05 Agustus, 2009

Negara Disarankan Adopsi Kaidah Adat

JAKARTA, KOMPAS.com-- Sejumlah lembaga kemasyarakatan menyarankan pemerintah agar memberikan politik pengakuan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat.Saran ini disampaikan pada lokakarya bertajuk "Customary Institution in Indonesia: Do they have a role in Fisheries and Coastal Area Management" yang diselenggarakan oleh International Collective in Support of Fishworkers (ICSF) bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mulai 2-5 Agustus 2009."Pemberian politik pengakuan tersebut dapat dilakukan dengan sepenuhnya mengadopsi pola pengelolaan tradisional sumber daya kelautan dan perikanan yang telah dipraktikkan masyarakat adat sejak abad XVI," kata Abdul Halim, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), di Lombok, Senin.

Cara yang dilakukan masyarakat tersebut terbukti arif terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan kelangsungan hidup sumber daya alam yang dikandungnya."Sudah semestinya negara mengadopsinya dalam tata hukum pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional. Inilah representasi politik pengakuan negara," jelasnya.Kearifan tradisional masyarakat adat, seperti Sasi di Pulau Haruku, Maluku Tengah; Ola Nua di Lamalera, Nusa Tenggara Timur; Mane’e di Sulawesi Utara; Awig-awig di Nusa Tenggara Barat; Semah Laut di Pulau Bengkalis, Riau; Parompong di Sulawesi Selatan; dan Panglima Laot di Nanggroe Aceh Darussalam, menyimpulkan adanya keterhubungan antara manusia dan alam.Hubungan ini menunjukkan pentingnya merekonstruksi paradigma pembangunan ekonomi yang telah dijalankan.

Menurut Halim, saat ini, ekspansi pembangunan tidak lagi menempatkan bumi, air, dan udara beserta sumber daya alam yang dikandungnya demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.. Dalam pada itu, keseimbangan ekosistem laut diacuhkan dan keberadaan masyarakat adat dipinggirkan.Peminggiran masyarakat adat ini erat terkait dengan konflik kepentingan antar-departemen teknis pelaksana pembangunan. ."Apa yang dikembangkan masyarakat adat secara turun-temurun harus diintegrasikan dalam tata laksana pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang bertanggung jawab, baik terhadap manusia maupun lingkungan hidup..

Olehnya perlu dikembangkan tata kehidupan bersama yang memakai pendekatan bioregional terhadap ekosistem pesisir," kata Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) M Teguh Surya.Hal lain yang luput dari perhatian negara adalah dipinggirkannya pengetahuan lingkungan hidup lokal, sejak dari kurikulum pendidikan hingga muatan kebijakan pusat-daerah."Kebanyakan pelaku pencemaran laut berasal dari daerah lain, baik domestik maupun asing, bukan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir lokal. Pada titik ini, perlu kiranya negara memperkuat kaidah adat dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan," ujar Dedy Ramanta, Sekretaris Nasional Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).Ia mengatakan, dalam hal penguatan kapasitas organisasi masyarakat adat ini, pemerintah harus dapat menegaskan terhadap kepentingan kelompok dan sektoralnya. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan kluster perikanan bukanlah jalan pemberian politik pengakuan terhadap masyarakat adat.

Sumber : Ant (http://m.kompas. com

Tidak ada komentar: