Kearifan lokal dan sederetan undang-undang nasional dan internasional berupa pantangan untuk membunuh lumba-lumba tidak mampu membendung lajunya pembunuhan lumba-lumba di pantai timur Sumatera, tepatnya di perairan Riau. Inilah sepenggal kisah dramatis pembantaian lumba-lumba hidung botol di perairan Riau.

Awalnya lumba-lumba sering terperangkap jaring nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Sebagaimana kebiasaan mahluk hidup, lumba-lumba pun berupaya melepaskan dirinya dari jaring. Dengan giginya yang tajam, si lumba-lumba mengoyak jaring milik nelayan. Lumba-lumba dapat terlepas dan kembali ke laut. Nelayan setempat tetap berusaha bersabar meskipun jaringnya sering rusak. Setiap lumba-lumba terjaring, maka nelayan akan melepaskannya kembali.

‘Jaring yang terkoyak’ inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal terjadinya pembantaian makhluk yang berstatus ‘dilindungi’ itu. Setelah kebetulan demi kebetulan yang terus terjadi terjadi akhirnya para nelayan mulai kehilangan kesabarannya. Lumba-lumba yang terjaring tidak lagi mereka lepaskan ke tengah laut, tapi dicincang untuk disantap bersama. Kenikmatan daging lumba-lumba pun menyebar, yang membuat perdagangan lumba-lumba kian digemari masyarakat Bagan.

“Lumayan enak daging lumba-lumba ini, apa lagi dimasak kari. Kelezatannya menyerupai daging sapi,” ungkap Hisbulah (45) seorang nelayan dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (10/12/2010) lalu.

Kelezatan daging lumba-lumba kian menyebar di seluruh masyarakat. Malah masyarakat meyakini dengan menyantap lumba-lumba akan menambah keperkasaan buat pria. Hisbulah yang sudah menyantap daging lumba-lumba sejak 20 tahun silam itu mengaku daging itu memang berkhasiat dan bisa menambah gairah. “Pokoknya kalau sudah makan daging lumba-lumba, stamina kita luar biasa. Mungkin karena banyak memakan daging lumba-lumba, makanya saya bisa memiliki 8 orang anak,” kata Hisbulah sembari tertawa.

Jika sebelumnya nelayan berdalih membunuh lumba-lumba karena kesal jaringnya yang robek, lambat laun mereka punya alasan lain. Minimnya pendapatan ikan di laut semakin memperparah pembunuhan luma-lumba. Belakangan, sejumlah nelayan tradisional pun dengan sengaja memburu lumba-lumba karena memang dagingnya laris manis dijual di pasar tradisional.

Pengakuan sejumlah nelayan, aksi perburuan lumba-lumba ini sudah berjalan sejak 20 tahun silam. Dan sampai kini perburuan itu masih tetap berlangsung. Hanya saja yang membedakannya, kini nelayan mulai kesulitan untuk menemukan lumba-lumba itu. Mungkin saja populasinya mulai berkurang.

“Sekarang ini kita sangat susah ketemu lumba-lumba. Tidak kayak dulu, saban hari pasti ada yang terjaring. Sekarang semingggu sekalipun payah kita dapatkan. Padahal pesanan banyak dari para pedagang ikan di pasar. Kalau masih menemukan lumba-lumba, biasanya kami tetap jual kepada pedagang ikan,” cerita Wak Atan nelayan lainnya.

Meski jumlah lumba-lumba tertangkap nelayan makin sedikit, namun jual beli daging lumba-lumba ini memang gampang ditemukan. Di sejumlah pasar tradisonal di Bagan, sangat mudah ditemukan ada lumba-lumba yang sudah dicincang. Memperjualbelikan dagingnya pun bukan pula hal yang tabu. Siapa saja boleh membeli sepanjang stok dagingnya tersedia.

Harga dagingnya pun di pasar tradisional murah meriah. Hanya dengan bermodalkan Rp 20 ribu, masyarakat langsung dapat membungkus daging lumba-lumba seberat 1 kilogram. Dagingnya yang diperjualbelikan di pasar tradional di Bagan, sudah dalam bentuk cincangan. Penjual ikan pun tinggal terima bersih untuk menjualnya kembali.

“Padahal yang berminat membeli dagingnya itu sangat banyak. Saban hari pasti ada peminatnya. Tapi sekarang nelayan juga susah untuk mendapatkannya,” cerita Herman seorang pedagang ikan di pasar tradisonal di Bagan.

Dahulu, lumba-lumba dengan mudah ditemui di laut Bagan yang berada di Selat Malaka yang dulu terkenal sebagai daerah penghasil ikan terbesar di dunia. Sebelum ada jalan darat yang menghubungkan Pekanbaru ke Bagan, masyarakat menggunakan kapal laut untuk sarana transportasi. Di sekitar perairan Bagan, setiap orang akan dengan mudah menyaksikan pemandangan yang menyejukkan mata: lumba-lumba menari mengikuti laju kapal nelayan.

“Dulu lumba-lumba selalu kita jumpai. Lumba-lumba selalu menghibur para penumpang dengan mengikuti kapal dan meloncat. Lumba-lumba baru akan hilang dari pandangan mata ketika kapal akan mendekati pantai. Sekarang, semuanya hanya kenangan semata. Jangan harap, kita menemukan lumba-lumba menari di perairan Bagan ini. Mungkin lumba-lumba mulai sirna karena perburuan itu,” cerita Indra Malik (65) seorang warga di Bagan.

Sebenarnya, cerita lumba-lumba tersangkut jaring nelayan, pasti terjadi di mana-mana. Hanya saja di banyak negara, lumba-lumba yang tersangkut jaring akan dilepas kembali ke laut oleh nelayan. Tentunya ulah nelayan di Riau ini tidak patut ditiru dengan alasan apa pun. Apalagi sampai ada nelayan yang dengan sengaja memburu lumba-lumba untuk kepentingan perdagangan.

Yang anehnya lagi, masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bagan pada khususnya memiliki kearifan lokal yang melarang membunuh lumba-lumba. Malah kearifan lokal itu menyebutkan membunuh lumba-lumba berarti sial dan lumba-lumba dianggap jelmaan manusia yang hidup di laut. Cerita lumba-lumba sebagai dewa penyelamat di tengah laut sudah mengakar di tengah masyarakat.

Untuk ukuran negara maju, seperti pemerintahan di Eropa dan Amerika era tahun 1991-an, lebih dulu mengampanyekan penyelamatan ikan lumba-lumba. Pemerintah di sana dengan tegas mewajibkan penjualan kaleng ikan tuna yang dijual di pasar dengan harus mencantumkan label ‘Dolphin Safe’. Aturan itu menunjukkan bahwa adanya larangan untuk membunuh ikan lumba-lumba. Artinya, agar dalam proses penangkapan ikan tuna, jangan sampai lumba-lumba ada yang terbunuh.

Tapi hal itu tidak pula menyurutkan para nelayan di Riau untuk berhenti membunuh lumba-lumba. Persoalan perburuan lumba-lumba di bumi tanah Melayu Riau ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia . Sebenarnya secara individu, warga sudah pernah berkirim surat ke Kementerian Kelautan, di era tahun 90-an. Dan sampai kini pengaduan warga yang menolak atas pembantaian luma-lumba itu tidak pernah digubris.

“Sejumlah mahasiswa dari Universitas Riau dari Fakultas Perikanan, kalau tidak salah dulu pernah berkirim surat ke Kementerian Kelautan untuk memperhatikan soal ancaman kepunahan lumba-lumba akibat berburuan. Tapi kayaknya belum pernah ada tanggapan. Buktinya sampai sekarang, masih saja nelayan memburu lumba-lumba itu,” ujar Ilham Said seorang warga lainnya.

Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Riau sebenarnya sudah beberapa kali melakukan penyuluhan kepada nelayan. Pemerintah daerah meminta kepada nelayan agar tidak membunuh lumba-lumba bila tersangkut jaring. Hanya saja, nelayan selalu berdalih soal jaring yang sobek membutuhkan dana untuk merajutnya kembali. Jaring yang tersobek karena gigitan lumba-lumba, memang harus diperbaiki nelayan dengan mengeluarkan kocek yang lumayan banyak. Sekali jaring robek, minimal berukuran lebih dari 2 meter.

Itu artinya, nelayan harus mengeluarkan dana ekstra Rp 2 juta untuk merajut jaring. Menjual daging lumba-lumba, mereka anggap sebagai dana pengganti. Malah dengan gampangnya nelayan sempat menuntut kepada pemerintah setempat, boleh saja mereka tidak membunuh, tapi jaring yang robek harus menjadi tanggungan pemerintah. Tentulah tuntutan yang tak masuk akal ini, ditolak mentah-mentah oleh Pemkab Rokan Hilir.

Tapi sebenarnya robeknya jaring hanya sebagai alasan semata. Sebab, nelayan juga ada yang dengan sengaja untuk memburu lumba-lumba itu. Kondisi perburuan yang terus terjadi, menunjukkan Pemkab Rokan Hilir juga turut ‘mengamini’ pembunuhan massal lumba-lumba itu.

Kepala Dinas Perikanan Provinsi Riau, Irwan Effendi kepada detikcom mengakui adanya perburuan lumba-lumba di Kabupaten Rokan Hilir. Dia juga turut menyayangkan terjadinya pembantaian jenis ikan yang dilindungi itu. Menurutnya, tidak ada jaminan bila pemerintah mengeluarkan dana pengganti jaring yang robek, lantas nelayan berhenti untuk membunuh lumba-lumba.

“Saya kira tuntutan nelayan itu tidak logis. Apa ada jaminan kalau dana merajut jaring yang robek lantas nelayan tidak memburu lumba-lumba itu? Lagi pula apa iya jaring yang robek karena ulah lumba-lumba semuanya?.Pemerintah kabupaten setempat harus terus memberikan peringatan kepada nelayan agar tidak membunuh lumba-lumba,” kata Irwan Efendi.

Sejauh ini Pemprov Riau sendiri juga tidak memiliki data yang pasti soal populasi lumba-lumba di perairan Riau. Dengan demikian, maka akan menjadi sulit juga untuk mengukur sudah berapa banyak lumba-lumba mati di tangan nelayan Bagan. “Sampai saat ini memang kita belum memiliki data populasi lumba-lumba itu. Dan kita juga tidak punya data sudah berapa banyak lumba-lumba yang telah mati,” kata Irwan.

Sedangkan menurut aktivis WWF Riau, Soemantri, persoalan perburuan lumba-lumba di Bagan ini harus segera mendapat tindak lanjut dari pemerintah pusat dan daerah. Apalagi perjalanan perburuan itu sudah berlangsung puluhan tahun. Siapa pun yang terlibat dalam perburuan ini, harus mendapat sanksi tegas.

“Kalau sudah pada tahap memburu, hal itu sudah termasuk pelanggaran hukum. Sebab, siapa yang tidak tahu, jika jenis ikan itu termasuk satwa di laut yang dilarang untuk dibunuh. Pemerintah Indonesia tidak boleh tinggal diam atas perburuan yang terjadi. Siapa pun yang terlibat di sana, hukum harus bicara, sebelum lumba-lumba itu punah di perairan Riau,” kata Soemantri.

Masih menurut Soemantri, perburuan liar yang terjadi di Indonesia, juga diakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat soal perlindungan jenis flora dan fauna. Ini belum lagi minimnya sosialisasi pemerintah mengenai Peraturan Pemerintah memberi kesan seolah-olah pemerintah tidak peduli akan nasib kelestarian keanekaragaman hayati khas Indonesia.

Lemahnya sosialisasi peraturan perundangan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa juga turut mempengaruhi. Padahal, di sana sudah jelas, jenis ikan lumba-lumba termasuk jenis satwa yang harus dilindungi.

Sayangnya, peraturan itu juga kurang tegas untuk memberikan sanksi bagi yang melabrak aturan itu. Kondisi itu juga yang memungkinkan masyarakat masih saja memburu, membunuh, memelihara ataupun memperdagangkan flora dan fauna yang langka di Indonesia.

“Sudah seharusnya pemerintah harus lebih cepat dan tanggap menyikapi perburuan terhadap jenis satwa yang dilindungi , termasuk lumba-lumba yang ada di Riau. Sepanjang tidak ada penegakan hukum, maka sepanjang itu pula namanya perburuan jenis satwa yang dilindungi akan tetap terus berjalan, dan baru akan berakhir ketika satwa itu telah punah,” kata Soemantri.

Sumber: Detik

http://www.goblue.or.id/pembantaian-lumba-lumba-oleh-nelayan-riau