04 Januari, 2011

OSTROVNITSA DI HARI NUSANTARA

Djoko Tribawono

Ostrovnitsa

Sejak abad 17 orang-orang Rusia masa pemerintahan Tsar Peter Agung dikenal cerita tentang negeri bernama “Ostrovnitsa” atau Negara Kepulauan. Para peneliti modern berpendapat, itu adalah Indonesia (Mida Saragih,2010). Ivan Kruzenstern dan Yuri Lisyansky pengeliling dunia menggunakan kapal Nadezdha dan Neva dikisahkan tahun 1906 masuk Laut China melalui Selat Sunda, pelayaran ini pembuka pintu kontak antara orang-orang Rusia dengan wilayah yang kini disebut Indonesia.

Mulai saat itu sering terjadi kontak dagang, seperti menjual kerosin dan manufaktur di pulau-pulau yang ketika itu disebut wilayah India Timur Belanda, dan sebaliknya membeli kopi, teh, tembakau, kopra, rempah-rempah, dan timah. Saking semangatnya mengembangkan dan meningkatkan hubungan dagang, tahun 1894 Rusia mendirikan konsulat di Batavia India Timur (kini bagian dan Jakarta) dipimpin M.Bakunin, seorang pengarang monograf yang menguraikan kehidupan penduduk dengan keragaman adat istiadat, serta keindahan alam di Nusantara dalam buku berjudul “Tropical Holland” tahun 1902. Sementara itu sekarang “Ostrovnitsa” menjadi negara “baru” setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kilas balik mengindikasikan bahwa sejak zaman dahulu Nusantara dengan sumberdaya alamnya boleh diibaratkan sebagai “madu” nya dunia yang menjadikan bangsa lain berdatangan.

Nusa Antara

Kepulauan Indonesia dengan untaian pulau-pulau di garis katulistiwa, terhampar di atas laut, merupakan faktor fisik paling dominan membentuk tanah tumpah darah Indonesia. Zaman dahulu sebagian penduduk asli beranggapan seluruh laut hanya satu sebagai “telaga luas” yaitu dimana mereka hidup. Oleh sebab itu diartikan “Tagaroa” bahwa “taga” berarti telaga dan “roa” artinya luas; sekarang masih digunakan oleh rakyat Sangir Talaud (Anugerah Nontji, 2007). Istilah tagaroa “wilayah laut maha luas” mencakup Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dikenal dan digunakan setelah kedatangan pelaut Eropa abad ke 15 dan 16. Tagaroa, selain digunakan untuk nama laut maha luas digunakan pula untuk nama dewa laut yang menguasai seluruh laut disebut ”Dewa Tagaroa”. Pengertian dan kebiasaan ini sama dengan pandangan orang Yunani kala itu, dan hingga kini ditiru bangsa-bangsa barat yang menggunakan nama dewa laut ”Okeanos” menjadi nama sebutan samudera luas ”Ocean”.

Posisi geografis Indonesia yang di katulistiwa, diantara dua tataran benua dan dua samudera merajut pulau-pulau sering disebut Nusantara asal kata ”Nusa” (pulau) dan ”Antara” (diapit) dua samudera dan benua. Di posisi silang kondisi perairan laut dipengaruhi kedua benua dan samudera yang berdampak terhadap kehidupan biota laut. Beberapa jenis ikan peruaya (migratory) menggunakan perairan Nusantara sebagai koridor yang harus dilewatinya dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebaliknya; berarti vital untuk eksistensinya. Wujud dasar laut pun sangat komplek, dijumpai paparan yang dangkal, terumbu karang, gunung api bawah laut dlsb.

Laut dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti transportasi laut, perikanan, pertambangan, sumber bahan baku obat-obatan, energi, rekreasi dan pariwisata, pendidikan dan penelitian, konservasi sumberdaya alam, dan yang sangat strategis adalah menyangkut pertahanan keamanan. Selain manfaatnya, laut juga mengandung potensi bencana alam, misal dampak perbenturan lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Lempeng Pasifik, atau pergeserannya menjadi sumber gempa dan tsunami yang destruktif. Sisi lain laut juga mengalami perusakan/penurunan kualitas lingkungan karena pencemaran, atau karena eksploitasi sumberdaya berlebihan. Degradasi lingkungan laut dapat terjadi karena eksploitasi yang tidak rasional melebihi kemampuan produksi lestari; kerusakan pantai akibat pengambilan karang batu atau pasir secara tak terkendali, menjadikan erosi pantai, pulau terkikis habis, garis pantai menjadi mundur menggerogoti daratan di belakangnya. Mengingat manfaat laut demikian besar yang sekaligus dapat pula menimbulkan bencana, maka pengetahuan tentang laut beserta isinya perlu terus dikembangkan, dimasyarakatkan, dengan demikian posisi Indonesia sebagai negara bahari menjadi semakin pasti.

Wujudkan budaya kelautan

Perikanan bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional; laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa kelautan, namun demikian sebagai sebuah sistem, perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut Hal ini terkait dengan premise bahwa perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks keruangan. Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia panjang pantai 95.181 km (World Resources Institute,1998), wilayah laut 5,4 juta km2, mendominasi total luas teritorial Indonesia 7,1 juta km2. dikaruniai sumber daya kelautan yang besar kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati kelautan.

Meskipun Indonesia merupakan negara kepulauan, perlu mencontoh Rusia, Cina, dan India, sudah sejak lama mengembangkan visi-misi kelautan dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Rusia mulai tahun 1960, India menyusul sekitar tahun 1970-an, kemudian Cina dibawah kepemimpinan Deng Xiao Ping, menetapkan program-program kelautannya. Semula Cina hanya mengeksplorasi dan mengeksploitasi perikanan di laut Cina Selatan, tetapi sudah merambah hampir di seluruh perairan dunia. Indonesia yang mempunyai perairan sebagai lanjutan Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 seharusnya sudah sejak dulu mengembangkan visi-misi kelautannya.

Bangsa Indonesia yang berintegritas harus mampu memahami sumberdaya dan kemampuan diri untuk memanfaatkan demi peningkatan kesejahteraan, kebanggaan nasional. Untuk mewujudkannya maka semangat perubahan dijadikan semangat dasar seperti isampaikan Evelyn Waugh yaitu "change is only evidence of life" mengubah perilaku berkehidupan masa lalu menuju masa depan yang penuh integritas, kebanggaan dan kesejahteraan yang berkeadilan. Terangkum dalam Renstra Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, ingin mewujudkan ”Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015”, ditempuh melalui pendekatan pengelolaan perikanan dan kelautan secara komprehensif Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat di mana, dalam konteks platform perikanan menjadi salah satu indikator utamanya. Sukses tidaknya merealisasi impian di tahun 2015 adalah dengan menumbuhkan kembangkan kesadaran budaya kelautan, melalui percepatan penyadaran budaya maritim, melengkapi kelembagaan pendidikan berbasis kelautan dan perikanan, serta mengeliminasi perilaku masyarakat yang dapat memusnahkan potensi kelautan.

Senyampang kita menyambut Hari Nusantara Tahun 2010, mari kita mencari jawaban atas pertanyaan apakah ”jiwa bahari” sudah membumi dikalangan punggawa negara, dan masyarakat, sehingga secara optimal bisa memanfaatkan potensi laut Nusantara ?. Dikaitkan kata-kata Yahya Muhaimin ”Walaupun Indonesia selama ini dikenal memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, tetapi kalau SDM kita tidak mumpuni, kita hanya akan menjadi orang-orang upahan”. Bisa jadi potensi laut Nusantara akan dikeruk negara lain, dan kita hanya akan gigit jari apabila SDM Indonesia tidak mempunyai ”jiwa bahari”. Mudah-mudahan semangat bahari akan membangkitkan idealisme setiap kita memperingati Hari Nusantara. Amin

Djoko Tribawono

ISPIKANI Jawa Timur

Dosen LB FPK Unair, Dosen Tamu Perikanan UGM, Pemerhati Kebijakan Kelautan-Perikanan

Tinggal di Surabaya

Dimuat : Harian Bhirawa di Surabaya

Kamis Pon, 16 Desember 2010

Tidak ada komentar: