Sebagai negara anggota Asia Pacific Fisheries Commission – Food and Agriculture Organization (APFIC-FAO), Indonesia pada dasarnya harus menganut prinsip-prinsip Ecosystem Approach Fisheries (EAF) dan Ecosystem Aquaculture Approach (EAA) atau pembangunan perikanan dan akuakultur dengan pendekatan berbasis ekosistem. Hal tersebut teungkap dalam hasil Regional Consultative Workshop yang diselenggarakan oleh APFIC-FAO di Colombo, Srilanka beberapa waktu lalu.
Pertemuan yang dibuka oleh Menteri Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Republik Srilanka ini bertujuan untuk menyusun suatu strategi pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan mampu meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha. Untuk pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintahan, dengan adanya pertemuan ini diharapkan mampu mengubah kebijakan perikanan yang semula hanya berorientasi target spesies, berubah kepada perikanan yang memperhatikan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.
Selain Indonesia pertemuan ini juga diikuti oleh perwakilan dari negara-negara Asia Pacific seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, Philiphina, India, Bangladesh, Pakistan, Maldives, Srilanka, Jepang, Myanmar, Nepal dan organisasi-organisasi perikanan regional. Masing-masing negara peserta menyampaikan mengenai pengelolaan perikanan yang telah dilakukan terkait dengan penerapan EAF dan EAA.
Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Dr. Suseno Sukoyono beserta perwakilan negara anggota APFIC lainnya dikelompokkan dalam tiga Group besar yaitu: Bay of Bengal Large Marine Ecosystem (BOBLME), Aquaculture dan South China Sea . Dalam Group tersebut dibahas mengenai langkah-langkah penerapan EAF dan EAA yang secara garis besar dibagi menjadi 5 langkah yakni mengumpulkan data-data mengenai daerah yang akan diterapkan EAF dan EAA, melakukan identifikasi permasalahan dengan mengkalrifikasi permasalahan yang ada, menerapkan prioritas utama masalah yang dihadapi, penyiapan rencana pengelolaan EAF/EAA yang terintegrasi dan yang terakhir, yaitu menyusun rencana pengelolaan untuk 3 masalah prioritas yaitu Ecological well-being, Human well-being dan Governance atau pertimbangan ekologis, pertimbangan untuk kesejahteraan umat manusia serta penataan atau pengelolaan sumberdaya perairan yang baik.
Dengan aktifnya Indonesia di APFIC-FAO, serta dalam berbagai organisasi regional (RFMO) seperti IOTC, dan CCSBT, maka semakin menunjukan komitmen negara ini kepada pembangunan yang memperhatikan aspek ekologis yang berkelanjutan (sustainability). Selanjutnya harus ada pemantauan yang lebih positif secara nasional yakni memprioritaskan penelitian status sumberdaya perairan (stock assasment), pengaturan yang tegas, bila perlu ada penetapan musiman atau pada wilayah tertentu. Di negara lain juga sudah mulai ditetapkan pembelian kapal nelayan oleh pemerintah untuk mengarungi jalur kapal yang sudah berlatih.
Segala penertiban tersebut harus dibarengi dengan pemantauan dan pengawasan, dan tentu saja perlu langkah-langkah yang serius memangkas adanya pungutan liar dan tindak pidana korupsi di segala lini.
Jakarta, Juni 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
Pertemuan yang dibuka oleh Menteri Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Republik Srilanka ini bertujuan untuk menyusun suatu strategi pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan mampu meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha. Untuk pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintahan, dengan adanya pertemuan ini diharapkan mampu mengubah kebijakan perikanan yang semula hanya berorientasi target spesies, berubah kepada perikanan yang memperhatikan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.
Selain Indonesia pertemuan ini juga diikuti oleh perwakilan dari negara-negara Asia Pacific seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, Philiphina, India, Bangladesh, Pakistan, Maldives, Srilanka, Jepang, Myanmar, Nepal dan organisasi-organisasi perikanan regional. Masing-masing negara peserta menyampaikan mengenai pengelolaan perikanan yang telah dilakukan terkait dengan penerapan EAF dan EAA.
Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Dr. Suseno Sukoyono beserta perwakilan negara anggota APFIC lainnya dikelompokkan dalam tiga Group besar yaitu: Bay of Bengal Large Marine Ecosystem (BOBLME), Aquaculture dan South China Sea . Dalam Group tersebut dibahas mengenai langkah-langkah penerapan EAF dan EAA yang secara garis besar dibagi menjadi 5 langkah yakni mengumpulkan data-data mengenai daerah yang akan diterapkan EAF dan EAA, melakukan identifikasi permasalahan dengan mengkalrifikasi permasalahan yang ada, menerapkan prioritas utama masalah yang dihadapi, penyiapan rencana pengelolaan EAF/EAA yang terintegrasi dan yang terakhir, yaitu menyusun rencana pengelolaan untuk 3 masalah prioritas yaitu Ecological well-being, Human well-being dan Governance atau pertimbangan ekologis, pertimbangan untuk kesejahteraan umat manusia serta penataan atau pengelolaan sumberdaya perairan yang baik.
Dengan aktifnya Indonesia di APFIC-FAO, serta dalam berbagai organisasi regional (RFMO) seperti IOTC, dan CCSBT, maka semakin menunjukan komitmen negara ini kepada pembangunan yang memperhatikan aspek ekologis yang berkelanjutan (sustainability). Selanjutnya harus ada pemantauan yang lebih positif secara nasional yakni memprioritaskan penelitian status sumberdaya perairan (stock assasment), pengaturan yang tegas, bila perlu ada penetapan musiman atau pada wilayah tertentu. Di negara lain juga sudah mulai ditetapkan pembelian kapal nelayan oleh pemerintah untuk mengarungi jalur kapal yang sudah berlatih.
Segala penertiban tersebut harus dibarengi dengan pemantauan dan pengawasan, dan tentu saja perlu langkah-langkah yang serius memangkas adanya pungutan liar dan tindak pidana korupsi di segala lini.
Jakarta, Juni 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar