28 Maret, 2009

Menimbang Kembali Pembangunan Kepulauan Mengubah Paradigma Pulau Besar

Oleh : Widi A. Pratikto dan Daniel M. Rosyid *

Krisis ekonomi global saat ini yang terbukti lebih parah daripada Depresi 1930-an dan krisis ekonomi 1997 memerlukan respons sungguh-sungguh secara mendasar. Walaupun stimulus fiskal penting, ini bersifat jangka pendek dan ad hoc.

Krisis ini dapat dibaca sebagai peluang untuk menimbang kembali paradigma pembangunan nasional kita. Di samping kita perlu menimbang kembali sistem ekonomi kapitalistik yang kedodoran saat ini, kita juga perlu menimbang kembali paradigna pembangunan "pulau besar" (benua) yang kita warisi dari Belanda dan kita gunakan sampai sekarang.

Belanda berhasil menjajah Indonesia hingga 300 tahun lebih dengan melalukan politik devide at impera melalui pemaksaan paradigma "pulau besar" ini. Paradigma itu berciri inward-looking, statis, agraris, dan laut dianggap penuh misteri yang menakutkan. Indonesia menjadi sekadar kumpulan "pulau-pulau besar" yang terpisah-pisah sehingga mudah ditaklukkan. Namun, segera perlu dicatat bahwa seperti juga pilihan individualitas dan sosialitas bukanlah pilihan yang eksklusif secara mutual, pilihan paradigma pulau besar dan paradigma "kelautan" juga bukan dua pilihan eksklusif secara mutual.

Jika pardigma pulau besar menggambarkan cara pandang manusia yang seolah tidak pernah melihat laut, paradigma kelautan adalah paradigma water world, yakni paradigma manusia yang tidak pernah melihat darat. Paradigma kelautan itu tidak realistis karena manusia akan tetap menjadi makhluk daratan. Paradigma kelautan yang telah diupayakan sebagai antitesa selama 10 tahun terakhir ini terbukti tidak dapat diterima oleh banyak pihak di Indonesia karena kita bergerak kesisi ekstremitas yang lain.

Paradigma kepulauan ialah paradigma "jalan tengah" yang menyeimbangkan dimensi "pulau besar" dan water world, namun lebih inklusif, cukup dinamis, dan lebih outward looking dibandingkan dengan paradigma "pulau kecil" (paradigma Robinson Crusoe) yang isolasionis, tertutup, tidak ramah kepada pendatang, dan in-breeding.

Ketegangan Kreatif
Paradigma kepulauan juga memanfaatkan ketegangan kreatif antara paradigma pulau besar dan paradigma kelautan. Dari segi instrumen perumusan kebijakan pembangunan, paradigma kepulauan memiliki implikasi dinamika sistem dan gaming yang berbeda. Interaksi dan kecepatan proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan politik negara kepulauan dengan keragaman yang amat kaya memerlukan kerangka pemahaman baru dan lebih segar dari kerangka "pulau besar" ataupun "kelautan" yang kita kenal saat ini.

Paradigma pulau besar saat ini terbukti tidak cocok bagi Indonesia. Suprastruktur nasional kita gagal membangun kapasitas memerintah di laut kepulauan secara efektif. Saat ini banyak pulau kecil di Indonesia yang merupakan kantong-kantong kemiskinan. Beberapa pulau terluar bahkan terancam lepas ke negara tetangga karena kita gagal melakukan pendudukan yang efektif atas pulau-pulau tersebut. Laut yang tidak dikelola dengan baik bahkan tempat beragam tindak kejahatan seperti pembajakan di laut, illegal fishing, mining, trafficking, bahkan pembuangan limbah beracun. Laut "tak bertuan" itu juga mengurangi kepercayaan internasional atas kemampuan Indonesia menangani berbagai kecelakaan di laut yang membutuhkan kapasitas search and rescue yang memadai.

Setelah prinsip-prinsip negara kepulauan yang dideklarasikan Ir Djuanda pada 1957 diterima oleh UNCLOS pada 1982 melalui perjuangan panjang Muchtar Kusumatmaja dan at Hasyim Jalal, luas wilayah Indonesia bertambah secara amat berarti melalui pertambahan luasan laut dan perairan yang merupakan bagian kedaulatan dan kewenangan pemerintah RI. Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi seluas Eropa dengan bentangan seluas London hingga Istanbul. Implikasi dari penerimaan UNCLOS itu belum sepenuhnya disadari banyak kalangan, termasuk para pengambil keputusan strategis di berbagai bidang.

Kepulauan adalah satu kesatuan ruang gugusan pulau beserta laut di antaranya. Sumber daya kepulauan adalah sumberdaya pulau, pesisir, dan laut, serta dasar dan bawah laut. Untuk memanfaatkan sumber daya alam kepulauan diperlukan infrastruktur transportasi laut dan udara yang memadai agar kegiatan di kepulauan dapat dilakukan dengan aman dan efektif. Kebijakan yang mendorong pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kepulauan (antara lain, small craft tecnology, teknologi energi terbarukan dan air bersih, serta pengembangan indutrinya akan menentukan keberhasilan kita memanfaatkan sumber daya kepulauan bagi kesejahteraan masyarakat. Sayang, sampai saat ini infrastruktur iptek kepulauan yang diperlukan Indonesia masih jauh dari memadai.

Dari aspek legal, negara kepulauan Indonesia telah ditegaskan dalam UUD '45 yang diamandemen, kemudian dilengkapi engan produk perundang-undangan yang mendukung pengelolaan sumber daya kepulauan.

Produk perundang-undangan tersebut, antara lain, UU No 17/1985 tentang UNCLOS, UU No 31/2004 tentang Perikanan, dan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU 17/2008 tentang Pelayara nasional.

Segera harus dicatat bahwa masih banyak regulasi dan aturan pelaksanaan yang dibutuhkan untuk mengelola sumberaya kepulauan Indonesia secara efektif.

Tantangan lain dalam pengembangan kepulauan adalah kerawanan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap bencana alam dan perubahan iklim global. Kenaikan permukaan air laut dan bencana tsunami telah menjadi ancaman bagi lingkungan hidup di wilayah-wilayah tersebut.

Kondisi itu membutuhkan pendekatan yang komprehensif untuk menciptakan tata ruang wilayah kepulauan yang mampu menjamin kelestarian sumber daya, aktivitas manusia, dan infrastruktur yang dibangun.

Krisis global yang memengaruhi Indonesia saat ini perlu direspons dengan sikap yang lebih sungguh-sungguh dan mendasar melalui paradigma pembangunan nasional yang dipijakkan pada takdir alamiah bangsa ini sebagai negara kepulauan. Jika kita hanya terjebak pada skema stimulus fiskal belaka, kita bakal kehilangan sebuah peluang besar membuat terobosan strategis di tengah krisis.

*. Widi A. Pratikto PhD dan Daniel M. Rosyid PhD, masing-masing Sekjen Departemen Kelauatan dan Perikanan dan dosen teknik Kelautan ITS, Surabaya




Tidak ada komentar: