Atlantic Bluefin Tuna sedang menjadi bahan pembicaraan utama di dunia perikanan. Perdebatan antara pihak yang ingin melestarikan, mengkonsumsi, memperdagangkan ikan ini terus mengemuka. 12-25 Maret 2010 akan menjadi momen yang penting terkait hal ini karena akan dilaksanakan Sidang ke-15 Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) atau CoP15 CITES di Doha, Qatar yang akan dihadiri sekitar 175 negara, termasuk Indonesia.
Sidang CITES kali ini dianggap istimewa karena Monako yang didukung sebagian pihak memperjuangkan ikan Atlantic Bluefin Tuna (Thunnus thynnus)(Linnaeus, 1758) untuk dimasuk dalam CITES Appendix 1, yaitu masuk ke dalam daftar hewan dilindungi dan terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial, karena dianggap sudah kritis dan berpotensi punah.
Unttuk diketahui, harga seekor Atlantic bluefin tuna mencapai US$120 ribu berdasarkan lelang di Tokyo Jepang bulan Januari 2010 .Jepang popular menyajikannya sebagai sushi.
Sidang CITES sendiri baru dimulai besok dilaksanakan, dan terdapat enam proposal terkait perikanan, salah satunya tlantic bluefin tuna.
Jepang sebagai salah satu pasar ekspor terbesar tuna Indonesia menolak usulan memasukkan spesies ini pada Appendix I. Jepang beralasan bahwa belum tersedia dasar ilmiah untuk menghitung tingkat spawning biomass, karena data baseline spawning biomass yang tersedia adalah berdasarkan tahun 1970 sekitar 300.000 ton sedangkan dewasa ini diperkirakan sekitar 100.000 ton atau sekitar 20 persen di atas baseline. Jepang juga beralasan bahwa CITES bukan organisasi yang tepat untuk menangani hal ini.
Dalam kaitan tersebut, melalui siaran persnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai leading sector menjelaskan posisi Indonesia yang pada prinsipnya adalah mendukung upaya pemanfaatan tuna secara berkelanjutan dan tidak menyetujui ikan tuna ini diatur oleh CITES. Posisi Indonesia tersebut didasari pada beberapa alasan, yaitu: (1) Indonesia sependapat dengan FAO bahwa data ilmiah tentang stok species ikan ini masih menjadi perdebatan, (2) kebijakan terkait status spesies ini ditentukan tidak terbatas karena alasan lingkungan saja tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial ekonomi, sehingga organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO), yaitu International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) yang berwenang memutuskan karena organisasi ini memiliki mandat untuk mengelola dan konservasi tuna termasuk spesies ini di wilayah ruaya ikan ini di Atlantik, (3) meskipun Indonesia bukan termasuk dalam range state spesies ini, Indonesia terlibat aktif dalam 3 RFMOs yang mengelola perikanan Tuna yaitu sebagai anggota pada dua RFMOs : Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan sebagai Cooperating Non Member (CNM) pada Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dan (4) terdapat kemungkinan bahwa CITES menggunakan pendekatan “look a like spesies” yang berpotensi memasukkan semua jenis tuna ke dalam aturannya.
Sidang CITES kali ini dianggap istimewa karena Monako yang didukung sebagian pihak memperjuangkan ikan Atlantic Bluefin Tuna (Thunnus thynnus)(Linnaeus, 1758) untuk dimasuk dalam CITES Appendix 1, yaitu masuk ke dalam daftar hewan dilindungi dan terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial, karena dianggap sudah kritis dan berpotensi punah.
Unttuk diketahui, harga seekor Atlantic bluefin tuna mencapai US$120 ribu berdasarkan lelang di Tokyo Jepang bulan Januari 2010 .Jepang popular menyajikannya sebagai sushi.
Sidang CITES sendiri baru dimulai besok dilaksanakan, dan terdapat enam proposal terkait perikanan, salah satunya tlantic bluefin tuna.
Jepang sebagai salah satu pasar ekspor terbesar tuna Indonesia menolak usulan memasukkan spesies ini pada Appendix I. Jepang beralasan bahwa belum tersedia dasar ilmiah untuk menghitung tingkat spawning biomass, karena data baseline spawning biomass yang tersedia adalah berdasarkan tahun 1970 sekitar 300.000 ton sedangkan dewasa ini diperkirakan sekitar 100.000 ton atau sekitar 20 persen di atas baseline. Jepang juga beralasan bahwa CITES bukan organisasi yang tepat untuk menangani hal ini.
Dalam kaitan tersebut, melalui siaran persnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai leading sector menjelaskan posisi Indonesia yang pada prinsipnya adalah mendukung upaya pemanfaatan tuna secara berkelanjutan dan tidak menyetujui ikan tuna ini diatur oleh CITES. Posisi Indonesia tersebut didasari pada beberapa alasan, yaitu: (1) Indonesia sependapat dengan FAO bahwa data ilmiah tentang stok species ikan ini masih menjadi perdebatan, (2) kebijakan terkait status spesies ini ditentukan tidak terbatas karena alasan lingkungan saja tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial ekonomi, sehingga organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO), yaitu International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) yang berwenang memutuskan karena organisasi ini memiliki mandat untuk mengelola dan konservasi tuna termasuk spesies ini di wilayah ruaya ikan ini di Atlantik, (3) meskipun Indonesia bukan termasuk dalam range state spesies ini, Indonesia terlibat aktif dalam 3 RFMOs yang mengelola perikanan Tuna yaitu sebagai anggota pada dua RFMOs : Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan sebagai Cooperating Non Member (CNM) pada Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dan (4) terdapat kemungkinan bahwa CITES menggunakan pendekatan “look a like spesies” yang berpotensi memasukkan semua jenis tuna ke dalam aturannya.
1 komentar:
blue fin tuna seharusnya dari dulu sudah di red line,,,
jangan menunggu hingga mau punah,,
kini harganya yang melambung tinggi membuat ikan ini gencar di cari para nelayan..
segera tertibkan keadaan
Posting Komentar