23 Desember, 2010

Perlukah Menunggu Bencana Besar

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA





Nelayan berjibaku dengan ombak besar saat mencari kerang di sekitar perairan Pantai Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (17/12). Ombak besar dan angin kencang yang juga melanda sekitar kawasan Jawa Tengah ini menyebabkan penghasilan mereka turun drastis dari 50 kilogram kerang per hari menjadi 4 kilogram kerang per hari.


Brigitta Isworo


”Tanggal 1-10 Oktober lalu praktis kami tidak melaut karena cuaca sangat jelek,” kata Arsap Ismail, nelayan sekaligus Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Tanjung, Jumat (15/10), tentang nasib nelayan tradisional yang berpenghasilan Rp 10.000-Rp 20.000 per hari. Nelayan tradisional hanya mengandalkan pancing dan jaring biasa.


Akibat buruknya kapasitas negara, dalam setahun nelayan tradisional hanya bisa melaut sekitar 160 hari-180 hari. Padahal, mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan. Mengutip data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengungkapkan, jumlah nelayan turun dari 2.755.794 pada tahun 2007 menjadi 2.752.490 nelayan.


Fakta di bidang pertanian tidak lebih baik. ”Badan Pusat Statistik meramalkan, produksi padi Jawa Barat tahun 2010 sebesar 10,93 juta ton, turun 3,1 persen dibandingkan dengan tahun lalu, 11,28 juta ton,” kata Endang, seorang petani. Anomali cuaca adalah buah dari perubahan iklim. Perubahan iklim sendiri diakibatkan oleh pemanasan global akibat tingginya intensitas gas rumah kaca (GRK) di atmosfer hasil dari aktivitas manusia.


Berupa negara kepulauan dan di wilayah pertemuan dari dua samudra besar, Atlantik dan Pasifik, Indonesia amat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim telah mengakibatkan gelombang tinggi, angin kencang, banjir besar atau kekeringan di sisi lain, merebaknya hama, dan bermigrasinya ikan ke perairan subtropis yang lebih ”sejuk”—berarti nelayan harus berlayar lebih jauh.


Ahli kelautan dan perubahan iklim dari Institut Pertanian Bogor, Alan F Korompis, mengutip laporan Cheung dkk (2009) di jurnal Global Change Biology, jika skenario peningkatan COdi atmosfer sampai 720 ppm terjadi pada 2100, Indonesia berpotensi kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Armi Susandi, Wakil Ketua Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), juga pakar perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung, menyatakan, pada 2050, 750-1.000 pulau Indonesia akan tenggelam. ”Paras muka laut di beberapa lokasi pesisir Jawa, misalnya, akan naik 100 cm pada 2050. Sejumlah kota di Jawa akan tenggelam,” kata Armi (Kompas, 20/7).


Akibat perubahan iklim, kualitas dan kuantitas bencana terkait iklim meningkat (baca: dampaknya semakin parah, besar, dan luas serta semakin sering terjadi). Perubahan iklim memperparah bencana yang disebabkan kerusakan lingkungan.


Kalah dari Mitigasi
Adaptasi dibutuhkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Bagaimana kota pantai harus dihindarkan dari ancaman rob yang semakin parah, bagaimana petani harus dihindarkan dari risiko sawah puso, bagaimana agar pesisir tidak ”tenggelam”. Untuk itu harus dilakukan langkah-langkah adaptasi, misalnya dengan membangun tanggul, menggeser permukiman ke arah pedalaman, dan menanam mangrove.


Di samping adaptasi dikenal pula upaya mitigasi. Mitigasi merupakan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca untuk jangka panjang. Bagi negara dengan kerentanan tinggi, Indonesia mestinya mendahulukan adaptasi. Alih-alih menyusun cetak biru adaptasi, pemerintah justru mendorong upaya mitigasi yang ditandai dengan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 26 persen dibandingkan dengan level emisi tahun 2005 dengan upaya sendiri dan 41 persen jika ada bantuan dari luar negeri. Perlu diakui bahwa pendanaan internasional untuk program adaptasi amat sedikit jika dibandingkan dengan dana untuk program mitigasi.


Oxfam International memperkirakan, untuk adaptasi perubahan iklim di seluruh dunia dibutuhkan dana 150 miliar dollar AS per tahun. Pertemuan Para Pihak Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim di Bali pada 2007 menyepakati pembentukan Badan Dana Adaptasi Perubahan Iklim (AFB). Per 31 Oktober 2010, akumulasi dana adaptasi AFB baru 192,51 juta dollar AS. Sementara itu, janji dari Catatan Kopenhagen tahun lalu pada COP-15, negara maju akan mengalokasikan dana 10 miliar dollar AS per tahun hingga tahun 2012 dan akan mengumpulkan 100 miliar dollar AS hingga tahun 2020.


Sementara itu, program mitigasi Indonesia, yaitu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dengan cepat mendapat bantuan 1 miliar dollar AS untuk 2010-2012 dari Norwegia dan baru-baru ini pada Pertemuan Para Pihak Ke-16 Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (COP-16 UNFCCC) di Cancun, Meksiko, telah menarik minat Finlandia dan Australia.


”Seharusnya upaya adaptasi dan mitigasi itu seimbang,” ujar Koordinator Adaptasi Perubahan Iklim Ari Muhammad dari World Wide Fund for Nature (WWF). Tahun 2007 telah disusun Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (RAN Mapi) oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, hingga sekarang masih terus direvisi. Kondisi ini kemungkinan besar akan bertahan tahun depan jika tidak ada gebrakan dari DNPI yang menjadi ujung tombak pengambilan kebijakan strategis dengan pengarusutamaan perubahan iklim.


Jika ada langkah adaptasi yang dilakukan, sifatnya amat sektoral. ”Ada kesenjangan antarsektor yang luar biasa dalam,” tutur Ari. Kementerian Pertanian, misalnya, memiliki program membangun embung-embung di berbagai daerah untuk mengatasi kekeringan. Bibit unggul juga ada di lemari hasil penelitian di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serta di bagian penelitian dan pengembangan Kementerian Pertanian. Mereka akan mengatakan telah melakukan langkah adaptasi.


Padahal, kata Ari, adaptasi tidak bisa bersifat sektoral karena setiap bidang selalu di dalamnya terlibat sektor lain. ”Masalah pertanian saja di dalamnya ada Kementerian Pekerjaan Umum, Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan BUMN.”


Langkah pertama adaptasi juga belum dilakukan, yaitu penilaian faktor kerentanan di semua wilayah dengan hasil berupa peta kerentanan. Ini sudah ditagih banyak pihak sejak tahun 2007. ”Asesmen kerentanan regional dan lokal harus dilakukan bersama masyarakat lokal serta dengan koordinasi antarsektor dan antarwilayah,” kata Ari. Karena terkait bencana, upaya pengurangan risiko bencana harus masuk dalam rencana adaptasi. ”Untuk itu Badan Nasional Penanggulangan Bencana harus duduk bersama dengan DNPI agar langkahnya sinergi dengan pedoman bersama. Ini untuk langkah efisiensi,” ujar Ari.


Kendala besar untuk menyusun program adaptasi yang menyeluruh dan efisien menurut Ari adalah masih sempitnya pemikiran di setiap sektor akibat ketidakpahaman mereka akan isu perubahan iklim. Yang kedua adalah ketidakrelaan pembagian keuntungan setiap sektor karena jika bersinergi, sumber daya akan terbagi, termasuk pendanaan. Apakah harus menunggu terjadinya bencana yang besar baru mindset kita berubah?” Ari bertanya. Ya, perlukah?

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/20/05262447/perlukah.menunggu.bencana.besar

Tidak ada komentar: