26 September, 2009

Perdagangan Karbon Dominasi Negosiasi Mekanisme "Offset" bagi Negara Maju Ditolak

Jakarta, Kompas - Negosiasi global untuk skema penanganan perubahan iklim terseret pada masalah perdagangan karbon, bukan fokus pada upaya menemukan solusi-solusi menghadapi bencana dampak pemanasan global.

Negosiasi global tersebut juga tidak sepenuhnya sejalan dengan komitmen awal menurunkan emisi secara bersama-sama.

”Seperti dilakukan Indonesia dengan menawarkan skema REDD (Pengurangan Emisi melalui Deforestasi dan Degradasi) itu jadinya menyesatkan,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maimunah, Jumat (25/9), dalam konferensi pers di Jakarta.

Menurut Maimunah, REDD memiliki skema offset yang bisa digunakan untuk pencapaian netral karbon bagi negara atau suatu perusahaan penghasil emisi. Dengan demikian, negara atau penghasil emisi itu tidak terbebani sepenuhnya untuk mengurangi emisinya.

Maimunah menyampaikan hal tersebut, mewakili Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF), menjelang penyelenggaraan Bangkok Intersessional Meetings on Climate Change, 28 September-8 Oktober 2009, di Bangkok, Thailand. Pertemuan itu merupakan rangkaian persiapan pertemuan PBB mengenai Perubahan Iklim di Copenhagen, Denmark, Desember nanti.

”Kami mendorong agar delegasi Indonesia dalam forum tersebut memiliki arah yang jelas,” ujar Maimunah.

Tanpa mekanisme ”offset”

Pada pertemuan di Bangkok, CSF akan menekan negara-negara maju yang tergabung dalam Annex 1 untuk mewujudkan komitmen menurunkan emisi domestik 40 persen pada tahun 2020. Upaya tersebut dengan syarat tanpa mekanisme offset.

Dukungan dana adaptasi dari negara maju juga dituntut sebagai hibah, bukan utang. Negara- negara Annex 1 juga diwajibkan mendukung pengembangan energi bersih berbasis komunitas di negara-negara berkembang.

Turut hadir pada konferensi pers, Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Teguh Surya, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Riza Damanik, Koordinator CSF Giorgio Budi Idarto, Puspa Dewi dari Solidaritas Perempuan, dan

Yuriun, selaku wakil dari komunitas masyarakat adat Aceh.

Yuriun akan hadir sebagai perwakilan CSF pada pertemuan di Bangkok. Dia mengatakan, selama ini konsep pemerintah untuk menjaga hutan tidak pernah jelas. Masyarakat adat yang selama ini mampu menjaga kelestarian hutannya, karena hidup tergantung dari hutan tersebut, kerap tersingkir setelah ada pembukaan hutan oleh investor.

Riza Damanik menjelaskan, Pemerintah Indonesia dalam negosiasi global untuk menghadapi perubahan iklim akibat pemanasan global kini masih memiliki tugas berat. Di berbagai forum internasional terkait pembahasan perubahan iklim, delegasi Indonesia selalu lantang meneriakkan berbagai gagasan. Namun, implementasi gagasan itu masih lemah. ”Belum tuntas menyelesaikan persoalan menjaga kelestarian hutan melalui REDD, pemerintah sudah menyuarakan perdagangan karbon atas laut kita. Perdagangan karbon dari laut itu prematur,” ujarmya. (NAW)

Sumber: http://cetak. kompas.com




Tidak ada komentar: