Jakarta - Kerusakan ekosistem laut dan pesisir disinyalir akan mempengaruhi kemampuan kawasan di sekitarnya dalam hal adaptasi perubahan iklim. Hal ini karena ekosistem laut dan pesisir memiliki posisi yang penting dalam mengurangi terjadinya dampak perubahan iklim. Beberapa ekosistem laut dan pesisir memiliki fungsi untuk mencegah kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim tersebut.
"Kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di Laut Jawa akan berdampak pada kemampuan kawasan pesisir di sekitarnya dalam beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim. Sebab mangrove adalah tempat berlindungnya pantai, filter sedimen dari darat, daerah pembesaran, dan tempat mencari makan bagi ikan. Sedangkan terumbu karang berfungsi sebagai daerah perlindungan dari gelombang dan tempat yang memiliki produktivitas primer sangat tinggi," ungkap Pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan F. Koropitan, Kamis (2/12/2010), di Jakarta.
Menurutnya, beberapa wilayah di sekitar Laut Jawa memiliki posisi yang rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Penyebabnya karena wilayah tersebut telah mengalami kerusakan lingkungan yang cukup tinggi. Wilayah itu antara lain adalah Teluk Jakarta dan pesisir Semarang. “Kerusakan kawasan pesisir di daerah tersebut juga disebabkan oleh suplai nutrien bahan organik dan nutrien yang berlebihan dari sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa,” lanjutnya.
Lebih jauh, sambungnya, implikasi perubahan iklim di Laut Jawa dan asosiasinya dengan aktivitas manusia (antropogenik), akan mengakibatkan penurunan produktivitas perikanan secara umum di Laut Jawa. Hal yang sama juga dapat terjadi pada perairan Indonesia lainnya. Akibatnya adalah terancamnya sumber ketahanan pangan di masa yang akan datang.
Untuk menghadapi ancaman ini, pemerintah dalam merumuskan kebijakan hendaknya berdasarkan pada riset yang serius dalam kaitannya dengan interaksi darat-laut serta perubahan iklim. Hal lain adalah pengelolaan resiko bencana terhadap dampak perubahan iklim harus berdasarkan pada pemetaan tingkat kerentanan untuk menunjang Integrated Coastal Zone Management (ICZM).
"Selain itu, strategi untuk mengurangi resiko bencana perubahan iklim adalah dengan meningkatkan kemampuan beradaptasi suatu daerah. Strategi seperti ini bisa dilakukan dengan memperbaiki ekosistem pesisir serta ketahanan masyarakat dari segi pendidikan dan ekonomi,” tegas Alan.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Riza Damanik, mengatakan, kerugian masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir sudah sedemikian besar akibat perubahan iklim. Kerugian yang muncul ini terutama diakibatkan oleh gagalnya negara dalam menjalankan agenda adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dari data yang ada, diketahui bahwa sedikitnya 68 orang nelayan tradisional Indonesia dinyatakan hilang dan meninggal dunia akibat cuaca ekstrem pada periode Januari hingga September 2010. "Angka dalam data ini akan terus bertambah hingga Desember nanti seandainya tidak ada upaya dari kalangan elit untuk mencegahnya. Namun, kita harapkan agar angka tersebut tidak bertambah," lanjut Riza.
Kerugian lainnya yang diderita oleh nelayan tradisional antara lain adalah frekuensi melaut yang menurun dari yang sebelumnya 240 - 300 hari menjadi hanya 160 - 180 hari. Akibatnya, pendapatan nelayan tradisional pun berkurang hingga mencapai kisaran 50 - 70 persen. Hal ini tentu menjadi sebuah kerugian bagi sektor perikanan tradisional. (pri/ted)
Sumber: http://www.siej.or.id/?w=article&nid=241
"Kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di Laut Jawa akan berdampak pada kemampuan kawasan pesisir di sekitarnya dalam beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim. Sebab mangrove adalah tempat berlindungnya pantai, filter sedimen dari darat, daerah pembesaran, dan tempat mencari makan bagi ikan. Sedangkan terumbu karang berfungsi sebagai daerah perlindungan dari gelombang dan tempat yang memiliki produktivitas primer sangat tinggi," ungkap Pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan F. Koropitan, Kamis (2/12/2010), di Jakarta.
Menurutnya, beberapa wilayah di sekitar Laut Jawa memiliki posisi yang rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Penyebabnya karena wilayah tersebut telah mengalami kerusakan lingkungan yang cukup tinggi. Wilayah itu antara lain adalah Teluk Jakarta dan pesisir Semarang. “Kerusakan kawasan pesisir di daerah tersebut juga disebabkan oleh suplai nutrien bahan organik dan nutrien yang berlebihan dari sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa,” lanjutnya.
Lebih jauh, sambungnya, implikasi perubahan iklim di Laut Jawa dan asosiasinya dengan aktivitas manusia (antropogenik), akan mengakibatkan penurunan produktivitas perikanan secara umum di Laut Jawa. Hal yang sama juga dapat terjadi pada perairan Indonesia lainnya. Akibatnya adalah terancamnya sumber ketahanan pangan di masa yang akan datang.
Untuk menghadapi ancaman ini, pemerintah dalam merumuskan kebijakan hendaknya berdasarkan pada riset yang serius dalam kaitannya dengan interaksi darat-laut serta perubahan iklim. Hal lain adalah pengelolaan resiko bencana terhadap dampak perubahan iklim harus berdasarkan pada pemetaan tingkat kerentanan untuk menunjang Integrated Coastal Zone Management (ICZM).
"Selain itu, strategi untuk mengurangi resiko bencana perubahan iklim adalah dengan meningkatkan kemampuan beradaptasi suatu daerah. Strategi seperti ini bisa dilakukan dengan memperbaiki ekosistem pesisir serta ketahanan masyarakat dari segi pendidikan dan ekonomi,” tegas Alan.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Riza Damanik, mengatakan, kerugian masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir sudah sedemikian besar akibat perubahan iklim. Kerugian yang muncul ini terutama diakibatkan oleh gagalnya negara dalam menjalankan agenda adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dari data yang ada, diketahui bahwa sedikitnya 68 orang nelayan tradisional Indonesia dinyatakan hilang dan meninggal dunia akibat cuaca ekstrem pada periode Januari hingga September 2010. "Angka dalam data ini akan terus bertambah hingga Desember nanti seandainya tidak ada upaya dari kalangan elit untuk mencegahnya. Namun, kita harapkan agar angka tersebut tidak bertambah," lanjut Riza.
Kerugian lainnya yang diderita oleh nelayan tradisional antara lain adalah frekuensi melaut yang menurun dari yang sebelumnya 240 - 300 hari menjadi hanya 160 - 180 hari. Akibatnya, pendapatan nelayan tradisional pun berkurang hingga mencapai kisaran 50 - 70 persen. Hal ini tentu menjadi sebuah kerugian bagi sektor perikanan tradisional. (pri/ted)
Sumber: http://www.siej.or.id/?w=article&nid=241
Tidak ada komentar:
Posting Komentar