjadi, karena air terdapat banyak di dunia namun tidak terbagi sama rata dan tidak sama bentuknya, berdasarkan data perputaran air secara global 95.000 kubik mil dipindahkan melalui proses evaporasi dan presipitasi, hanya sekitar 15.000 kubik mil teruapkan dari daratan, telaga dan sungai, sebagian terbesar kira-kira 80.000 mil kubik menguap dari laut. Setiap tahun kira-kira 24.000 kubik mil dikembalikan ke darat sebagai hujan dan salju, sisanya jatuh di laut. Perputaran ini tidak menciptakan air baru, tetapi seakan-akan berupa sumber yang diperbaharui. Sehingga kita tidak mengharapkan Sumber Mata Air Cipanteneun dan mata air yang bersumber dari Gunung Tampomas hilang karena ulah kita sendiri yang tidak bisa menjaga dan memeliharanya.

Pemerintah telah menetapkan empat baku mutu air ialah (1) Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu, (2) Air yang dapat digunakan sebagai bahan baku air minum, (3) Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian dan peternakan, (4) Air dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industry, pembangkit listrik tenaga air dsb.

Pelanggaran Surat Ijin Usaha Penambangan (SIUP) di kaki Gunung Tampomas mustahil tidak terjadi bahkan mungkin dilindungi, hal tersebut dicirikan dengan penggalian pasir yang membentuk tebing tinggi dan curam tanpa pengetrapan dan kedalaman pasirnya sudah jauh melebihi batas kedalaman maksimal yang diperbolehkan di dalam SIUP. Berlindung di balik SIUP menjadi modus para pengusaha nakal untuk terus menggali, padahal jelas izinnya untuk penambangan daur ulang dan penataan dan kalaupun ada yang harus digali untuk penataan diperbolehkan tidak lebih dari 3 (tiga) meter. Gertakan para pengambil kebijakan dianggap angin lalu oleh para pengusaha nakal dan tidak takut bencana terjadi di depan mata.

Contoh bagaimana mereklamasi lahan dengan upaya model pertanian yang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air terlihat jelas berada disampingnya, seharusnya para pengusaha kaya tersebut malu dengan langkah seorang UHA yang tetap mempertahankan dan bahkan memulihkan tanahnya dengan tanpa berniat mengambil keutungan duniawi sesaat. Seorang UHA yang lugu masih ingat anak cucunya untuk bisa hidup di tanah gersang bekas galian dan ingat masyarakat disekitarnya yang lambat laun pasti akan kekurangan sumber mata airnya. Wallohualam….

(Penulis adalah Kader Konservasi Sumberdaya Alam Sumedang)

Tidak ada komentar: