11 Mei, 2010

UU PESISIR HARUSKAH DI REVISI ?

Oleh : Djoko Tribawono
Dosen Tamu Perikanan UGM
Pemerhati Kebijakan Perikanan
Catatan : Dimuat Harian BHIRAWA – Surabaya – Jawa Timur
Senin Legi, 3 Mei 2010

UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) sering disebut Undang Undang Pesisir mengadopsi FAO-Code Of Conduct for Responsible Fisheries (FAO-CCRF) Article 10 ”Integration of Fisheries into Coastal Area Management”.dimaksudkan membentengi pemanfaatan pesisir yang bertanggung jawab masa sekarang dan yang akan datang. Keberadaannya untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, sekaligus memanfaatkan sumberdaya dan ekologinya. Keharmonisan pengelolaannya dicirikan dari keperansertaan masyarakat pesisir di dalam upayanya meningkatkan nilai sosial, ekonomi, maupun budaya. Banyak pihak beranggapan keberadaannya mengurangi gerak kebebasan masyarakat kecil wilayah pesisir memanfaatkannya; sepertinya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) ’yang diterbitkan pemerintah berdampak kurang menguntungkan masyarakat; dan masih banyak lagi yang kadang membelenggu masyarakat pesisir mencari nafkah untuk keluarganya. Dari sini muncullah ”protes” berbagai organisasi masyarakat sipil, mengkritisi materi undang-undang yang ujung-ujungnya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi; padahal ada yang mensitir bahwasanya undang undang ini mengiringi Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, termasuk adanya sebelas azas yang dianut; antara lain azas keberlanjutan. Artinya pemanfaatan pesisir tidak boleh melebihi kemampuan regenerasinya, serta tidak boleh mengorbankan kualitas dan kuantitas akan kebutuhan generasi mendatang, dari itu pemanfaatannya harus melalui pendekatan yang penuh dengan kehati-hatian (precautionary approach).
Era demokratisasi seperti sekarang akan membuka lebar-lebar adanya perbedaan pandangan; sehingga dengan melihat dari sisi yang berseberangan diharapkan menjembatani kesamaan pandangan dalam menyikapi materi yang terkandung dalam UU Pesisir.
Uji materi
 Dari sisi materi akademik UU Pesisir dapat dimaknai sebagai langkah maju pengelolaan sumberdaya dan ligkungan wilayah pesisir. Namun demikian mulai dari rancangan sampai disahkan undang-undang ini sudah menuai kontroversi karena dinilai merendahkan Hak Masyarakat Adat dan ”wong cilik” yang secara turun menurun menggantungkan periuk nasi keluarganya di wilayah pesisir. Tak pelak lagi karena sudah melalui safari dalam berbagai forum sosialisasi dan konsultasi publik pada gilirannya UU ini disahkan dan diundangkan. 
Semestinya konflik kepentingan tidak boleh harus terjadi jika para penguasa HP3 mempunyai toleransi dengan membuka kesempatan masyarakat disekitar ”hidup berdampingan” sejajar seiring dan sejalan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan lingkungannya secara damai. Tetapi pada kenyataannya si penguasa HP3 justru menutup rapat-rapat ”kesempatan” masyarakat sekitar maupun masyarakat adat ikut menikmati sumberdaya yang selama ini mereka manfaatkan sebagai penyambung hidup keluarga; adilkah kejadian seperti ini di Negara Pancasila? 

Terkait pengusahaan wilayah pesisir, beberapa pakar menyatakan, antara lain pendapat Prof.Nurhasan Ismail dari UGM, bahwa persyaratan mendapatkan HP3 dinilai akan menghasilkan persaingan yang menguntungkan korporasi/badan usaha sedang pada sisi lain justru merugikan perseorangan seperti halnya nelayan tradisional atau masyarakat adat. Padahal negara seharusnya memberi perhatian khusus kepada ”wong cilik” supaya bisa ikut ”gumuyu” (tersenyum) seperti sesanti yang pernah diungkapkan. Dengan makin maraknya HP3 bertebaran di republik ini, dapat menjadi bom waktu pemicu konflik antara yang kuat dan yang lemah. Dari itu uji materi yang saat ini sudah bergulir merupakan faktor kunci menguak kemanfaatan pesisir tanpa memilahnya menjadi mereka yang ber ”korporasi” maupun ”perorangan” 

Selamatkan pesisir dulu

Pusat data Coastal Resources Management Project di Manila mencatat bahwasanya di perairan ber “mangrove” hidup biota yang ekonomis penting, terdiri dari ikan pelagis dan jenis ikan yang bermigrasi di antara laut dan sistem estuaria; seperti ikan tembang (Sardinella fimbriata), ikan belanak (Mugil spp), teri (Stelophorus spp), Petek (Leiognathus spp), bloso (Saurida spp) dll, termasuk udang penaeid. Juga berbagai satwa yang berasosiasi seperti burung, mamalia, reptilia dan amphibia; masing-masing dengan sifat hidupnya yang mempunyai keterkaitan erat antar komunitas. Disamping itu tumbuhan yang lebat dari vegetasi hutan mangrove menciptakan kondisi kualitas udara, sehingga merupakan iklim mikro yang baik di wilayah pesisir. Kondisi seperi ini patut dan harus terus dipertahankan sehingga keberadaan biota yang bermanfaat bagi manusia di masa depan tetap terjaga kelestariannya.

Rambu perlindungan hutan bakau bergulir sejak tahun 1975 (Instruksi Menteri Pertanian No. 13/Ins/Um/I/1975) intinya menginstruksikan pembinaan hutan bakau yang berkaitan pembinaan perikanan. SKB Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan : No. 082/Kpts-II/1984 – KB.550/246/Kpts/4/1984 tertanggal 30 April 1984 pengaturan lahan kawasan hutan bakau untuk pengembangan budidaya diprioritaskan luar Jawa; jalur hijau hutan pantai sebagai pelindung pantai dan tempat berpijah (spawning ground) dan taman asuhan (nursery ground) biota laut tetap dipertahankan selebar 200 meter. Tidak bisa dipungkiri kondisi hutan bakau saat ini sudah terdegradasi akibat abrasi alamiah maupun ulah manusia. Patut untuk diacungi jempol bahwa Kelurahan Wonorejo di Kota Surabaya mempunyai kawasan magrove yang “dilindungi” dan dikembangkan sebagai kawasan wisata alam dengan segala naturalitasnya. Selain sebagai “ruang terbuka hijau” di pinggiran pantai timur Surabaya (Pamurbaya) para pelajar, mahasiswa dan masyarakat luas bisa belajar sambil berwisata dalam menumbuhkembangkan “cinta alam” diantara hiruk pikuknya kota Metropolis Surabaya. 

Belajar dari pengalaman masyarakat Wonorejo, sebaiknya kita tidak usah menunggu sampai kapan uji materi berakhir, namun yang lebih penting melangkah pasti untuk menyelamatkan pesisir yang menjadi barikade kehidupan masyarakat yang makin hari makin terdegradasi akibat perubahan iklim global.

Revisi atau batal ?

Di dalam era globalisasi kebijakan nasional harus sinergi dengan etika pengelolaan pesisir internasional agar supaya republik ini tetap bisa menjalin hubungan yang aman dan damai dengan dunia internasional. Untuk menyusun UU atau Perda maupun bentuk ketentuan lain tidak bisa lepas dari keberadaan Agenda 21 Global Tahun 1992; yang telah diadopsi dan diratifikasi 178 negara termasuk Indonesia. Di dalam United Nations Conference on Environment disepakati muatannya merangkum permasalahan sosial, ekonomi, pelestarian dan pengelolaan sumberdaya, penguatan peran serta kelompok masyarakat serta sarana implementasinya.

Sampai sekarang Peraturan Pemerintah (PP) menyangkut HP3 belum dikeluarkan, sedangkan tatanan yang ada hanya sebatas Permen Kelautan dan Perikanan ( No. 16, No. 17, dan No. 18); memberi acuan pengelolaan pesisir sebelum keluar PP yang tentu saja akan lebih sempurna dan komprehensif ?. Tidak menutup kemungkinan terbitnya PP dapat menganulir ketentuan Permen Kelautan dan Perikanan apabila materinya bertentangan dengan makna yang terkandung dalam UUD 1945. Atau justru keadaan seperti ini menjadi pemicu pembatalan UU Pesisir karena petunjuk pelaksanaan berupa PP belum diterbitkan ? 

Saat ini para pakar hukum lagi beradu argumentasi dalam rangka uji materi UU Pesisir; akan kah kegiatan menyelematkan pesisir harus jalan ditempat sambil menunggu paripurnanya? Waktu terus bergerak dan perubahan iklim global pun terus mengancam wilayah pesisir; maka dari itu gerakan penyelamatan pesisir tidak boleh henti. Percayakan kepada yang berwenang apakah di revisi atau justru harus dibatalkan; namun satu yang penting bahwa dengan uji materi tersebut ada hikmah yang tidak lain untuk dapat membantu pemerintah jangan sampai terjebak redaksi perundangan yang bertentangan dengan konstitusi, menjaga marwah dan wibawa pemerintah dan DPR. Membenahi tatanan hukum, dan yang sangat mendasar adalah memulihkan hak masyarakat dan adat secara konstitusional sehingga pada gilirannya mereka hidup aman, tenteram dan damai.

UU Pesisir sudah barang tentu “makan energi” cukup besar, tetapi kalau saja UU BHP bisa dibatalkan karena kurang berpihak “wong cilik” kenapa yang ini tidak bisa seperti itu?. Namun perlu yang perlu menjadikan pertimbangan adalah apapun langkah yang diputuskan jangan sampai berdampak negatip terhadap stakeholders para pemangku kepentingan; Percayakan semua kepada Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan yang bijak, tepat, akurat dan cepat, sehingga langkahnya sinergi dengan DPR RI yang dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014 melakukan agenda merevisi undang-undang ? Mari kita tunggu hasilnya.


dtribawono@yahoo.com

Pengirim :
Djoko Tribawono
Jl. Tenggilis Mejoyo Selatan IV/4 Surabaya 50292
Telp. R. 0318414841 – HP 0811319272


Tidak ada komentar: