12 Juni, 2009

Neoliberalisme di Kelautan dan Perikanan

Oleh Muhammad Karim*

Paham neoliberalisme menggurita secara masif dalam perekonomian dunia sejak Amerika Serikat mengeluarkan paket Konsensus Washington (Washington Consencus) yang disederhanakan Stiglitz menjadi (i) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi, (ii) liberalisasi sektor keuangan, (iii) privatisasi BUMN yang dibarengi kebijakan regulasi dan deregulasi, dan (iii) liberalisasi perdagangan.

Kebijakan privatisasi di sektor kelautan dan perikanan diawali dari kebijakan regulasi dan deregulasi yang merugikan nelayan dan masyarakat pesisir. Ini tergambar dari UU No 31 Tahun 2004 yang berwajah industrialisasi. Terdapat beberapa pasal kontroversial yang meminggirkan hak-hak nelayan tradisional dan menutup akses masyarakat pesisir (nelayan tradisional) yakni (i) Pasal 29 Ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia dan (ii) Pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal.

Selain itu, UU No 27 Tahun 2007 yang memprivatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang ”memperparah” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumber daya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut. Simaklah pula UU No 25 Tahun 2007 Penanaman Modal dan UU No 7 Tahun 2004 yang memprivatisasi sumber daya air. Betapa pihak asing diperbolehkan menguasai lahan di daratan dan wilayah pesisir yang jelas akan menggusur petani tambak, mematikan aktivitas pertambakan yang memanfaatkan air yang bersumber dari muara sungai, delta maupun estuari. UU Pelayaran juga memberikan domain yang besar pada pihak asing untuk menguasai transportasi laut di Indonesia.

Liberalisasi perdagangan memberlakukan sistem tarif dan nontarif yang tak adil. Di sektor perikanan negara maju komoditasnya semisal udang dan ikan tuna adalah sertifikasi, isu lingkungan, HAM dan UU The Bioterorrisme Act di USA, penerapan sanitary dan phitosanitary yang dikendalikan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization) . Operator WTO adalah negara-negara maju Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Italia, Prancis, Inggris dan Jerman.  

Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945
Pengambilalihan pengelolaan kawasan konservasi laut oleh lembaga-lembaga internasional The Nature Conservation (TNC), World Wild Foundation (WWF) dan Conservation International (CI) dalam skema CTI sebenarnya bertentangan dengan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan peran negara sebagai pengelola utama kekayaan alam dalam bumi dan air.. Anehnya, pemerintah bangga dengan model ini yang jelas-jelas menggusur nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Kasus di Taman Nasional Komodo adalah fakta empiris dan korban terbaru masyarakat Lamalera akibat penetapan kawasan konservasi laut Sawu. Bersamaan dengan itu terjadi pula penguasaan sekaligus pengelolaan pulau-pulau kecil (PPK) sebagai daerah wisata oleh asing seumpama resor di Pulau Bintan yang dimiliki orang-orang kaya Singapura.

Kebijakan anggaran ketat yang diberlakukan pemerintah menyebabkan anggaran sektor kelautan dan perikanan tak lebih dari Rp 3 triliun (DKP, 2008), sehingga disuplai dari utang luar negeri. Pemerintah kemudian menerima tawaran lembaga-lembaga keuangan internasional untuk membiayai proyek-proyek structural adjustment dengan dalih mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, mengonservasi sumber daya kelautan dan pulau-pulau kecil (terumbu karang, lamun) melalui Coral Triangle Inisiative (CTI) dan yang sebelumnya Coral Reef and Management Programe (COREMAP), Marine and Coastal and Resources and Management Project (MCRMP), Co-Fish, Proyek Pesisir (1996-2006) dan Sustaibanle Aquaculture Development and Poverty Reduction Project (Damanik, 2009), yang dananya bersumber dari Asian Development Bank (ADB). Parahnya lagi pemerintah mencabut subsidi BBM bagi nelayan tradisional yang mengoperasikan kapal yang kapasitasnya 5-10 GT. Padahal, BBM menempati 50% dari operasional penangkapan. Pelbagai kasus di atas membuktikan paham neoliberalisme juga merambah sektor kelautan dan perikanan.

Perlu kebijakan serius yang menyangkut hajat hidup rakyat di wilayah pesisir dan memajukan kelautan kita. Pertama, negara wajib melindungi dan memberikan hak akses bagi nelayan tradisional maupun nelayan buruh dalam mengelola wilayah tangkapannya, terutama dari serbuan kapal asing ilegal dan dampak perubahan iklim global (global climate change) yang sekarang mengancam dunia.

”Affirmative Policy”
Kedua, melakukan reformasi agraria yaitu (i) reformasi agraria wilayah pesisir (land coastal reform) bagi petani tambak dan ikan serta bagi masyarakat pulau kecil yang ingin mengelola dan memanfaatkan pulau kecil sebagai daerah wisata. Pengelolaan bertumpu masyarakat ini akan lebih baik dikembangkan melalui kelembagaan koperasi. Bila melibatkan swasta sebaiknya melalui BUMN/BUMD atau firma yang sahamnya sebagian dimiliki masyarakat. Hal ini sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Ketiga, pemerintah perlu menetapkan harga dasar ikan dan komoditas laut lainnya di tingkat nasional maupun daerah. Ini memberi jaminan pendapatan bagi nelayan selama melakukan proses penangkapan maupun budi daya di pesisir maupun di laut. Keempat, merevitalisasi dan menghidupkan model-model konservasi berbasis hukum adat dan kearifan lokal, seperti Sasi di Maluku, Seke dan Mane’e di Minahasa, dan Gamson di Papua. Tak perlu melibatkan lembaga internasional yang motivasinya tak jelas apakah menyelamatkan lingkungan dan sumber dayanya, atau malah ingin menguasai? Mengapa mereka tak mengonservasi kawasan yang sudah rusak seperti Taman Nasional Teluk Jakarta, tapi justru Raja Ampat, Derawan, dan Laut Sawu yang masih alamiah dengan biodiversitas tinggi?

Kelima, mengamendemen atau membatalkan peraturan perundangan yang menggusur hak- hak masyarakat pesisir dan merampok sumber kehidupan mereka di lautan maupun di wilayah pesisir. Keenam, memformulasikan politik anggaran (APBN/APBD) dan moneter yang lebih mencerminkan sektor riil perikanan yang tidak bersumber dari utang luar negeri. Anggaran ini diperuntukkan membangun infrastruktur berupa pasar alternatif nelayan, pelabuhan perikanan dan pengadaan armada nelayan tradisional. Negara juga menjamin nelayan tradisional untuk mendapatkan akses permodalan sehingga ada affirmative policy yang jelas.

Ketujuh, memberikan subsidi BBM guna melindungi berlangsungnya kehidupan nelayan tradisional. Bolivia dan Venezuela berani mengalokasikan 10% pendapatan minyak bumi dan gas (MIGAS)-nya guna menyubsidi petani, nelayan serta pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Mengapa kita takut WTO yang sudah gagal menyejahterakan rakyat miskin di seluruh dunia?

*Muhammad Karim adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Tidak ada komentar: