25 Maret, 2011

Produk Impor Merajalela akibat Pembiaran

Nasional Suara Karya


JAKARTA (Suara Karya) Fakta kian maraknya produk impor yang masuk ke Indonesia dalam setahun terakhir, menuntut pemerintah untuk memberikan perhatian khusus. Masalah ini mengancam perekonomian nasional karena eksistensi produk impor di dalam negeri dipastikan mematikan usaha dan pekerjaan ratusan juta masyarakat.

Apalagi produk impor yang masuk, khususnya dari China, juga bisa diproduksi di dalam negeri. Dengan pembiaran yang dilakukan pemerintah selama ini, bukan hanya produk industri (barang konsumsi) dari China saja yang masuk, melainkan juga berbagai jenis ikan yang sebenarnya tersedia melimpah ruah di perairan Indonesia mendapat saingan dari ikan-ikan yang didatangkan dari China.

Terakhir terungkap puluhan peti kemas berisi ikan dari China dan negara ASEAN lainnya masuk ke Indonesia melalui Pelabuhan Belawan-Medan dan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, serta sejumlah pelabuhan lainnya.

Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto memastikan marak-1 nya berbagai produk impor yang masuk Indonesia merupakan dampak penerapan area perdagangan bebas China dan ASEAN (China-ASEAN free trade area/CAFTA). Dia lantas menduga banyak importir nakal yang memanfaatkan pelaksanaan CAFTA untuk memasukkan sebanyak-banyaknya barang dari China dan negara ASEAN yang lebih murah.

"Masalah ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah karena mengancam produk petani dan nelayan serta industri nasional. Ada pihak yang memanfaatkan celah perdagangan bebas. Masalah ini akan berdampak berkurangnya mata pencarian masyarakat, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM)," katanya di Jakarta kemarin.

Airlangga mengatakan, terungkapnya impor ikan makarel dan ikan kembung ilegal dari China, menunjukkan salah satu modus importasi dengan memanfaatkan skema bahan pangan dari hasil laut dan pertanian.

"Banyak kasus terjadi, misalnya hasil bumi atau ikan tangkapan nelayan Indonesia diekspor lalu diolah dan kemudian diimpor kembali ke Indonesia. Ini jelas merugikan petani dan nelayan. Begitu juga produk-produk industri dari China dan negara lainnya yang dengan mudah dan murah masuk ke Indonesia. Semua ini dampak dari pelaksanaan CAFTA dan perjanjian perdagangan bebas lainnya," tuturnya.

Untuk itu, dia mendesak pemerintah bersikap tegas dan berani memberi sanksi keras terhadap para importir. Begitu juga pihak-pihak yang "bermain" dalam melakukan bisnis melalui skema perdagangan bebas.

"Sikap lunak pemerintah yang cenderung kompromistis bisa menimbulkan banyak korban. Terutama yang akan berjatuhan adalah para nelayan yang bersusah payah membangun perekonomian rakyat. Kalau ekonomi rakyat hancur, maka ekonomi makro juga bisa terganggu. Karena itu, perlu ada tindakan tegas terhadap para spekulan ini," tuturnya.

Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah memperbaiki regulasi terkait pengawasan impor ikan. Terutama dengan menekankan pada larangan impor jenis ikan yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, Kiara juga mendorong agar pemerintah melarang impor ikan yang spesifikasinya sama dengan ikan di dalam negeri.

Sekretaris Jenderal Kiara M Riza Damanik mengatakan, pemerintah juga harus mendesak para importir segera memulangkan kembali 5.300 ton ikan ilegal yang ditemukan di sejumlah pelabuhan tersebut. Jika tidak dipulangkan, pemerintah harus segera memusnahkannya.

"Pemerintah harus konsisten agar tidak memberikan ruang bagi importir nakal untuk kembali meloloskan ikannya. Apalagi kualitasnya tidak terjamin atau aman untuk dikonsumsi masyarakat. Kementerian Kelautan dan Perikanan harus serius memberantas praktik kejahatan perikanan. Jadi jangan sekadar menunjukkan eksistensi," ucapnya.

Di tempat terpisah, Menteri Perindustrian MS Hidayat meng-khawatirkan adanya praktik perdagangan yang tidak sehat oleh China terhadap Indonesia. Salah satunya dumping atau menjual barang-barang/komoditasnya lebih murah untuk ekspor. Ini karena sejak dilaksanakannya CAFTA per 1 Januari 2010, banyak ditemukan produk China yang di bawah standar.

"Untuk itu, kita harus melakukan berbagai upaya, antara lain upaya menggunakan safeguard atau menggunakan instrumen antidumping. Dalam hal ini, kita berharap kalangan industri di dalam negeri bisa mengajukan keberatan, karena mengalami kerugian akibat produk sejenis dari luar negeri," katanya.

Hidayat mengakui, pelaksanaan CAFTA sudah berdampak pada kinerja dan menekan industri nasional. Terutama industri di sektor furnitur/mebel, logam dan produk logam, elektronik, permesinan, tekstil dan produk tekstil, mainan anak, kosmetik, dan jamu serta lainnya.

Selain impor barang jadi, dampak negatif CAFTA juga berupa peningkatan impor bahan baku. Selain itu juga terjadi kecenderungan penurunan pangsa pasar industri dalam negeri. Untuk itu, diharapkan lemba-ga/instansi pemerintah berwenang bisa mempercepat proses investigasi adanya dumping. Yang kita mau cegah itu persaingan yang tidak sehat," tuturnya.

Lebih jauh Hidayat menjelaskan, dumping dan banyak beredarnya produk-produk di bawah standar membuktikan Pemerintah China melakukan tindakan yang memberikan proteksi bagi industrinya. Apalagi memang Pemerintah China memberikan subsidi dan potongan pajak untuk industrinya.lAndriin/Bayu)

Tidak ada komentar: