12 April, 2011

Insiden Selat Malaka

Tulisan ini dilengkapi dengan animasi yang mengilustrasikan insiden di Selat Malaka. Untuk mengaktifkan animasinya, klik di sembarang tempat. Jika perlu tampilan lebih besar, silakan klik di sini.

Latar Belakang:
Kapal Hiu 001 milik petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengidentifikasi ada dua kapal berbendera Malaysia sedang menangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Selat Malaka. Begitu kedua kapal ini ditangkap dan digirig ke Pelabuhan Belawan, di tengah jalan ada tiga helikopter Malaysia menghalangi. Petugas di dalam helikopter meminta kedua kapal itu dilepas karena menurut mereka, kapal itu masih berada di kawasan ZEE Malaysia. Merasa melakukan hal yang benar, petugas KKP tidak menggubris peringatan itu dan helikopterpun segera menghilang. Silakan Baca latarbelakang kasus ini di internet.

Fakta dan fenomena di Selat Malaka:

  1. Di Selat Malaka, Indonesia dan Malaysia sudah menetapkan garis batas landas kontinen tahun 1969. Garis ini hanya membagi dasar laut, tidak terkait dengan air.
  2. Garis batas yang membagi air (ZEE) belum ditentukan hingga kini dan nampaknya negosiasi belum mencapai banyak kemajuan.
  3. Artinya, telah ada kejelasan pembagian dasar laut dan kekayaan alam terkait (minyak, gas, dll) di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia tetapi belum ada pembagian jelas untuk tubuh air dan kekayaan alam terkait, terutama ikan. Lihat juga prinsip penguasaan dan berbagi laut antar negara di sini
  4. Meskipun belum ada batas ZEE, Indonesia dan Malaysia sama-sama memiliki klaim sendiri (unilateral). Indonesia mengklaim garis tengah (median line) antara Indonesia (Sumatra) dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE sedangkan Malaysia ingin menggunakan garis batas landas kontinen 1969 sekaligus sebagai garis batas ZEE (lihat animasi).
  5. Untuk menegaskan klaimnya, Indonesia bahkan sudah menerbitkan Peraturan Metri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. 1/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Permen ini membagi-bagi wilayah perariran Indonesia menjadi 11 WPP dengan batas terluar WPP mengikuti batas ZEE baik itu yang sudah ditetapkan dengan negara lain maupun yang diklaim sepihak oleh Indonesia. Kawasan terjadinya insiden di Selat Malaka ini termasuk dalam WPP-571 menurut Permen Kelautan dan Perikanan No. 1/2009. setidaknya secara sepihak, adanya Permen ini jelas menguatkan posisi Indonesia, meskipun Permen ini tidak berlaku bagi Malaysia.

Analisis Situasi

  1. Perbedaan klaim ini menyebabkan adanya kawasan yang diklaim oleh kedua belah pihak. Ini disebut kawasan tumpang tindih atau overlapping claim area. Perlu ditegaskan lagi bahwa yang tumpang tindih adalah arinya saja, tidak termasuk dasar lautnya. Terkait sumberdaya laut, maka yang menjadi persoalan adalah ikannya, bukan minyak dan gas bumi.
  2. Jika pihak Malaysia memasuki kawasan tumpang tindih ini, Indonesia akan menganggapnya sebagai pelanggaran, demikian pula sebaliknya.
  3. Meski belum ada kesepakatan, Indonesia dan Malaysia tetap akan menganggap kawasan tumpang tindih itu sebagai ZEE mereka. Jangan heran jika pejabat kedua negara menggunakan pernyataan seperti “insiden itu terjadi di ZEE negara kita”.
  4. Pernyataan semacam ini penting untuk menegaskan klaim dan memperkuat posisi jika nanti dilakukan negosiasi/perundingan. Sayangnya, hal ini justru sering membuat masyarakat awam tidak memperoleh informasi yang tepat perihal sengketa batas maritim.
  5. Dalam insiden di Selat Malaka tanggal 7 April 2011, diberitakan juga bahwa nelayan yang ditangkap oleh petugas KKP ternyata menggunakan alat penangkap trawl yang secara hukum mungkin merupakan betuk pelanggaran tersendiri. Perihal ini tidak dibahas di sini karena berada di luar cakupan analisis ini.

Opsi Solusi

  1. Penetapan batas maritim merupakan langkah pertama dan utama dalam menyelesaikan kasus antara Indonesia dan Malaysia. Tidak saja di Selat Malaka, kedua negara masih belum menuntaskan batas maritim di tiga lokasi lain: Selat Singapura (Perairan Berakit), Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi (Ambalat).
  2. Dalam delimitasi batas ZEE, pasal 74 UNCLOS mewajibkan dicapainya “solusi adil” atau “equitable solution” bagi negara-negara yang bersengketa. Mengingat Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasi UNCLOS maka keduanya harus mengacu pada UNCLOS dalam menyelesaikan proses delimitasi.
  3. Usulan Indonesia yang menggunakan “garis tengah” sebagai garis batas ZEE di Selat Malaka nampaknya lebih bisa diterima dibandingkan usulan Malaysia yang berniat menggunakan garis batas landas kontinen 1969 yang cenderung berada lebih dekat dengan Indonesia (Sumatra). Lihat animasi.
  4. Istilah “solusi adil” ini tentu saja tidak selalu harus berarti “garis tengah” tetapi penggunaan “garis tengah” jelas merupakan salah satu pilihan yang adil jika tidak ada hal-hal istimewa/luar biasa yang mempengaruhi.
  5. Jika usulan Indonesia diterima, artinya garis batas landas kontinen akan berbeda dengan garis batas ZEE. Artinya akan ada kawasan di Selat Malaka yang dasar lautnya jadi milik Malaysia tetapi air di atasnya milik Indonesia. Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kerumitan tersendiri dalam pengelolaan sumberdaya. Meski demikian, hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena sudah pernah terjadi di kawasan lain termasuk di Laut Timor antara Indonesia dan Australia.
  6. Jika Usulan Malaysia disetujui bahwa garis batas ZEE berhimpit dengan garis batas landas kontinen (lihat animasi) maka keuntungannya adalah akan ada satu garis tunggal bagi landas kontinen dan ZEE sehingga memudahkan pengelolaan sumberdaya laut. Meski demikian, alasan kepraktisan ini tentu saja tidak boleh mengabaikan alasan keadilan dalam delimitasi batas maritim.
  7. Dalam kenyataannya batas maritim hasil kesepakatan juga bisa merupakan kompromi dari posisi masing-masing. Misalnya, kawasan tumpang tindih dibagi dua.
  8. Solusi lain yang perlu dilakukan adalah menyepakati suatu konsensus perihal penanganan kejadian serupa di dalam kawasan tumpang tindih. Jika konsensus telah disepakati, perlu diterjemahkan secara rinci agar petugas di lapangan bertindak sesuai dengan konsensus yang sudah dicapai oleh pihak yang lebih tinggi. Ini penting untuk menjamin para nelayan tidak dirugikan hidupnya karena tiadanya kesepakatan batas maritim.
  9. Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah dengan membebaskan kawasan tumpang tindih itu dari segala aktivitas sebelum dicapainya suatu garis batas final. Meski demikian, tentu harus dipertimbangkan juga dampaknya bagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut di Selat Malaka.

Jalur penyelesaian

  1. Secara umum batas maritim bisa diselesaikan dengan negosiasi, mediasi, arbitrasi dan pengajuan ke lembaga peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ) dan ITLOS.
  2. Dari semua itu, ada kelebihan dan kekurangannya. Yang jelas, Indonesia dan Malaysia sampai saat ini masih menempuh cara negosiasi bilateral. Negosiasi ini memiliki kelebihan bahwa kasus ini sepenuhnya ada dalam kendali para pihak yang bersengketa. Ini bedanya dengan jika diajukan ke pengadilan internasional.
  3. Sampai saat ini Indonesia masih yakin dengan cara bilateral ini. Sementara itu Menlu Malaysia nampaknya mulai terbuka pada opsi pemanfaatan pihak ketiga seperti yang dilansir oleh Bernama.
  4. Saya pribadi berpendapat bahwa negosiasi adalah cara terbaik. Meski demikian, tentu saja semua pihak harus memahami sifat negosiasi bahwa tidak ada satu pihakpun yang akan mendapatkan semua yang diinginkannya. Setiap pihak pasti akan mendapatkan lebih sedikit dari apa yang diminta karena inilah inti dari negosiasi. Meski demikian, bisa dipastikan semua pihak akan mendapat bagian. Sementara itu, jika menggunakan jalur pengadilan internasional, bisa jadi satu pihak tidak mendapatkan apa-apa sementara pihak lain mendapatkan semuanya.
  5. Sebagai dua bangsa yang saling menghargai dan menjunjung perdamaian, apapun jalur yang ditempuh, Indonesia dan Malaysia akan menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai. Semoga.


http://www.borderstudies.info/?p=1099

2 komentar:

I Made Andi Arsana mengatakan...

Oak Mukhtar,

Mengapa sumber asli tulisan ini tidak dicantumkan Pak? Apa saya tidak cermat menelitinya ya?

Andi

MUKHTAR A.Pi. M.Si mengatakan...

ok sori hampir terlupakan sekarang sudah kami cantumkan