*TERUMBU KARANG Semuanya Bakal Tinggal Kenangan*
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/20/0447537/semuanya.bakal.tinggal.kenangan
Tiga pekan lalu, nelayan di sejumlah daerah di Pulau Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, ramai-ramai menolak kehadiran kapal penyedot
timah di laut yang ingin dioperasikan PT Timah (Persero) Tbk dan kalangan
swasta lainnya. Alasannya, penyedotan bahan tambang dari dasar laut itu
selama ini telah merusak ekosistem laut dan memperparah kemiskinan yang
diderita para nelayan.
”Hidup kami sebagai nelayan sekarang semakin menderita. Kalau mencari ikan
harus ke tengah laut, sedangkan perahunya kecil, ongkos bahan bakar juga
tambah mahal, tetapi ikan belum tentu dapat, sebab stoknya terus berkurang
akibat kerusakan terumbu karang. Semua ini gara-gara banyak kapal yang
menyedot timah di laut,” kata Joni (32), nelayan tradisional di Desa Pala,
Kecamatan Jebus, Bangka Barat, akhir pekan lalu.
*Gejolak*
Mula-mula gejolak itu timbul di Rajik, Bangka Selatan, kemudian di Desa
Belinyu, Kabupaten Bangka, Belu Laut di Bangka Barat. Bahkan, akhir Mei 2010
di Teluk Limau, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat. Di sana, beroperasi
belasan kapal penyedot timah.
”Kapal-kapal isap itu selalu nyelonong ke dekat pantai, sekitar 200 meter
(dari bibir pantai) tanpa izin warga. Inilah yang membuat sebagian warga
kesal,” ungkap Samsuri, Kepala Desa Teluk Limau.
Kapal isap buatan Thailand ini, diungkapkan warga setempat, kerap beroperasi
di sekitar perairan Tekuk Limau. Di Penganak, dekat Desa Teluk Limau,
terdapat areal tambang timah laut yang kuasa pertambangannya dimiliki PT
Timah. Warga Teluk Limau memberlakukan patroli siang dan malam untuk
memantau keberadaan kapal penyedot.
”Kami menolak karena keberadaan mereka akan merugikan nelayan. Kalau mereka
tetap nekat (operasi), kami akan ramai-ramai mengusir. Dalam rapat
musyawarah desa, sebagian besar warga, yaitu sekitar 500 orang, dengan keras
menolak aktivitas kapal isap,” tegas Zainal, warga Teluk Limau.
Mereka juga menolak iming-iming kompensasi. Mayoritas warga di Teluk Limau
adalah nelayan. Beberapa tahun terakhir banyak di antara mereka yang beralih
profesi menjadi penambang inkonvensional atau tambang rakyat.
”Namun, kami kan hanya kecil-kecilan mengambil timah. Paling 7-10 kilogram
tiap hari,” jelas Zainal.
*Sulit terpulihkan*
Penurunan volume ikan yang ditangkap nelayan merupakan dampak dari
kehancuran terumbu karang di perairan laut Bangka akibat maraknya
penambangan timah. Penambangan itu menggunakan kapal yang menyedot pasir
yang berpotensi timah dari dasar laut. Setelah tertampung di kapal dan
dipisahkan dari timah, limbah air dan pasir dibuang lagi ke laut.
Pola penambangan seperti itu, menurut Sekretaris Eksekutif Coral Reef
Rehabilitation and Management Program (Coremap) Jamaludin Jompa, membuat
terumbu karang tertutupi partikel partikel sedimen. Jika kegiatan itu
terus-menerus dilakukan, terumbu karang otomatis mengalami pengurangan
penetrasi cahaya matahari dan terbentuknya substrat yang labil sehingga
menyulitkan berkembang, bahkan hanya menimbulkan kematian massal.
Saat yang sama karang akan ditumbuhi oleh makro alga yang akan melekat
dengan kuat sehingga menyulitkan karang baru untuk berkembang. Kelimpahan
makro alga bisa menyebabkan rusaknya keseimbangan ekosistem laut, termasuk
rantai makanan yang akhirnya secara permanen merusak ekosistem terumbu
karang.
”Terumbu karang merupakan habitat semua jenis ikan. Tanpa itu, ikan dan
berbagai biota laut lainnya takkan dapat berkembang sehingga menyulitkan
pemulihan fungsi ekologis di perairan tersebut,” tegas guru besar terumbu
karang dari Universitas Hasanuddin Makassar tersebut.
”Pengalaman selama ini, terumbu karang yang rusak akibat sedimentasi
cenderung sulit terpulihkan kembali. Kalaupun bisa, dibutuhkan waktu minimal
40 tahun. Hal itu selalu diabaikan para investor sebab mereka lebih
mengutamakan kepentingan bisnis dalam jangka pendek,” uja Jamaludin.
*Pengkajian*
Untuk itu, dia mengajurkan pemerintah segera melakukan pengkajian yang
menyeluruh penambangan timah di perairan Kepulauan Bangka Belitung. Dalam
pengkajian itu patut dihitung dampak dari aktivitas tersebut bagi warga
setempat pada 20 sampai 30 tahun mendatang.
”Jika kerugian yang akan diderita masyarakat dalam jangka pendek maupun
panjang jauh lebih besar, pemerintah harus berani membuat keputusan untuk
menghentikan total penambangan timah di laut, lalu mulai melakukan pemulihan
terumbu karang. Gubernur dan bupati hendaknya jangan hanya mengutamakan
kepentingan pendapatan daerah saat dirinya menjabat, lalu mengabaikan
kerugian yang akan diderita masyarakat di masa depan,” kata Jamaludin.
PT Timah yang sejak lama menambang di laut ternyata belum memiliki pola
reklamasi yang tepat. ”Saat ini PT Timah bersama Universitas Bangka
Belitung, UGM, dan ITB melakukan penelitian untuk menemukan pola reklamasi
di laut yang tepat,” kata Direktur Utama PT Timah Wachid Usman. PT Timah
punya 143.136 hektar kuasa pertambahan (KP) di laut. Artinya, semua bakal
tinggal kenangan. (WAD/JON/JAN)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/20/0447537/semuanya.bakal.tinggal.kenangan
Tiga pekan lalu, nelayan di sejumlah daerah di Pulau Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, ramai-ramai menolak kehadiran kapal penyedot
timah di laut yang ingin dioperasikan PT Timah (Persero) Tbk dan kalangan
swasta lainnya. Alasannya, penyedotan bahan tambang dari dasar laut itu
selama ini telah merusak ekosistem laut dan memperparah kemiskinan yang
diderita para nelayan.
”Hidup kami sebagai nelayan sekarang semakin menderita. Kalau mencari ikan
harus ke tengah laut, sedangkan perahunya kecil, ongkos bahan bakar juga
tambah mahal, tetapi ikan belum tentu dapat, sebab stoknya terus berkurang
akibat kerusakan terumbu karang. Semua ini gara-gara banyak kapal yang
menyedot timah di laut,” kata Joni (32), nelayan tradisional di Desa Pala,
Kecamatan Jebus, Bangka Barat, akhir pekan lalu.
*Gejolak*
Mula-mula gejolak itu timbul di Rajik, Bangka Selatan, kemudian di Desa
Belinyu, Kabupaten Bangka, Belu Laut di Bangka Barat. Bahkan, akhir Mei 2010
di Teluk Limau, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat. Di sana, beroperasi
belasan kapal penyedot timah.
”Kapal-kapal isap itu selalu nyelonong ke dekat pantai, sekitar 200 meter
(dari bibir pantai) tanpa izin warga. Inilah yang membuat sebagian warga
kesal,” ungkap Samsuri, Kepala Desa Teluk Limau.
Kapal isap buatan Thailand ini, diungkapkan warga setempat, kerap beroperasi
di sekitar perairan Tekuk Limau. Di Penganak, dekat Desa Teluk Limau,
terdapat areal tambang timah laut yang kuasa pertambangannya dimiliki PT
Timah. Warga Teluk Limau memberlakukan patroli siang dan malam untuk
memantau keberadaan kapal penyedot.
”Kami menolak karena keberadaan mereka akan merugikan nelayan. Kalau mereka
tetap nekat (operasi), kami akan ramai-ramai mengusir. Dalam rapat
musyawarah desa, sebagian besar warga, yaitu sekitar 500 orang, dengan keras
menolak aktivitas kapal isap,” tegas Zainal, warga Teluk Limau.
Mereka juga menolak iming-iming kompensasi. Mayoritas warga di Teluk Limau
adalah nelayan. Beberapa tahun terakhir banyak di antara mereka yang beralih
profesi menjadi penambang inkonvensional atau tambang rakyat.
”Namun, kami kan hanya kecil-kecilan mengambil timah. Paling 7-10 kilogram
tiap hari,” jelas Zainal.
*Sulit terpulihkan*
Penurunan volume ikan yang ditangkap nelayan merupakan dampak dari
kehancuran terumbu karang di perairan laut Bangka akibat maraknya
penambangan timah. Penambangan itu menggunakan kapal yang menyedot pasir
yang berpotensi timah dari dasar laut. Setelah tertampung di kapal dan
dipisahkan dari timah, limbah air dan pasir dibuang lagi ke laut.
Pola penambangan seperti itu, menurut Sekretaris Eksekutif Coral Reef
Rehabilitation and Management Program (Coremap) Jamaludin Jompa, membuat
terumbu karang tertutupi partikel partikel sedimen. Jika kegiatan itu
terus-menerus dilakukan, terumbu karang otomatis mengalami pengurangan
penetrasi cahaya matahari dan terbentuknya substrat yang labil sehingga
menyulitkan berkembang, bahkan hanya menimbulkan kematian massal.
Saat yang sama karang akan ditumbuhi oleh makro alga yang akan melekat
dengan kuat sehingga menyulitkan karang baru untuk berkembang. Kelimpahan
makro alga bisa menyebabkan rusaknya keseimbangan ekosistem laut, termasuk
rantai makanan yang akhirnya secara permanen merusak ekosistem terumbu
karang.
”Terumbu karang merupakan habitat semua jenis ikan. Tanpa itu, ikan dan
berbagai biota laut lainnya takkan dapat berkembang sehingga menyulitkan
pemulihan fungsi ekologis di perairan tersebut,” tegas guru besar terumbu
karang dari Universitas Hasanuddin Makassar tersebut.
”Pengalaman selama ini, terumbu karang yang rusak akibat sedimentasi
cenderung sulit terpulihkan kembali. Kalaupun bisa, dibutuhkan waktu minimal
40 tahun. Hal itu selalu diabaikan para investor sebab mereka lebih
mengutamakan kepentingan bisnis dalam jangka pendek,” uja Jamaludin.
*Pengkajian*
Untuk itu, dia mengajurkan pemerintah segera melakukan pengkajian yang
menyeluruh penambangan timah di perairan Kepulauan Bangka Belitung. Dalam
pengkajian itu patut dihitung dampak dari aktivitas tersebut bagi warga
setempat pada 20 sampai 30 tahun mendatang.
”Jika kerugian yang akan diderita masyarakat dalam jangka pendek maupun
panjang jauh lebih besar, pemerintah harus berani membuat keputusan untuk
menghentikan total penambangan timah di laut, lalu mulai melakukan pemulihan
terumbu karang. Gubernur dan bupati hendaknya jangan hanya mengutamakan
kepentingan pendapatan daerah saat dirinya menjabat, lalu mengabaikan
kerugian yang akan diderita masyarakat di masa depan,” kata Jamaludin.
PT Timah yang sejak lama menambang di laut ternyata belum memiliki pola
reklamasi yang tepat. ”Saat ini PT Timah bersama Universitas Bangka
Belitung, UGM, dan ITB melakukan penelitian untuk menemukan pola reklamasi
di laut yang tepat,” kata Direktur Utama PT Timah Wachid Usman. PT Timah
punya 143.136 hektar kuasa pertambahan (KP) di laut. Artinya, semua bakal
tinggal kenangan. (WAD/JON/JAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar