Negeri bahari yang memiliki luas laut 5,8 juta kilometer persegi atau 70 persen dibanding luas daratannya ternyata menyimpan ironi. Betapa tidak, di tengah melimpahnya kekayaan laut dan upaya menjadi eksportir produk perikanan terbesar, ekonomi nelayan berada di jurang terbawah. Hari-hari ini, nelayan menjerit karena cuaca ekstrem. Di beberapa daerah, nelayan sudah tidak bisa makan lantaran tidak memiliki penghasilan lagi.
Ini tentu bertolak belakang dengan angka yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Januari lalu. KKP menyebutkan pendapatan nelayan buruh 2010 sebesar 1.287.126 rupiah per kapita per bulan. Angka itu naik 127,59 persen dari tahun 2009 yang 565.550 rupiah per kapita per bulan. Menurut Dedy Sutisna, Dirjen Perikanan Tangkap KKP, peningkatan pendapatan nelayan memang telah menjadi program utama yang dimasukkan ke empat pilar perikanan tangkap dalam usaha meningkatkan penghasilan nelayan tradisional. Angka yang dikeluarkan KKP, menurut Muhammad Reza, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI), tidak sesuai kenyataan di lapangan. Selama 2010, banyak nelayan tidak bisa melaut karena anomali cuaca.
“Jika mengacu pada logika ini, maka sebenarnya pendapatan nelayan turun, bukan meningkat,” katanya. Riza Damanik, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan nelayan bukan lagi jenis pekerjaan yang menjanjikan. Sudah banyak nelayan yang beralih menggeluti pekerjaan lain. Jumlah nelayan, menurut perkiraan Riza, tinggal 2,6 juta orang saja. “Padahal tahun 2006 jumlahnya masih mencapai 3,99 juta orang,” katanya. Penurunan jumlah nelayan ini disebabkan oleh pencemaran kawasan perairan, liberalisasi kawasan pesisir, seperti reklamasi pantai untuk keperluan industri dan pariwisata, tingginya biaya melaut karena harga bahan bakar yang tidak murah, dan cuaca buruk.
Tingginya tingkat pencemaran di laut membuat jumlah ikan berkurang karena habitatnya mulai rusak dan tercemar. Nelayan di Teluk Jakarta, perairan Makassar, perairan Sumatra Utara, dan lainnya mengeluhkan wilayah tangkapan mereka yang telah rusak. Sektor pariwisata mengusir nelayan di wilayah pariwisata yang sering kali menuntut ketiadaan nelayan, misalnya di Bali, Wakatobi, dan Raja Ampat. Nelayan-nelayan kita tidak boleh menangkap ikan dengan alasan wilayah itu merupakan wilayah pariwisata, akan mencemari, dan sebagainya. “Kalau dibiarkan terus, saya khawatir Indonesia akan kehilangan nelayan-nelayan andal,” ujarnya.
Di tengah kondisi yang kurang menguntungkan, ditambah dengan cuaca ekstrem, seharusnya pemerintah memberikan asuransi bagi nelayan. Jaminan santunan asuransi akan mendorong nelayan lebih berani melaut. Langkah kedua yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan sarana informasi yang mudah diakses nelayan hingga ke kampung-kampung dan wilayah terpencil. Informasi harus terperinci, menyangkut kapan boleh melaut, tidak boleh melaut, dan petunjuk ke arah mana mereka sebaiknya melaut.
hay/L-1
sumber : http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=74396
baca juga : http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/55919/KKP-mengklaim-pendapatan-nelayan-pada-2010-meningkat-
Ini tentu bertolak belakang dengan angka yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Januari lalu. KKP menyebutkan pendapatan nelayan buruh 2010 sebesar 1.287.126 rupiah per kapita per bulan. Angka itu naik 127,59 persen dari tahun 2009 yang 565.550 rupiah per kapita per bulan. Menurut Dedy Sutisna, Dirjen Perikanan Tangkap KKP, peningkatan pendapatan nelayan memang telah menjadi program utama yang dimasukkan ke empat pilar perikanan tangkap dalam usaha meningkatkan penghasilan nelayan tradisional. Angka yang dikeluarkan KKP, menurut Muhammad Reza, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI), tidak sesuai kenyataan di lapangan. Selama 2010, banyak nelayan tidak bisa melaut karena anomali cuaca.
“Jika mengacu pada logika ini, maka sebenarnya pendapatan nelayan turun, bukan meningkat,” katanya. Riza Damanik, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan nelayan bukan lagi jenis pekerjaan yang menjanjikan. Sudah banyak nelayan yang beralih menggeluti pekerjaan lain. Jumlah nelayan, menurut perkiraan Riza, tinggal 2,6 juta orang saja. “Padahal tahun 2006 jumlahnya masih mencapai 3,99 juta orang,” katanya. Penurunan jumlah nelayan ini disebabkan oleh pencemaran kawasan perairan, liberalisasi kawasan pesisir, seperti reklamasi pantai untuk keperluan industri dan pariwisata, tingginya biaya melaut karena harga bahan bakar yang tidak murah, dan cuaca buruk.
Tingginya tingkat pencemaran di laut membuat jumlah ikan berkurang karena habitatnya mulai rusak dan tercemar. Nelayan di Teluk Jakarta, perairan Makassar, perairan Sumatra Utara, dan lainnya mengeluhkan wilayah tangkapan mereka yang telah rusak. Sektor pariwisata mengusir nelayan di wilayah pariwisata yang sering kali menuntut ketiadaan nelayan, misalnya di Bali, Wakatobi, dan Raja Ampat. Nelayan-nelayan kita tidak boleh menangkap ikan dengan alasan wilayah itu merupakan wilayah pariwisata, akan mencemari, dan sebagainya. “Kalau dibiarkan terus, saya khawatir Indonesia akan kehilangan nelayan-nelayan andal,” ujarnya.
Di tengah kondisi yang kurang menguntungkan, ditambah dengan cuaca ekstrem, seharusnya pemerintah memberikan asuransi bagi nelayan. Jaminan santunan asuransi akan mendorong nelayan lebih berani melaut. Langkah kedua yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan sarana informasi yang mudah diakses nelayan hingga ke kampung-kampung dan wilayah terpencil. Informasi harus terperinci, menyangkut kapan boleh melaut, tidak boleh melaut, dan petunjuk ke arah mana mereka sebaiknya melaut.
hay/L-1
sumber : http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=74396
baca juga : http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/55919/KKP-mengklaim-pendapatan-nelayan-pada-2010-meningkat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar