29 Agustus, 2010

Kerusakan Laut Tak Terkendali

Kerusakan Laut Tak Terkendali.jpg

Penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung kian tidak terkendali. Setelah di wilayah darat sudah menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat parah, aktivitas itu terus menjalar hingga ke laut.

Berdasarkan pengamatan Kompas di lapangan pekan lalu, penambangan timah di perairan Bangka dan Belitung kian marak dan dilakukan secara massal. Di samping operasi PT Timah, terlihat pula sejumlah perusahaan swasta yang mengantongi izin resmi dari pemerintah beroperasi, demikian pula penambang ilegal kelompok masyarakat setempat.

Bagi perusahaan besar, seperti PT Timah, penambangan menggunakan kapal berukuran besar, sedangkan masyarakat lokal cenderung mengoperasikan perahu. Dari kapal atau perahu timah disedot dari dasar laut.

Dalam sehari puluhan ton pasir disedot. Setelah pasir timah tersebut tertampung, limbah berupa tanah langsung dibuang lagi ke laut. Akibatnya, kawasan perairan yang menjadi kawasan penambangan umumnya airnya terlihat berwarna lebih gelap. Sedimentasi tanah menutup dan mematikan terumbu karang, dan sebaliknya alga merajalela. Oleh karena itu, ekosistem laut di wilayah Bangka kini rusak parah.

”Sudah 40 persen terumbu karang di perairan Bangka hancur gara-gara penambangan timah. Di Teluk Klabat, sebelah barat laut Bangka, kehancuran terumbu karang mencapai 80 persen, sebab di lokasi itu penambangan timah dilakukan sudah puluhan tahun oleh PT Timah. Sebagai akibatnya, ikan semakin sulit didapat karena habitatnya sudah hancur,” kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bangka Belitung H Yulistyo.

Hal senada ditegaskan Indra Ambalika, Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Sejak 2006, laju kerusakan ekosistem laut akibat penambangan timah jauh lebih parah daripada wilayah daratan.

Bahkan, perusahaan nasional sekelas PT Timah, menurut Indra, belum menerapkan prinsip rehabilitasi lingkungan laut yang memadai. ”Yang baru dilakukan sebatas menaruh rumpon, lalu dibiarkan begitu saja. Tidak ada kelanjutannya. Padahal, itu tidak cukup untuk merehabilitasi ekosistem laut,” tutur Indra Ambalika.

Sejumlah nelayan mengakui, sekarang makin sulit menangkap ikan di pesisir. ”Ikan kembung sudah sulit didapat. Kayu untuk bagan juga sulit didapat,” kata Udin (30), nelayan di Desa Pala, Jebus, Bangka Barat.

Itu sebabnya, banyak nelayan banting setir menjadi penambang timah ilegal dengan menggunakan bagan terapung yang biasa disebut tambang inkonvensional (TI) apung.

Sulit diatasi

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bangka Belitung Amrullah Harun mengakui, kerusakan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung, termasuk di laut, kini sudah sangat memprihatinkan, terutama sejak masa otonomi daerah. Namun, kasus ini tidak mudah diatasi.

”Pemerintah berada dalam posisi dilematis. Jika aktivitas pertambangan ilegal ditertibkan, pemerintah akan ramai-ramai didemo masyarakat yang telanjur menggantungkan hidupnya pada penambangan timah inkonvensional. Namun, jika terus dibiarkan, lingkungan akan bertambah rusak,” ujar Amrullah.

Sekretaris Perusahaan PT Timah Abrun Abubakar mengakui, penambangan timah selama sekitar 10 tahun terakhir bertambah marak. Kondisi itu dipicu hadirnya sejumlah pengumpul ilegal yang menawarkan harga timah yang lebih tinggi dari yang diberlakukan PT Timah kepada penambang rakyat. Perbedaan harga minimal Rp 5.000 per kilogram.

PT Timah, menurut Abrun, tidak bisa menyesuaikan harga yang diberlakukan pengumpul swasta karena badan usaha milik negara tersebut berkewajiban membayar royalti kepada negara sebesar Rp 5 juta per ton. Royalti itu terkait antara lain iuran kuasa pertambangan, pajak bumi dan bangunan pertambangan, serta pajak air bawah tanah.

Tingginya harga yang ditawarkan pengumpul swasta membuat warga setempat meningkatkan penambangan timah. Warga yang menjadi mitra kerja PT Timah pun menambang hingga di luar lokasi yang diizinkan. ”Implikasinya, laju kerusakan lingkungan semakin cepat dan parah dibanding sebelum reformasi,” kata Abrun

Tentang penambangan yang dilakukan PT Timah di laut, Abrun mengaku kegiatan tersebut atas dasar izin kuasa pertambangan yang mereka miliki. ”PT Timah memiliki kuasa pertambangan di laut seluas 143.136 hektar,” ujar Abrun.

Kepala Humas PT Timah Wirtsa Firdaus menambahkan, pihaknya memiliki rencana merehabilitasi laut dan akan melibatkan tim ahli Universitas Bangka Belitung, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung. Konsepnya sedang disempurnakan.

Menurut Apik Ch Rasjidi, tokoh masyarakat Bangka, swasta yang melakukan peleburan timah jangan dituduh ilegal. Kehadiran pihak swasta membuat harga timah lebih tinggi daripada yang dipatok perusahaan tertentu, tetapi ternyata lebih rendah daripada harga di pasar dunia.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung per 2010, luas areal kuasa pertambangan timah di laut yang dimiliki PT Timah mencapai 143.135 hektar, dan swasta 4.058 hektar. Adapun jumlah tambang apung di laut sekitar 1.269 unit. Jumlah kapal keruk lima unit, dan kapal isap 41 unit, yang sebagian besar milik PT Timah dan mitra swasta.

Seluruh tambang inkonvensional apung tidak memiliki izin atau ilegal. Adapun jumlah tambang inkonvensional darat sekitar 2.198 unit, dan hanya 10 persen di antaranya yang memiliki izin. Mereka umumnya menambang di lokasi bekas kuasa pertambangan milik PT Timah.

Menurut Alimudin (37), penambang timah dari Desa Batu Belubang, Kabupaten Bangka Tengah, kalangan nelayan pernah mendesak Bupati Bangka Tengah agar memberikan izin legalisasi pada penambangan rakyat (TI) tersebut. Namun, Bupati Bangka Tengah menyatakan penambangan inkonvensional apung tidak bisa diberi izin legal karena tidak ada peraturan daerah yang mengaturnya.

Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, menurut kalangan nelayan, tengah mencarikan solusi tentang masalah tersebut, tetapi hingga saat ini belum ada solusinya. (JON/WAD/JAN)

Tidak ada komentar: