ARTA — Kerugian negara akibat illegal fishing atau pencurian ikan oleh nelayan asing mencapai Rp 30 triliun setiap tahun. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, pencurian ikan marak karena negara asal nelayan asing itu memiliki industri perikanan tapi kekurangan pasokan bahan baku. “Kalau mereka tak bisa mendapatkannya melalui kerja sama (legal), alternatifnya mereka mencuri di Indonesia,” kata Freddy seusai meneken nota kesepahaman dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji di Kejaksaan Agung kemarin.
Freddy menjelaskan, untuk mengurangi tindak pidana kejahatan itu, pemerintah menambah syarat dalam izin penangkapan ikan di perairan Nusantara. Pemerintah meminta negara asal nelayan membuka industri pengolahan ikan di Indonesia. “Kapal mereka harus mendaratkan ikannya dulu,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan, Adji Sularso, menuding Thailand sebagai negara yang mencuri ikan paling banyak. Kendati pada tahun lalu kapal Vietnam paling banyak tertangkap, kata dia, “Kerugian paling besar disebabkan ulah nelayan Thailand.”
Adji menambahkan, selain menambah syarat dalam perizinan, untuk mengurangi maraknya pencurian ikan, departemennya menyiapkan sejumlah perangkat di bidang hukum. Di antaranya, menambah jumlah pengadilan perikanan. Saat ini pengadilan perikanan hanya ada di Jakarta Utara, Pontianak, Bitung, Medan, dan Tual. Departemen, kata dia, mengusulkan agar pengadilan khusus itu juga dibuka di Rane, Tanjung Pinang, dan Timika.
Adji menyatakan, dengan adanya nota kesepahaman antara Departemen Kelautan dan Kejaksaan, waktu penyidikan kasus kejahatan perikanan bisa dipersingkat. Sebab, kata dia, jaksa dilibatkan sejak awal penyidikan. “Tak akan ada lagi bolak-balik perkara dari penyidik ke jaksa,” ujarnya.
Dia melanjutkan, proses hukum yang cepat itu juga bisa menutup celah bagi tersangka lolos dari celah hukum. Menurut dia, lamanya proses penyidikan hingga penuntutan kerap dimanfaatkan tersangka melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan praperadilan. “Kalau mereka menang, kasus berhenti,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, dalam Rancangan Undang-Undang Perikanan yang sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah mengusulkan agar pelaku illegal fishing dijerat dengan pasal pidana money laundering atau pencucian uang. Meski, kejahatan perikanannya sulit dibuktikan.
Saat ini, kata dia, penyidikan kejahatan pencucian uang menemui jalan buntu bila tindak pidana pokoknya tak terbukti. ”Nantinya, penyidik bisa melakukan penyidikan tindak pidana ikutan, seperti pencucian uang, dalam waktu bersamaan,” ujar Hendarman. ANTON SEPTIAN
http://www.korantem po.com
Freddy menjelaskan, untuk mengurangi tindak pidana kejahatan itu, pemerintah menambah syarat dalam izin penangkapan ikan di perairan Nusantara. Pemerintah meminta negara asal nelayan membuka industri pengolahan ikan di Indonesia. “Kapal mereka harus mendaratkan ikannya dulu,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan, Adji Sularso, menuding Thailand sebagai negara yang mencuri ikan paling banyak. Kendati pada tahun lalu kapal Vietnam paling banyak tertangkap, kata dia, “Kerugian paling besar disebabkan ulah nelayan Thailand.”
Adji menambahkan, selain menambah syarat dalam perizinan, untuk mengurangi maraknya pencurian ikan, departemennya menyiapkan sejumlah perangkat di bidang hukum. Di antaranya, menambah jumlah pengadilan perikanan. Saat ini pengadilan perikanan hanya ada di Jakarta Utara, Pontianak, Bitung, Medan, dan Tual. Departemen, kata dia, mengusulkan agar pengadilan khusus itu juga dibuka di Rane, Tanjung Pinang, dan Timika.
Adji menyatakan, dengan adanya nota kesepahaman antara Departemen Kelautan dan Kejaksaan, waktu penyidikan kasus kejahatan perikanan bisa dipersingkat. Sebab, kata dia, jaksa dilibatkan sejak awal penyidikan. “Tak akan ada lagi bolak-balik perkara dari penyidik ke jaksa,” ujarnya.
Dia melanjutkan, proses hukum yang cepat itu juga bisa menutup celah bagi tersangka lolos dari celah hukum. Menurut dia, lamanya proses penyidikan hingga penuntutan kerap dimanfaatkan tersangka melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan praperadilan. “Kalau mereka menang, kasus berhenti,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, dalam Rancangan Undang-Undang Perikanan yang sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah mengusulkan agar pelaku illegal fishing dijerat dengan pasal pidana money laundering atau pencucian uang. Meski, kejahatan perikanannya sulit dibuktikan.
Saat ini, kata dia, penyidikan kejahatan pencucian uang menemui jalan buntu bila tindak pidana pokoknya tak terbukti. ”Nantinya, penyidik bisa melakukan penyidikan tindak pidana ikutan, seperti pencucian uang, dalam waktu bersamaan,” ujar Hendarman. ANTON SEPTIAN
http://www.korantem po.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar