19 Juni, 2010

Penghitung Nener Elektronik

Kerumitan bakal ditemui ketika jual-beli benih ikan, seperti benih bandeng atau nener, karena penghitungannya masih secara manual, meski dalam jumlah besar. Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kembangkan riset alat penghitung nener elektronik.

Prinsip kerjanya, mendeteksi perubahan intensitas cahaya,” kata periset Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit KIM LIPI) Imamul Muchlis, Kamis (17/6) di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang.

Alat penghitung nener LIPI ini tergolong kecil sehingga mudah dibawa-bawa. Rancangan prototipenya dibuat dengan dimensi tinggi 81 sentimeter, penampang bujur sangkar 47 cm x 47 cm.

Pada penampang atas terdapat corong berdiameter 40 sentimeter yang berfungsi untuk memasukkan nener. Nener-nener itu dipertahankan ada di dalam air yang jernih.

Pada saat penghitungan dimulai, nener dialirkan ke pipa kapiler di bagian bawah corong dengan daya gravitasi. Pada pipa kapiler ini dipasang detektor inframerah. Untuk menunjang akurasi pendeteksian, ukuran pipa kapiler transparan itu disesuaikan mendekati diameter nener.

”Dengan diameter nener 1,5 milimeter, ukuran pipa kapiler transparan dibuat 2 milimeter,” kata Imamul.

Ketika nener dialirkan, satu per satu nener melewati pipa kapiler transparan itu. Berkas cahaya dari detektor inframerah memotong secara tegak lurus pipa kapiler transparan tersebut dan mendeteksi perubahan intensitas cahayanya.

Ketika tubuh nener terdeteksi, intensitas cahayanya akan rendah. Berselang di antara nener berikutnya, terdapat ruang relatif kosong hanya terisi air.

Ruang itulah yang kemudian terdeteksi dengan inframerah menghasilkan intensitas cahaya tinggi. Dari perbedaan intensitas cahaya itu kemudian diperoleh data perubahan intensitas cahaya. ”Pengaturan sensitivitas detektor inframerah di sini sangat menentukan akurasi penghitungan nener,” kata Imamul.

Data perubahan intensitas cahaya yang ditangkap detektor inframerah lalu diubah menjadi sinyal listrik.

Sinyal listrik ini lalu diperkuat dengan sistem amplifier menjadi sinyal digital. Sinyal digital tersebut menggerakkan alat hitung otomatis sampai enam digit. Jadi, alat ini mampu menghitung hingga jumlah maksimal 999.999 ekor nener.

Menurut Imamul, hasil uji coba tingkat akurasi alat ini mencapai 99 persen. Pihak LIPI mengembangkan riset alat ini sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 2000.

”Hasil riset ini kurang disambut industri sehingga tidak diproduksi secara massal. Padahal, masyarakat petambak bandeng umumnya membutuhkan alat seperti ini,” kata Imamul.

Pada saat diproduksi sekitar tahun 2000, biaya produksinya cukup terjangkau. ”Saat itu biayanya sekitar Rp 100.000 per unit,” ujar Imamul.

Mengurangi risiko


Imamul mengatakan, petambak bandeng umumnya tidak memproduksi nener. Untuk menjadi produsen nener butuh keahlian khusus.

Nener diperjualbelikan seharga Rp 250 per ekor. Menurut Imamul, ukuran nener amat kecil. Panjangnya sekitar 10 milimeter dan lebarnya sekitar 1,5 milimeter.

Produsen nener hingga sekarang masih menggunakan cara-cara manual untuk menghitungnya. Cara-cara itu hanya mengandalkan pengamatan oleh mata.

Jika jumlah permintaan sangat banyak, penghitungan menjadi makin rentan salah. Selain itu, cara tersebut juga mengurangi kualitas hidup nener. Apalagi, di dalam sistem perdagangan berantai, nener tidak hanya dihitung sekali atau dua kali.

Hingga di tangan petambak yang akan membudidayakan bandeng, nener bisa mengalami tiga sampai empat kali dihitung. Tak jarang para petani tambak itu juga mengandalkan kepercayaan satu sama lain untuk tidak menghitungnya kembali.

”Keberhasilan produksi bandeng dengan benih nener yang dihitung secara manual biasanya mencapai 40 persen,” katanya.

Imamul belum memiliki data pembanding untuk persentase hasil bandeng yang dipanen jika nenernya dihitung dengan alat ciptaannya. Harapannya, tentu jumlahnya akan jauh lebih tinggi jika dihitung dengan alat ini. (kompas.com/ humasristek)

Tidak ada komentar: