Menyambut HUT ke-60, Fakultas Ekonomi UI bekerja sama dengan harian ”Kompas” menyelenggarakan diskusi bertema ”Revolusi Biru: Revitalisasi Kejayaan Kekuatan Ekonomi Kelautan Indonesia”, Selasa (1/2). Sebagai pembicara adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Guru Besar FEUI Sri-Edi Swasono, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB Bogor Arif Satria, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik, serta pelaku usaha perikanan, Bambang Suboko. Sebagai moderator adalah Guru Besar FEUI Subroto. Laporan dituliskan berikut ini oleh Ninuk Mardiana Pambudy, di halaman 6 oleh Agnes Aristiarini dan Subur Tjahjono, serta di halaman 7 oleh Brigitta Isworo Laksmi (*)
Bukan kebetulan apabila orang menyebut Indonesia dengan tanah air. Indonesia adalah negara kepulauan yang sekitar 70 persen wilayahnya berupa laut dengan lebih dari 17.000 pulau. Meski begitu, pemanfaatan dan pengembangan potensi laut tertinggal jauh jika dibandingkan dengan pengembangan daratan.
Padahal, Indonesia yang membentang dari Merauke di timur hingga Sabang di barat dan dari Miangas di utara hingga Rote di selatan memiliki salah satu sumber daya laut terbaik di dunia. Tidak hanya kaya berjenis ikan dan biota laut lain, laut Indonesia juga sumber mineral dan energi terbarukan. Semua belum terolah optimum selama 65 tahun Indonesia merdeka, tecermin pada sumbangan sektor kelautan terhadap produk domestik bruto (GDP) yang tak lebih dari 25 persen. Lebih ironis, nelayan dan masyarakat pesisir adalah yang termiskin dalam strata sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
Terputusnya pengembangan potensi maritim Indonesia bukan tanpa sebab. Kolonial Portugal, Inggris, dan Belanda, demikian diungkapkan Prof Sri- Edi Swasono, mengambil alih kekuatan maritim kerajaan-kerajaan Nusantara melalui perjanjian dagang yang memonopoli. Belanda, melalui tanam paksa, menjadikan daratan sumber keuangannya. Di sisi lain, Jawa yang sangat subur dan padat penduduk mendorong pembangunan berorientasi tanaman pangan di daratan demi memenuhi kebutuhan dasar penduduk.
Diskusi ini menyoroti persoalan mendasar saat ini, yaitu manajemen pemerintah yang belum optimum di pusat dan daerah. Yang sangat terasa adalah tidak adanya panduan jelas arah pembangunan, sangat minimnya pemanfaatan potensi alam, dan masih dikuasainya sumber daya Indonesia oleh bangsa asing sehingga menghambat dalam memberi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045, demikian Dekan FEUI Firmanzah, kini waktunya laut menjadi perhatian utama untuk menjamin kemakmuran sebesar-besarnya dan berkelanjutan untuk rakyat, seperti amanat UUD 1945.
Negara maritim
Laut harus dilihat sebagai kesatuan dari daratan yang menyusun 30 persen luas Indonesia; sebagai satu kesatuan untuk meneguhkan kenusantaraan, membentuk kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Laut berperan sebagai pemersatu pulau-pulau Nusantara.
Dengan kata lain, demikian peserta aktif diskusi, pakar kelautan Prof Dr Hasjim Djalal, membangun kelautan Indonesia tidak terbatas hanya mengembangkan potensi perikanannya, tetapi juga mineral, pertambangan, dan energinya.
Laut pun harus dilihat dalam jangkauan 200 mil dari garis pantai Nusantara, termasuk wilayah dasar samudranya, seperti diakui dalam Konferensi Hukum Laut 1982. Karena itu, sebagai negara maritim, Indonesia harus mampu memanfaatkan kekayaan alam dan memainkan peran utama hingga ke Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, bahkan ke Antartika. Tanpa kemampuan memainkan peran utama itu, Indonesia barulah menjadi negara kepulauan.
Untuk memulai ”Revolusi Biru” tersebut, harus ada perubahan wawasan berpikir. Seperti diungkapkan Sri Edi, harus ada strategi budaya yang menempatkan laut dan kelautan sebagai sarana hidup berkelanjutan bangsa Indonesia agar pembangunan kelautan memiliki roh dan disertai komitmen. Peran pendidikan menjadi sangat penting. Terutama karena, seperti disebutkan Guru Besar Kebijakan Ekonomi Kelautan IPB Bogor Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, pembangunan kelautan adalah pergumulan peradaban, membingkai ulang masa depan, sehingga diperlukan transformasi kebijakan.
Namun, yang terpenting adalah diperlukan pemimpin dari tingkat pusat hingga lokal yang terus mendorong perubahan wawasan hingga mewujud.
Butuh pemimpin
Satu hal yang menjadi sorotan dalam diskusi adalah pemanfaatan kekayaan sumber daya Indonesia haruslah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seperti berulang kali ditegaskan Prof Subroto, pembangunan tidak hanya untuk membesarkan ekonomi nasional, tetapi tak kalah penting siapa berpartisipasi dan siapa menikmati hasil pembangunan. Kembali pada konstitusi, nelayan dan petani harus diikutkan dan menikmati hasil pembangunan kelautan.
Dengan melihat model pengembangan perikanan di beberapa negara, Dr Arief Satria menawarkan model pembangunan perikanan kombinasi model teknopopulis yang sangat protektif terhadap nelayan kecil, tetapi mendorong nelayan besar ke perairan internasional. Sedangkan untuk perikanan budidaya model populis yang memproteksi penuh nelayan tradisional.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagai lembaga negara yang didirikan 11 tahun lalu serta ditugasi mengelola kekayaan laut dan perikanan, memiliki optimisme besar dalam pemanfaatan potensi laut melalui perikanan tangkap dan budidaya.
Kembali peran kepemimpinan sangat sentral dalam perubahan wawasan tersebut. Dalam koordinasi, misalnya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menyebutkan, kementerian tersebut hanya mengendalikan 20 persen dari semua kebijakan yang diperlukan agar berhasil. Sisanya ada di lembaga lain.
Dalam pembiayaan, misalnya, perbankan tak berminat mendanai sektor perikanan, sementara bunga bank bisa berlipat 4-5 kali dari bunga negara tetangga.
Faktor lain, otonomi daerah. Desentralisasi pembangunan belum diikuti dengan kapasitas sumber daya manusia yang memadai. Akibatnya, gerak pemerintah daerah tidak selalu seiring dengan pusat. Pajak untuk obyek yang sama dapat dipungut tiga kali dari pusat hingga daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar