24 Agustus, 2010

Koordinasi di Laut Amburadul

Pemerintah baru mulai merancang standard operating procedure (SOP) pengawasan keamanan di laut pascainsiden di Tanjung Berakit, Kepulauan Riau.

Nurulia Juwita Sari

INSIDEN penangkapan tiga personel Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepulauan Riau oleh Malaysia di perairan Tanjung Berakit pada 13 Agustus 2010 terjadi karena kurangnya koordinasi.

Sedikitnya, ada enam instansi yang bertanggung jawab mengawasi laut, yakni TNI Angkatan Laut (AL), Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Polri, Kementerian Perhubungan, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Di sisi lain, hasil rakor juga meminta dipercepatnya perundingan perbatasan dengan 10 negara lain yang berbatasan dengan Indonesia, khususnya Malaysia. Sebab hal itu akan menjadi salah satu dasar hukum pengaturan pengawasan di laut.

Kesimpulan itu merupakanhasil rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto di Jakarta, kemarin.

"Seandainya mereka berkoordinasi satu sama lain ketika kejadian, hal-hal seperti itu bisa diketahui lebih awal. Mungkin TNI-AL bisa melakukan back up lebih baik," kata Djoko, seusai rapat.

Karena itu, Djoko memerintahkan Bakorkamla untuk menyusun SOP antarseluruh pemangku kepentingan sehingga tidak ada lagi operasi pengamanan laut yang berjalan sendiri-sendiri.

"Harus ada informasi yang di-sfiare (disebarkan) satu sama lain," tegasnya, seraya menambahkan perlunya peralatan teknis seperti alat pelacak dengan sistem navigasi satelit (GPS) dan radarr"K*enyataan-nya kapal kita yang kemarin beroperasi tidak dilengkapi peralatan memadai."

Merespons hal itu, Pangkostrad Letjen Burhanudin Aminmengatakan pasukan Kostrad siap mengamankan daerah perbatasan. "Saat ini kami tinggal tunggu perintah saja," katanya di Subang, Jawa Barat.

Menyoal insiden di Tanjung Berakit, Djoko menuturkan, peristiwa itu terjadi di daerah bermasalah, menyusul belum tuntasnya perundingan dengan Malaysia. Perundingan teteh dilaksanakan sejak 1979.

Tapi belum selesai juga. Kejadian itu terjadi di wilayah antara Selat Pulau Bintan dan Pulau Johor, serta di wilayah Pulau Natuna Selatan dan Selat Sulawesi," terang Djoko.

Malaysia bungkam

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri (Merdu) Marry Natale-gawa mengaku telah meminta Merdu Malaysia untuk berunding dalam bentuk joint ministerial commision pada 1-3 bulan mendatang.

"Kita sudah menawarkan satu tanggal pada mereka, namun mereka belum memberikan jawaban/ kata Marty.

Perundingan perbatasan RI dengan negara lain yang sudah dijadwalkan adalah pertukaran instrument of ratification dengan Singapura pada 30 Agustus, dan perundingan dengan Thailand pada 1-2 September.

"Setelah itu ada juga dengan Filipina, India, yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat."

Dalam arahannya di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin siang, Presiden menekankan, keamanan laut berada di bawah tanggungjawab Polri dan TNI-AL.

Menanggapi kasus ini, DPR berniat membentuk panitia kerja untuk membahas lembeknya diplomasi dan pengawasan pemerintah di perbatasan.

Ketua Komisi I DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq menyatakan hari ini DPR mengundang Menlu untuk membahas insiden di Tanjung Berakit.

Anggota Komisi I DPR RI dari F-PG Paskalis Kossay ikut mengutarakan keheranannya atas tidak sensitifnya pemerintah. "Lucu sekali jika nota protes kepada negara lain muncul setelah didesak publik."

Desakan agar pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap Malaysia memang terus bergulir. Aktivis dari Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) mendatangi Kedubes Malaysia di Jakarta. Mereka memberikan hadiah berupa lima kotak tinja. Mustar Bona Ventura, koordinator Bendera, menilai pemerintah tidak lagi punya wibawa menghadapi Malaysia. (*/Din/Mar/P-4)nurulia@mediaindonesia.com

Tidak ada komentar: