Jakarta, Kompas - Nelayan mulai beradaptasi dengan perubahan iklim yang ekstrem. Mereka mencari alternatif penghasilan, selama tidak bisa melaut, antara lain dengan mencari kerang, berdagang, atau membuat kerajinan.
Di perkampungan Nelayan Marunda, Jakarta Utara, misalnya, sejumlah nelayan mencari alternatif penghasilan dengan menangkap kerang di pinggiran pantai. Hal ini dilakukan karena mereka tak dapat melaut akibat cuaca ekstrem.
Sebagian nelayan lainnya, membuat kerajinan alas kaki dan keset dari limbah industri garmen. Upah yang mereka terima Rp 30.000 per hari per orang. Upah tersebut menjadi penopang hidup, selain upah mereka sebagai buruh bangunan.
Adaptasi tidak hanya dalam sumber mata pencarian, tetapi juga pola makan, menyesuaikan dengan keuangan.
Tiharom, nelayan di Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara, menuturkan, keluarganya memanfaatkan daun enceng gondok untuk sayuran dan hasil tangkapan kerang untuk lauk.
Selama cuaca ekstrem, ujar Tiharom, kapal-kapal nelayan kecil di Marunda, yang biasanya hanya mampu melaut sejauh 2 mil, tidak bisa melaut. ”Perubahan cuaca
semakin sulit diprediksi. Terpaksa mencari pendapatan lain,” ujar Tiharom, yang memiliki kapal berbobot mati 2 ton.
Menurut Sekretaris Nasional Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dedy Ramanta, berbagai cara nelayan untuk mencari nafkah menunjukkan mereka tidak menyerah kepada keadaan.
Pemerintah menyebut fenomena cuaca ekstrem sebagai bencana sosial. Oleh karena itu, tahun ini pemerintah menggulirkan bantuan beras sebanyak 13.271 ton untuk kebutuhan selama 14 hari. Bantuan tersebut diberikan kepada 473.983 nelayan di 41 kabupaten/kota di 20 provinsi. Nelayan yang mendapat bantuan sudah tidak melaut selama 2010.
Respons pemerintah menangani dampak cuaca ekstrem di kampung nelayan, kata Dedy, terhambat akurasi data dan status kebencanaan.
Penelusuran Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), terdapat 12 kabupaten/kota yang belum dicantumkan sebagai terdampak cuaca ekstrem. Jika wilayah-wilayah itu dimasukkan, ada 550.000 nelayan yang tidak melaut, atau sekitar 2 juta orang keluarga nelayan yang terancam penghidupannya.
Akurasi data terkait nelayan yang terkena dampak sangat dibutuhkan untuk menetapkan besarnya bantuan dan masyarakat yang menjadi sasaran.
Upaya lain untuk mengantisipasi dampak cuaca ekstrem, menurut Dedy, perlu dibangun sistem distribusi informasi cuaca sampai ke pelosok memanfaatkan teknologi internet dan tenaga penyuluh perikanan.
Upaya lain, menyediakan modal lunak untuk usaha produktif karena nelayan butuh kegiatan ekonomi alternatif sebagai penopang hidup. (LKT/MZW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar