Hari memasuki sore, tapi matahari masih terik pun menyengat, dan kawasan tambak itu tampak lebih jelas dan terang. Angin laut lembut meniup, suasana sayup.
Kecuali raung gergaji mesin itu, hanya sayup-sayup saja terdengar jauh di pedalaman areal tambak yang sangat luas, mungkin tersembunyi oleh pepohonan mangrove yang masih tersisa.
Inilah pemandangan yang tersaji di kawasan cagar alam Tanjung Panjang, letaknya Desa Patuhu, kecamatan Randangan , Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.
Seluas 3.000 hektare dari luas desa ini, ditetapkan sebagai kawasan suaka alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 1985 silam. Di sanalah tadinya, puluhan ribu pohon mangrove tumbuh alami, menjadi semacam benteng bagi garis pantai agar tidak abrasi.
Cagar alam yang jaraknya 240 kilometer dari ibukota Gorontalo itu, juga dilaporkan pernah dihuni banyak hewan dan binatang; babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan kera hitam, juga burung maleo (Macrocephalon maleo). Itu dahulu. Kini, hanya ada tambak ikan bandeng menghampar. luasnya sejauh mata memandang.
Satu persatu pohon mangrove tumbang karena ditebang, lalu disulap menjadi tambak air payau.
Desa Patuhu tercatat sebagai pemukiman transmigrasi, di sana menetap sejumlah etnis tertentu, namun paling banyak berasal dari Sulawesi Selatan.Zulkarnain Duwawolu, Kepala desa setempat mengungkapkan, dari 383 kepala keluarga (KK) penduduk desa itu, 150 KK di antaranya berasal dari Sulawesi Selatan.
“Tambak disini tercatat seluas 1.115 hektar persegi, seluruhnya dimiliki oleh pengusaha yang berasal dari Sulawesi Selatan,” kata dia.
Sebagai gantinya, yang diberikan oleh para pemilik tambak tersebut, hanya dalam bentuk pajak ke kas desa sebesar 30 ribu rupiah perhektar.Dirinya sendiri hanya bisa mengira-ngira , kapan pembukaan tambak di kawasan cagar alam itu dimulai.
“Kalau tidak salah ingat sejak tahun 1970an, haji Naim Nompo, seorang pengusaha dari Sulawesi Selatan mulai membeli lahan dan membuka tambak di sana,” Ujarnya, namun tak jelas pada siapa lahan itu dibeli.
Potensi konflik
Iwan Abay, ketua kelompok kerja (Pokja) Mangrove kabupaten Pohuwato, mengaku khawatir jika kelak hal ini menjadi pemicu konflik sosial, yang bisa saja sampai bias pada nuansa etnis tertentu.
sebab tidak hanya merusak ekosistem, namun pada prakteknya, peran warga pribumi dalam pengelolaan tambak itu hanya sedikit sekali diberikan. jikapun ada, hanya sebatas menjadi buruh pekerja. Dia membeberkan contoh, kisah nyata tentang konflik sosial yang terjadi karena pembukaan tambak itu.
“ Pernah ada warga yang sampai dilaporkan ke polisi, hanya karena memancing di salah satu danau kecil di dekat tambak milik seorang pengusaha Sulsel itu,” tuturnya.
Warga yang dipolisikan itu, mungkin mengira bahwa danau kecil itu adalah milik umum. Sebaliknya sedang pemilik tambak itu mengira bahwa danau kecil itu, adalah miliknya.
Di sini tidak jelas, siapa yang memiliki apa saja yang terdapat di dalam kawasan tambak itu.
“Sejauh ini sudah ada dua warga yang dipenjara, karena diklaim mencuri ikan di
kawasan tambak itu,” Kata Iwan, yang juga duduk di Komisi II bidang anggaran dan ekonomi DPRD Kabupaten Pohuwato itu.
Dari segi ekonomi, lanjutnya, keberadaan tambak itu tidak memberikan kontribusi berarti Gorontalo.
Mengingat letak geografisnya yang sudah memasuki wilayah perbatasan dengan Sulawesi Tengah, para pengusaha tambak itu cenderung memasarkan bandeng hasil tambaknya itu ke Palu dan sekitarnya, bahkan tembus hingga Sulawesi Selatan.
Dr. Rignolda Djamaluddin, ahli mangrove dari Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Selatan, juga punya analisis dari sisi lingkungan.
Menurutnya, Tanjung panjang bukan cagar alam biasa. sebab wilayah ini tercatat sebagai penyangga ekosistem terbesar bagi Teluk Tomini, Kawasan yang meliputi tiga Provinsi, Gorontalo, sebagian Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
“Mangrove di tanjung panjang sangat berkontribusi besar dalam siklus rantai makanan di perairan teluk tomini, Namun akibat tingkat kerusakannya yang sudah mencapai 70 persen karena pembukaan tambak, maka alam sedang terancam, abrasi mudah sekali terjadi,” Ujarnya.
Direstui Pemda
Rahman Dako, koordinator Program Teluk Tomini-SUSCLAM yang bermarkas di Gorontalo, ikut menambahkan bahwa perusakan mangrove akibat konversi tambak, tidak hanya terjadi di cagar alam tanjung panjang. Namun juga di kawasan hutan Panua yang dilindungi, serta di kawasan pesisir lainnya.
” Anehnya lagi, banyak konversi mangrove menjadi tambak itu, justru cenderung direstui pemerintah daerah, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat,” Kata lelaki yang akrab disapa Aga ini.
SUSCLAM sendiri, pernah diprotes Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, saat melakukan penanaman 12 ribu bibit pohon mangrove di Desa Tabulo Selatan, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo. itu terjadi pada akhir maret 2010 yang lalu.
Ketika itu, Wakil Kepala Dinas DKP Provinsi Gorontalo, Sutrisno mengecam penanaman mangrove di atas lahan seluas 24 hektar, karena lahanitu akan dijadikan lokasi etalase perikanan, yang akan dilengkapi dengan pemukiman nelayan serta prasarana penunjang lainnya itu.
Namun Aga mengaku sedikitpun tidak merasa bersalah, sebab penanaman itu merupakan permintaan masyarakat setempat, yang resah karena pemukiman mereka kerap digenangi air laut.
”Rumah warga disana kerap disambangi banjir akibat abrasi, kami justru terheran-heran dengan protes dari DKP itu, ” Aga.
Iwan Abay, juga punya cerita lain soal restu pemerintah itu. Pada September 2009 lalu pihaknya memperoleh surat “aneh”, yang diajukan oleh pemerintah desa Manawa, Kecamatan Patilanggio kepada pemerintah daerah Kabupaten Pohuwato.
Isinya adalah permohonan kepada Bupati, agar kiranya dapat memberikan rekomendasi penggunaan alat berat atau espakator, untuk membuka lokasi tambak yang akan dikelola masyarakat desa itu.
Luas pembukaan tambak yang diajukan kurang lebih 87 Hektar persegi. surat itu juga dilengkapi lampiran tanda tangan warga yang berjumlah 91 KK.
Aneh, bukan hanya 87 hektar yang setujui oleh Pemda setempat, melainkan 200 hektar, dua kali lipat lebih dari jumlah yang diajukan.
Surat yang bertanggal 25 Agustus itu, juga baru diterima oleh DPRD sebulan berikutnya, padahal pada isi surat tersebut tercantum tembusan ke lembaga legislatif itu,yang seharusnya turut memberikan pertimbangan dan rekomendasi.
“ Setelah ditelusuri, ternyata banyak di antara warga yang namanya terlampir dalam surat tersebut, dan mengaku tidak pernah menandatangani atau mengetahui surat permohonan itu,” Ungkap legislator yang terlibat dalam penyelamatan mangrove sejak 1999 silam itu.
Kini, pembukaan hutan Mangrove untuk tambak itu telah dihentikan, meski luas lahan yang terlanjur dibuka sudah mencapai seratus hektar lebih.
Pihak DPRD masih terus menelusuri siapa saja yang berada di balik perusakan hutan Mangrove ini.
“Bisa saja, ada pejabat daerah yang ikut bermain,” Kata dia.
Selain itu, lanjut Iwan, DPRD Pohuwato juga tengah menyusun rancangan peraturan daerah, terkait wilayah pesisir dan pelestarian hutan mangrove di wilayah itu.
“Jika tidak, saya yakin, kisah hutan mangrove di wilayah ini hanya tinggal cerita pada lima tahun mendatang,” Ujarnya.
Kecuali raung gergaji mesin itu, hanya sayup-sayup saja terdengar jauh di pedalaman areal tambak yang sangat luas, mungkin tersembunyi oleh pepohonan mangrove yang masih tersisa.
Inilah pemandangan yang tersaji di kawasan cagar alam Tanjung Panjang, letaknya Desa Patuhu, kecamatan Randangan , Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.
Seluas 3.000 hektare dari luas desa ini, ditetapkan sebagai kawasan suaka alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 1985 silam. Di sanalah tadinya, puluhan ribu pohon mangrove tumbuh alami, menjadi semacam benteng bagi garis pantai agar tidak abrasi.
Cagar alam yang jaraknya 240 kilometer dari ibukota Gorontalo itu, juga dilaporkan pernah dihuni banyak hewan dan binatang; babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan kera hitam, juga burung maleo (Macrocephalon maleo). Itu dahulu. Kini, hanya ada tambak ikan bandeng menghampar. luasnya sejauh mata memandang.
Satu persatu pohon mangrove tumbang karena ditebang, lalu disulap menjadi tambak air payau.
Desa Patuhu tercatat sebagai pemukiman transmigrasi, di sana menetap sejumlah etnis tertentu, namun paling banyak berasal dari Sulawesi Selatan.Zulkarnain Duwawolu, Kepala desa setempat mengungkapkan, dari 383 kepala keluarga (KK) penduduk desa itu, 150 KK di antaranya berasal dari Sulawesi Selatan.
“Tambak disini tercatat seluas 1.115 hektar persegi, seluruhnya dimiliki oleh pengusaha yang berasal dari Sulawesi Selatan,” kata dia.
Sebagai gantinya, yang diberikan oleh para pemilik tambak tersebut, hanya dalam bentuk pajak ke kas desa sebesar 30 ribu rupiah perhektar.Dirinya sendiri hanya bisa mengira-ngira , kapan pembukaan tambak di kawasan cagar alam itu dimulai.
“Kalau tidak salah ingat sejak tahun 1970an, haji Naim Nompo, seorang pengusaha dari Sulawesi Selatan mulai membeli lahan dan membuka tambak di sana,” Ujarnya, namun tak jelas pada siapa lahan itu dibeli.
Potensi konflik
Iwan Abay, ketua kelompok kerja (Pokja) Mangrove kabupaten Pohuwato, mengaku khawatir jika kelak hal ini menjadi pemicu konflik sosial, yang bisa saja sampai bias pada nuansa etnis tertentu.
sebab tidak hanya merusak ekosistem, namun pada prakteknya, peran warga pribumi dalam pengelolaan tambak itu hanya sedikit sekali diberikan. jikapun ada, hanya sebatas menjadi buruh pekerja. Dia membeberkan contoh, kisah nyata tentang konflik sosial yang terjadi karena pembukaan tambak itu.
“ Pernah ada warga yang sampai dilaporkan ke polisi, hanya karena memancing di salah satu danau kecil di dekat tambak milik seorang pengusaha Sulsel itu,” tuturnya.
Warga yang dipolisikan itu, mungkin mengira bahwa danau kecil itu adalah milik umum. Sebaliknya sedang pemilik tambak itu mengira bahwa danau kecil itu, adalah miliknya.
Di sini tidak jelas, siapa yang memiliki apa saja yang terdapat di dalam kawasan tambak itu.
“Sejauh ini sudah ada dua warga yang dipenjara, karena diklaim mencuri ikan di
kawasan tambak itu,” Kata Iwan, yang juga duduk di Komisi II bidang anggaran dan ekonomi DPRD Kabupaten Pohuwato itu.
Dari segi ekonomi, lanjutnya, keberadaan tambak itu tidak memberikan kontribusi berarti Gorontalo.
Mengingat letak geografisnya yang sudah memasuki wilayah perbatasan dengan Sulawesi Tengah, para pengusaha tambak itu cenderung memasarkan bandeng hasil tambaknya itu ke Palu dan sekitarnya, bahkan tembus hingga Sulawesi Selatan.
Dr. Rignolda Djamaluddin, ahli mangrove dari Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Selatan, juga punya analisis dari sisi lingkungan.
Menurutnya, Tanjung panjang bukan cagar alam biasa. sebab wilayah ini tercatat sebagai penyangga ekosistem terbesar bagi Teluk Tomini, Kawasan yang meliputi tiga Provinsi, Gorontalo, sebagian Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
“Mangrove di tanjung panjang sangat berkontribusi besar dalam siklus rantai makanan di perairan teluk tomini, Namun akibat tingkat kerusakannya yang sudah mencapai 70 persen karena pembukaan tambak, maka alam sedang terancam, abrasi mudah sekali terjadi,” Ujarnya.
Direstui Pemda
Rahman Dako, koordinator Program Teluk Tomini-SUSCLAM yang bermarkas di Gorontalo, ikut menambahkan bahwa perusakan mangrove akibat konversi tambak, tidak hanya terjadi di cagar alam tanjung panjang. Namun juga di kawasan hutan Panua yang dilindungi, serta di kawasan pesisir lainnya.
” Anehnya lagi, banyak konversi mangrove menjadi tambak itu, justru cenderung direstui pemerintah daerah, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat,” Kata lelaki yang akrab disapa Aga ini.
SUSCLAM sendiri, pernah diprotes Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, saat melakukan penanaman 12 ribu bibit pohon mangrove di Desa Tabulo Selatan, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo. itu terjadi pada akhir maret 2010 yang lalu.
Ketika itu, Wakil Kepala Dinas DKP Provinsi Gorontalo, Sutrisno mengecam penanaman mangrove di atas lahan seluas 24 hektar, karena lahanitu akan dijadikan lokasi etalase perikanan, yang akan dilengkapi dengan pemukiman nelayan serta prasarana penunjang lainnya itu.
Namun Aga mengaku sedikitpun tidak merasa bersalah, sebab penanaman itu merupakan permintaan masyarakat setempat, yang resah karena pemukiman mereka kerap digenangi air laut.
”Rumah warga disana kerap disambangi banjir akibat abrasi, kami justru terheran-heran dengan protes dari DKP itu, ” Aga.
Iwan Abay, juga punya cerita lain soal restu pemerintah itu. Pada September 2009 lalu pihaknya memperoleh surat “aneh”, yang diajukan oleh pemerintah desa Manawa, Kecamatan Patilanggio kepada pemerintah daerah Kabupaten Pohuwato.
Isinya adalah permohonan kepada Bupati, agar kiranya dapat memberikan rekomendasi penggunaan alat berat atau espakator, untuk membuka lokasi tambak yang akan dikelola masyarakat desa itu.
Luas pembukaan tambak yang diajukan kurang lebih 87 Hektar persegi. surat itu juga dilengkapi lampiran tanda tangan warga yang berjumlah 91 KK.
Aneh, bukan hanya 87 hektar yang setujui oleh Pemda setempat, melainkan 200 hektar, dua kali lipat lebih dari jumlah yang diajukan.
Surat yang bertanggal 25 Agustus itu, juga baru diterima oleh DPRD sebulan berikutnya, padahal pada isi surat tersebut tercantum tembusan ke lembaga legislatif itu,yang seharusnya turut memberikan pertimbangan dan rekomendasi.
“ Setelah ditelusuri, ternyata banyak di antara warga yang namanya terlampir dalam surat tersebut, dan mengaku tidak pernah menandatangani atau mengetahui surat permohonan itu,” Ungkap legislator yang terlibat dalam penyelamatan mangrove sejak 1999 silam itu.
Kini, pembukaan hutan Mangrove untuk tambak itu telah dihentikan, meski luas lahan yang terlanjur dibuka sudah mencapai seratus hektar lebih.
Pihak DPRD masih terus menelusuri siapa saja yang berada di balik perusakan hutan Mangrove ini.
“Bisa saja, ada pejabat daerah yang ikut bermain,” Kata dia.
Selain itu, lanjut Iwan, DPRD Pohuwato juga tengah menyusun rancangan peraturan daerah, terkait wilayah pesisir dan pelestarian hutan mangrove di wilayah itu.
“Jika tidak, saya yakin, kisah hutan mangrove di wilayah ini hanya tinggal cerita pada lima tahun mendatang,” Ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar