Pemerhati perikanan di Manado meminta pemerintah provinsi segera memproteksi perairan Talise dari kegiatan penangkapan ikan. Diduga, laut dalam yang terletak di Kecamatan Likupang, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, merupakan habitat ikan purba Coelacanth menyusul sejumlah penemuan belakangan ini.
Hal tersebut disampaikan Dr Desy Mantiri dan Dr Winda Mingkid dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi di Manado, Senin (28/9).
Pekan lalu enam ekor ikan purba Coelacanth ditemukan di laut pada kedalaman 150-180 meter. Keenam ikan terpantau piranti pemantau bawah air (remotely operated vehicle) tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh.
Piranti itu dilepas di laut dalam berkaitan dengan kegiatan penelitian ikan purba oleh tim peneliti dari Universitas Sam Ratulangi yang bekerja sama dengan peneliti asal Jepang.
Para peneliti tersebut menyatakan, sejumlah temuan ikan purba Coelacanth di perairan tersebut mengindikasikan, ikan yang dijuluki ”Raja Laut” oleh nelayan itu, kemungkinan memiliki kehidupan atau habitat di tempat itu. ”Proteksi laut Talise dalam rangka menyelamatkan ikan itu dari kegiatan penangkapan serta dampak negatif lainnya,” kata Desy.
Dr Alex Masengi, anggota tim peneliti, mengatakan, saat ini mereka tengah memantau kehidupan ikan purba pada beberapa kawasan di laut Sulawesi Utara. Namun, tiga kali penemuan dalam waktu sebulan menunjukkan bahwa perairan Talise menjadi habitat ikan itu.
Alex mengatakan, enam ekor ikan Coelacanth ketika ditemukan tengah bermain-main di dalam goa laut dalam perairan Talise. Namun, pihaknya belum dapat mengidentifikasi jumlah ikan purba di kawasan tersebut.
Ikan Coelacanth digolongkan ikan purba dan fosil hidup karena diduga sudah ada sejak era Devonian, sekitar 380 juta tahun silam. Hingga kini bentuknya tak berubah. Habitat ikan Coelacanth berada di kedalaman lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius.
Pada bagian lain, Desy dan Winda mengatakan, tindakan sementara perlu diambil dan dilakukan untuk menghindari kegiatan penangkapan ilegal oleh oknum tertentu. ”Kita harus menjaga kelestarian ikan purba ini, jangan lagi sampai tertangkap nelayan,” katanya.
Disisi lain, selama ini nelayan cukup kooperatif menyerahkan hasil penangkapannya kepada pihak pemerintah atau Universitas Sam Ratulangi. ”Namun, apa artinya jika setelah ditangkap, ikan itu malah mati?” katanya.
Sumber : Kompas, September 2009
Hal tersebut disampaikan Dr Desy Mantiri dan Dr Winda Mingkid dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi di Manado, Senin (28/9).
Pekan lalu enam ekor ikan purba Coelacanth ditemukan di laut pada kedalaman 150-180 meter. Keenam ikan terpantau piranti pemantau bawah air (remotely operated vehicle) tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh.
Piranti itu dilepas di laut dalam berkaitan dengan kegiatan penelitian ikan purba oleh tim peneliti dari Universitas Sam Ratulangi yang bekerja sama dengan peneliti asal Jepang.
Para peneliti tersebut menyatakan, sejumlah temuan ikan purba Coelacanth di perairan tersebut mengindikasikan, ikan yang dijuluki ”Raja Laut” oleh nelayan itu, kemungkinan memiliki kehidupan atau habitat di tempat itu. ”Proteksi laut Talise dalam rangka menyelamatkan ikan itu dari kegiatan penangkapan serta dampak negatif lainnya,” kata Desy.
Dr Alex Masengi, anggota tim peneliti, mengatakan, saat ini mereka tengah memantau kehidupan ikan purba pada beberapa kawasan di laut Sulawesi Utara. Namun, tiga kali penemuan dalam waktu sebulan menunjukkan bahwa perairan Talise menjadi habitat ikan itu.
Alex mengatakan, enam ekor ikan Coelacanth ketika ditemukan tengah bermain-main di dalam goa laut dalam perairan Talise. Namun, pihaknya belum dapat mengidentifikasi jumlah ikan purba di kawasan tersebut.
Ikan Coelacanth digolongkan ikan purba dan fosil hidup karena diduga sudah ada sejak era Devonian, sekitar 380 juta tahun silam. Hingga kini bentuknya tak berubah. Habitat ikan Coelacanth berada di kedalaman lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius.
Pada bagian lain, Desy dan Winda mengatakan, tindakan sementara perlu diambil dan dilakukan untuk menghindari kegiatan penangkapan ilegal oleh oknum tertentu. ”Kita harus menjaga kelestarian ikan purba ini, jangan lagi sampai tertangkap nelayan,” katanya.
Disisi lain, selama ini nelayan cukup kooperatif menyerahkan hasil penangkapannya kepada pihak pemerintah atau Universitas Sam Ratulangi. ”Namun, apa artinya jika setelah ditangkap, ikan itu malah mati?” katanya.
Sumber : Kompas, September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar