Oleh BM Lukita Grahadyarini
Badan Pusat Statistik awal Februari ini merilis adanya inflasi harga ikan segar pada Desember 2009-Januari 2010. Kenaikan harga ikan itu sudah diprediksi. Sebagian besar nelayan di Tanah Air sejak akhir 2009 tak bisa melaut akibat gangguan cuaca buruk dan gelombang tinggi perairan.
Inflasi harga ikan segar selama dua bulan terakhir meningkat dari 0,03 persen pada Desember 2009 menjadi 0,07 persen pada Januari 2010. Inflasi itu dipicu oleh meningkatnya harga jual ikan segar di dalam negeri.
Kenaikan harga ikan terasa wajar di tengah seretnya hasil tangkapan ikan nelayan. Sementara itu, produksi perikanan budidaya belum dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan ikan segar di masyarakat.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, produksi perikanan tangkap di Indonesia selama 2009 sekitar 5,28 juta ton, sedangkan perikanan budidaya 4,78 juta ton.
Kepala Riset Pusat Kajian Sumber Daya Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana memperkirakan, inflasi harga ikan segar masih akan terjadi hingga akhir Februari 2010. Hal ini seiring dengan ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang memperkirakan, cuaca buruk di perairan Indonesia akan berlangsung sampai akhir Februari.
Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, pada pertengahan Februari atau puncak musim hujan, pembudidaya ikan sering kali gagal panen.
Sentra perikanan budidaya, seperti Waduk Jatiluhur dan Cirata di Jawa Barat, setiap tahun mengalami kematian massal ribuan ton ikan akibat kekurangan oksigen. Ini karena rendahnya penyerapan sinar matahari selama musim hujan ataupun karena pergerakan massa air dari dasar perairan yang membawa racun endapan sisa pakan.
Lalu, apakah kenaikan harga ikan segar di pasar berdampak pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan?
Data BPS menunjukkan, harga ikan naik, tetapi nilai tukar nelayan pada Desember 2009 justru turun 0,29 persen dibanding bulan sebelumnya. Turunnya pendapatan nelayan itu dipicu kebutuhan rumah tangga dan biaya produksi yang semakin tinggi selama masa paceklik.
Nasib nelayan seolah tak lepas dirundung malang. Harga ikan anjlok saat panen raya dan ongkos produksi melambung saat paceklik. Padahal, tak jarang nelayan harus mempertaruhkan nyawa di ganasnya ombak.
Nelayan juga tidak pernah lepas dari jerat utang kepada tengkulak, baik untuk modal melaut, membeli alat produksi, maupun biaya hidup sehari-hari. Dengan demikian, nelayan tak punya pilihan kecuali menjual ikannya kepada tengkulak dengan harga yang ditetapkan tengkulak.
Ini berbeda dengan nelayan di Jepang. Mereka punya koperasi nelayan yang kuat, dengan organisasi tertata baik sehingga mampu mengelola tempat pelelangan ikan secara mandiri. Nelayan pun punya posisi tawar relatif kuat. Harga jual ikan pun naik jika pasokan turun dan harga stabil jika pasokan berlebih. Waktu melaut diatur, begitu pula jenis tangkapan.
Butuh pengolahan
Cuaca bukan satu-satunya penghalang bagi nelayan. Minimnya akses permodalan juga menghambat nelayan dan pembudidaya ikan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, alokasi kredit usaha rakyat (KUR) untuk sektor perikanan tahun 2009 hanya 0,5 persen dari total KUR.
Masalah lain yang juga harus dihadapi adalah belum dipenuhinya sarana bahan bakar minyak khusus nelayan dan pembudidaya ikan. Infrastruktur listrik, air bersih, pasokan es di sentra nelayan, dan tingginya harga pakan adalah sederet persoalan yang masih menghantui nelayan dan pembudidaya ikan.
Tahun ini pemerintah berencana membangun gudang pendingin (cold storage) guna mengatasi fluktuasi harga ikan di pelabuhan dan menopang bahan baku industri pengolahan ikan. Gudang pendingin dibangun di tiga lokasi, yaitu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Bitung Sulawesi Utara, Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Jawa Timur.
Namun, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Martani Huseini menyatakan, pembangunan gudang pendingin itu sangat bergantung pada ketersediaan anggaran pemerintah, infrastruktur, pasokan air, dan listrik di wilayah itu.
Kendala infrastruktur dan permodalan tidak hanya berpengaruh pada produktivitas, tetapi juga kesejahteraan nelayan. Sebagian besar nelayan sulit mempunyai mata pencarian alternatif untuk menghadapi musim paceklik yang datang selama empat bulan setiap tahun.
Keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menjadikan Indonesia produsen perikanan terbesar dunia, dengan target produksi perikanan budidaya 16,89 juta ton pada 2014, hanya jadi angan-angan apabila tanpa diimbangi penguatan usaha perikanan.
Beberapa langkah perlu ditempuh untuk menuju ambisi itu. Pertama, mempermudah akses permodalan bagi nelayan dan pembudidaya dengan menciptakan skema permodalan yang bisa diakses nelayan.
Kedua, meningkatkan pasokan bahan bakar dan stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan dan pembudidaya ikan di seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga, memperkuat industri pengolahan ikan nasional agar mampu menyerap hasil produksi nelayan dan pembudidaya ikan. Jadi, tak ada lagi fluktuasi harga yang ekstrem.
Keempat, menciptakan skema penyelamatan nelayan pada masa paceklik melaut, seperti tabungan dana paceklik dan asuransi nelayan. Jadi, ketergantungan nelayan terhadap tengkulak dapat ditekan.
Kelima, menyediakan alternatif pakan dengan bahan yang murah dan mudah diperoleh.
Sudah saatnya negeri bahari ini berpaling ke laut yang menghidupi dan menjadi penghidupan mayoritas penduduknya. Tatkala kekayaan perairan tak mampu membangkitkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya, negeri ini ibarat menggali kubur sendiri.
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/02/17/ 0259516/nelayan. selalu.hidup. dalam.paceklik..
Badan Pusat Statistik awal Februari ini merilis adanya inflasi harga ikan segar pada Desember 2009-Januari 2010. Kenaikan harga ikan itu sudah diprediksi. Sebagian besar nelayan di Tanah Air sejak akhir 2009 tak bisa melaut akibat gangguan cuaca buruk dan gelombang tinggi perairan.
Inflasi harga ikan segar selama dua bulan terakhir meningkat dari 0,03 persen pada Desember 2009 menjadi 0,07 persen pada Januari 2010. Inflasi itu dipicu oleh meningkatnya harga jual ikan segar di dalam negeri.
Kenaikan harga ikan terasa wajar di tengah seretnya hasil tangkapan ikan nelayan. Sementara itu, produksi perikanan budidaya belum dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan ikan segar di masyarakat.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, produksi perikanan tangkap di Indonesia selama 2009 sekitar 5,28 juta ton, sedangkan perikanan budidaya 4,78 juta ton.
Kepala Riset Pusat Kajian Sumber Daya Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana memperkirakan, inflasi harga ikan segar masih akan terjadi hingga akhir Februari 2010. Hal ini seiring dengan ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang memperkirakan, cuaca buruk di perairan Indonesia akan berlangsung sampai akhir Februari.
Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, pada pertengahan Februari atau puncak musim hujan, pembudidaya ikan sering kali gagal panen.
Sentra perikanan budidaya, seperti Waduk Jatiluhur dan Cirata di Jawa Barat, setiap tahun mengalami kematian massal ribuan ton ikan akibat kekurangan oksigen. Ini karena rendahnya penyerapan sinar matahari selama musim hujan ataupun karena pergerakan massa air dari dasar perairan yang membawa racun endapan sisa pakan.
Lalu, apakah kenaikan harga ikan segar di pasar berdampak pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan?
Data BPS menunjukkan, harga ikan naik, tetapi nilai tukar nelayan pada Desember 2009 justru turun 0,29 persen dibanding bulan sebelumnya. Turunnya pendapatan nelayan itu dipicu kebutuhan rumah tangga dan biaya produksi yang semakin tinggi selama masa paceklik.
Nasib nelayan seolah tak lepas dirundung malang. Harga ikan anjlok saat panen raya dan ongkos produksi melambung saat paceklik. Padahal, tak jarang nelayan harus mempertaruhkan nyawa di ganasnya ombak.
Nelayan juga tidak pernah lepas dari jerat utang kepada tengkulak, baik untuk modal melaut, membeli alat produksi, maupun biaya hidup sehari-hari. Dengan demikian, nelayan tak punya pilihan kecuali menjual ikannya kepada tengkulak dengan harga yang ditetapkan tengkulak.
Ini berbeda dengan nelayan di Jepang. Mereka punya koperasi nelayan yang kuat, dengan organisasi tertata baik sehingga mampu mengelola tempat pelelangan ikan secara mandiri. Nelayan pun punya posisi tawar relatif kuat. Harga jual ikan pun naik jika pasokan turun dan harga stabil jika pasokan berlebih. Waktu melaut diatur, begitu pula jenis tangkapan.
Butuh pengolahan
Cuaca bukan satu-satunya penghalang bagi nelayan. Minimnya akses permodalan juga menghambat nelayan dan pembudidaya ikan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, alokasi kredit usaha rakyat (KUR) untuk sektor perikanan tahun 2009 hanya 0,5 persen dari total KUR.
Masalah lain yang juga harus dihadapi adalah belum dipenuhinya sarana bahan bakar minyak khusus nelayan dan pembudidaya ikan. Infrastruktur listrik, air bersih, pasokan es di sentra nelayan, dan tingginya harga pakan adalah sederet persoalan yang masih menghantui nelayan dan pembudidaya ikan.
Tahun ini pemerintah berencana membangun gudang pendingin (cold storage) guna mengatasi fluktuasi harga ikan di pelabuhan dan menopang bahan baku industri pengolahan ikan. Gudang pendingin dibangun di tiga lokasi, yaitu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Bitung Sulawesi Utara, Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Jawa Timur.
Namun, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Martani Huseini menyatakan, pembangunan gudang pendingin itu sangat bergantung pada ketersediaan anggaran pemerintah, infrastruktur, pasokan air, dan listrik di wilayah itu.
Kendala infrastruktur dan permodalan tidak hanya berpengaruh pada produktivitas, tetapi juga kesejahteraan nelayan. Sebagian besar nelayan sulit mempunyai mata pencarian alternatif untuk menghadapi musim paceklik yang datang selama empat bulan setiap tahun.
Keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menjadikan Indonesia produsen perikanan terbesar dunia, dengan target produksi perikanan budidaya 16,89 juta ton pada 2014, hanya jadi angan-angan apabila tanpa diimbangi penguatan usaha perikanan.
Beberapa langkah perlu ditempuh untuk menuju ambisi itu. Pertama, mempermudah akses permodalan bagi nelayan dan pembudidaya dengan menciptakan skema permodalan yang bisa diakses nelayan.
Kedua, meningkatkan pasokan bahan bakar dan stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan dan pembudidaya ikan di seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga, memperkuat industri pengolahan ikan nasional agar mampu menyerap hasil produksi nelayan dan pembudidaya ikan. Jadi, tak ada lagi fluktuasi harga yang ekstrem.
Keempat, menciptakan skema penyelamatan nelayan pada masa paceklik melaut, seperti tabungan dana paceklik dan asuransi nelayan. Jadi, ketergantungan nelayan terhadap tengkulak dapat ditekan.
Kelima, menyediakan alternatif pakan dengan bahan yang murah dan mudah diperoleh.
Sudah saatnya negeri bahari ini berpaling ke laut yang menghidupi dan menjadi penghidupan mayoritas penduduknya. Tatkala kekayaan perairan tak mampu membangkitkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya, negeri ini ibarat menggali kubur sendiri.
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/02/17/ 0259516/nelayan. selalu.hidup. dalam.paceklik..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar