Tanpa ada perhatian khusus, rasanya tidak semua orang mahfum setiap 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan.
Profesi legendaris nenek moyang dari embel-embel Indonesia adalah negara maritim ini seperti hanya berhenti di batas peringatan monumental. Refleksi kehidupan nelayan hingga kini tidak tampak ada perubahan signifikan.
Nelayan masih menjadi komoditas politis dan ekonomis yang tersebar di kantong-kantong kemiskinan kawasan pesisir di sepanjang pantai nasional.
Mengutip pemikiran satu LSM pemerhati kelautan dan perikanan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), nelayan semakin terjun ke jurang kemiskinan. Betulkah?
Bicara soal penghasilan, nelayan kecil yang hanya bisa melaut di perairan umum hanya memperoleh sekitar Rp600.000 per bulan. Namun, mereka yang memiliki kapal lebih besar dan mencapai laut lepas bisa mengantongi sekitar Rp2 juta per bulan.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), rata-rata penghasilan nelayan sepanjang 2009 sudah naik sekitar Rp500.000 dibandingkan dengan pendapatan pada 2008.
Sementara itu, fakta lain menunjukkan penurunan nilai tukar nelayan (NTN) sebesar 0,29% terjadi di penghujung 2009.
Angka yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) ini menjelaskan adanya ketimpangan antara nilai pendapatan nelayan sebagai produsen dan kemampuan nelayan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan pokok keseharian.
Selain keterbatasan sumber daya manusia dan sarana tangkap, termasuk permodalan, aktivitas penangkapan ikan nelayan juga tidak lepas dari pengaruh kondisi alam.
Akhir-akhir ini, perubahan iklim semakin terasa.
KKP mengakui adanya pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada periode 2004-2008 sehingga menyisakan kurang dari 2,8 juta nelayan.
KIARA memperhitungkan dalam rentang waktu tersebut, Indonesia kehilangan 31.000 nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap harinya.
Ini terjadi karena 2 tahun terakhir nelayan Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 160-180 hari saja setelah cuaca ekstrem meniadakan kemampuan nelayan untuk memastikan ketepatan waktu melaut.
Tahan produksi
Di sisi lain, pemerintah tampaknya tidak pantang menyerah dengan kondisi nelayan yang belum cukup mendapat porsi sejahtera dalam kehidupannya.
Kinerja perikanan tangkap masih diharapkan menyumbangkan kenaikan meski tipis sekitar 1% saja pada 2010 dan 2011 menjadi 5,36 juta ton dan 5, 42 juta ton. Sementara target produksi 2010 relatif stagnan dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.
Sejumlah program pemerintah masih coba dilanjutkan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan dengan target peningkatan pendapatan kaum pekerja di laut ini menjadi rata-rata Rp735.215 per bulan pada 2011.
Beberapa program itu a.l. pembinaan sistem usaha perikanan, peningkatan sarana produksi, revitalisasi perikanan, penerapan rekayasa teknologi terapan, pengelolaan sumber daya perikanan dan pembinaan sistem, datam statistik dan informasi.
Untuk anggaran tahun ini, kegiatan tersebut akan dibiayai dengan anggaran Rp700,6 miliar saja.
Tidak cukup
Angka itu seperti tidak masuk akal. Untuk revitalisasi perikanan tangkap dengan menaikkan kapasitas kapal penangkap ikan yang mayoritas hanya 10-15 gross ton (GT) menjadi di atas 30 GT sudah butuh anggaran triliunan rupiah.
Jumlah kapal ikan yang mencapai 590.460 unit pada 2009 tidak mendukung penangkapan ikan hingga ke batas ZEE atau laut lepas karena mayoritas kapal tersebut hanya bertonase di bawah 30 GT.
Tidak heran, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad bercita-cita merestrukturisasi 1.000 kapal nelayan agar bisa melaut jauh ke laut lepas.
"Dengan kapal kecil, nelayan hanya bisa melaut ke perairan umum. Padahal ikan-ikan sekarang lebih banyak ke laut lepas karena terumbu di perairan pesisir sudah rusak. Untuk itu, paling tidak butuh kapal dengan kapasitas 30 GT-60 GT."
Itu baru soal kapal, belum urusan pembangunan sarana pelabuhan. Pembangunan pelabuhan di titik terluar (outer ring fishing port/ORFP) sudah akan menelan sedikitnya Rp2 triliun hanya untuk fasilitas dermaga dan pemecah gelombang.
Tidak heran, pemerintah berusaha meminang pendonor asing untuk memberikan pinjaman proyek pembangunan pelabuhan, seperti Japan International Cooperation Agency (JICA) atau Islamic Development Bank (IDB).
Untuk menambah anggaran, KKP memang sudah meminta lagi Rp1,6 triliun di APBN Perubahan. Namun, 50% dana tersebut akan dialokasikan untuk menggenjot perikanan budi daya.
Di sisi lain, catatan KIARA menunjukkan KKP hanya mampu mengelola 70%-80% total anggaran. Penyerapan anggaran yang minim ini menjadi ironis dengan kehidupan nelayan.
Tampaknya, sebelum melangkah pada peningkatan produksi, pemerintah harus terlebih dahulu membenahi tata kelola sumber daya perikanan dan menjamin hak-hak serta akses nelayan tradisional terhadap sumber daya perikanan terpenuhi.
Yang terpenting, pemerintah perlu segera mencari terobosan baru untuk memberikan dukungan permodalan bagi usaha perikanan tradisional. Nelayan juga manusia bukan?
Oleh Aprika R. Hernanda
Wartawan Bisnis Indonesia
Profesi legendaris nenek moyang dari embel-embel Indonesia adalah negara maritim ini seperti hanya berhenti di batas peringatan monumental. Refleksi kehidupan nelayan hingga kini tidak tampak ada perubahan signifikan.
Nelayan masih menjadi komoditas politis dan ekonomis yang tersebar di kantong-kantong kemiskinan kawasan pesisir di sepanjang pantai nasional.
Mengutip pemikiran satu LSM pemerhati kelautan dan perikanan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), nelayan semakin terjun ke jurang kemiskinan. Betulkah?
Bicara soal penghasilan, nelayan kecil yang hanya bisa melaut di perairan umum hanya memperoleh sekitar Rp600.000 per bulan. Namun, mereka yang memiliki kapal lebih besar dan mencapai laut lepas bisa mengantongi sekitar Rp2 juta per bulan.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), rata-rata penghasilan nelayan sepanjang 2009 sudah naik sekitar Rp500.000 dibandingkan dengan pendapatan pada 2008.
Sementara itu, fakta lain menunjukkan penurunan nilai tukar nelayan (NTN) sebesar 0,29% terjadi di penghujung 2009.
Angka yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) ini menjelaskan adanya ketimpangan antara nilai pendapatan nelayan sebagai produsen dan kemampuan nelayan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan pokok keseharian.
Selain keterbatasan sumber daya manusia dan sarana tangkap, termasuk permodalan, aktivitas penangkapan ikan nelayan juga tidak lepas dari pengaruh kondisi alam.
Akhir-akhir ini, perubahan iklim semakin terasa.
KKP mengakui adanya pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada periode 2004-2008 sehingga menyisakan kurang dari 2,8 juta nelayan.
KIARA memperhitungkan dalam rentang waktu tersebut, Indonesia kehilangan 31.000 nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap harinya.
Ini terjadi karena 2 tahun terakhir nelayan Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 160-180 hari saja setelah cuaca ekstrem meniadakan kemampuan nelayan untuk memastikan ketepatan waktu melaut.
Tahan produksi
Di sisi lain, pemerintah tampaknya tidak pantang menyerah dengan kondisi nelayan yang belum cukup mendapat porsi sejahtera dalam kehidupannya.
Kinerja perikanan tangkap masih diharapkan menyumbangkan kenaikan meski tipis sekitar 1% saja pada 2010 dan 2011 menjadi 5,36 juta ton dan 5, 42 juta ton. Sementara target produksi 2010 relatif stagnan dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.
Sejumlah program pemerintah masih coba dilanjutkan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan dengan target peningkatan pendapatan kaum pekerja di laut ini menjadi rata-rata Rp735.215 per bulan pada 2011.
Beberapa program itu a.l. pembinaan sistem usaha perikanan, peningkatan sarana produksi, revitalisasi perikanan, penerapan rekayasa teknologi terapan, pengelolaan sumber daya perikanan dan pembinaan sistem, datam statistik dan informasi.
Untuk anggaran tahun ini, kegiatan tersebut akan dibiayai dengan anggaran Rp700,6 miliar saja.
Tidak cukup
Angka itu seperti tidak masuk akal. Untuk revitalisasi perikanan tangkap dengan menaikkan kapasitas kapal penangkap ikan yang mayoritas hanya 10-15 gross ton (GT) menjadi di atas 30 GT sudah butuh anggaran triliunan rupiah.
Jumlah kapal ikan yang mencapai 590.460 unit pada 2009 tidak mendukung penangkapan ikan hingga ke batas ZEE atau laut lepas karena mayoritas kapal tersebut hanya bertonase di bawah 30 GT.
Tidak heran, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad bercita-cita merestrukturisasi 1.000 kapal nelayan agar bisa melaut jauh ke laut lepas.
"Dengan kapal kecil, nelayan hanya bisa melaut ke perairan umum. Padahal ikan-ikan sekarang lebih banyak ke laut lepas karena terumbu di perairan pesisir sudah rusak. Untuk itu, paling tidak butuh kapal dengan kapasitas 30 GT-60 GT."
Itu baru soal kapal, belum urusan pembangunan sarana pelabuhan. Pembangunan pelabuhan di titik terluar (outer ring fishing port/ORFP) sudah akan menelan sedikitnya Rp2 triliun hanya untuk fasilitas dermaga dan pemecah gelombang.
Tidak heran, pemerintah berusaha meminang pendonor asing untuk memberikan pinjaman proyek pembangunan pelabuhan, seperti Japan International Cooperation Agency (JICA) atau Islamic Development Bank (IDB).
Untuk menambah anggaran, KKP memang sudah meminta lagi Rp1,6 triliun di APBN Perubahan. Namun, 50% dana tersebut akan dialokasikan untuk menggenjot perikanan budi daya.
Di sisi lain, catatan KIARA menunjukkan KKP hanya mampu mengelola 70%-80% total anggaran. Penyerapan anggaran yang minim ini menjadi ironis dengan kehidupan nelayan.
Tampaknya, sebelum melangkah pada peningkatan produksi, pemerintah harus terlebih dahulu membenahi tata kelola sumber daya perikanan dan menjamin hak-hak serta akses nelayan tradisional terhadap sumber daya perikanan terpenuhi.
Yang terpenting, pemerintah perlu segera mencari terobosan baru untuk memberikan dukungan permodalan bagi usaha perikanan tradisional. Nelayan juga manusia bukan?
Oleh Aprika R. Hernanda
Wartawan Bisnis Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar