29 Agustus, 2009

Hak Atas Karbon di Indonesia

( Penggalan dari tulisan-tulisan lain.)

Andiko

Hukum perdata Indonesia menyatakan bahwa menurut undang-undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik (KUHPerd. 503, 519, 833, 955, 1131.) selanjutnya ada barang yang bertubuh, dan ada yang tidak bertubuh (KUHPerd. 547, 559, 612.). Sehubungan dengan karbon, pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah karbon adalah barang? Konsekuensinya, tentunya karbon sebagai benda dapat dilekati oleh hak milik diatasnya.

Ridell (1987) memaknai bahwa "tenure system is a bundle of rights", sistem tenurial sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak. Maksudnya tentu sekumpulan atau serangkaian hak untuk memanfaatkan tanah dan sumber daya alam lainnya yang terdapat dalam suatu masyarakat yang secara bersamaan juga memunculkan sejumlah batasan-batasan tertentu dalam proses pemanfaatan itu. Ridell lebih jauh mengemukakan bahwa dengan pengertian sebundel atau serangkaian, maka masing-masing hak dapat dipisahkan dari ikatannya lalu diletakan tidak lagi dalam ikatan asalnya atau diletakan dalam konteks yang berbeda. Ikatannya itu sendiri menunjukan adanya suatu sistem (Ridell, 1987) .

Aturan kehutanan di Indonesia juga mengikuti logika bundle of right. Hak karbon berada pada tingkat selanjutnya setelah hak pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam atau hutan tanaman beserta dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan. Aturan kehutanan, khususnya yang mengatur tentang karbon memberikan hak pemilikan kepada pemegang izin penyerapan dan penyimpanan karbon (RAP dan/atau PAN karbon) atau kepada actor yang mengembangkan proyek penyerapan dan penyimpanan karbon (RAP dan/atau PAN karbon) (Permenhut No. 36 tahun 2009).

Pada posisi lain, masyarakat secara de facto memiliki seperangkat hak dan pengaturan hak diatas kawasan tersebut yang juga merupakan sekumpulan hak-hak tertentu yang tunduk pada hukum-hukum lokal atau adat mereka. Penguasaan mereka atas hutan dan kayu-kayu tersebut mengantarkan pada kesimpulan bahwa semua hak atas jasa lingkungan yang diproduksi oleh kawasan tersebut tentunya melekat pada mereka. Meskipun karbon sebagai sebuah barang, atau komoditas dagang baru belum dikenal secara luas ditengah mereka.

Pada posisi demikian, hak karbon yang berasal dari hak berian Negara melalui hukum positif yang ada dan hak karbon yang timbul dari hak bawaan yang melekat pada masyarakat adat berkontestasi dalam wilayah proyek yang ada. Kontestasi berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik hukum maupun konflik sosial baru dilapangan.

Permenhut No. 36 Tahun 2009 meretas jalan tengah yang diaharapkan dapat menyelesaikan masalah tersebut yaitu dengan membuat perhitungan/ perimbangan pembagian hasil dari Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L) RAP-KARBON dan/atau PAN-KARBON yang merupakan pendapatan dari penjualan kredit karbon yang telah disertifikasi dan dibayar berdasarkan ERPA (Emission Reduction Purchase Agrement). Namun sayangnya, jalan tengah ini tidak didasarkan pada logika pembagi dan jaminan perlindungan hak karbon masyarakat adat jauh sejak proyek REDD ini dipersiapkan.

[Non-text portions of this message have been removed]

Tidak ada komentar: