07 Februari, 2009

PUKAT HELA ANTARA PRO DAN KONTRA


Keluarnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 06 Tahun 2008 menyisakan masalah; karena berkembang perbedaan wacana yang tentu saja didasari argumentasinya masing-masing. Apakah aturan tersebut perlu ditunda karena mengundang ”pro-kontra” keberadaannya jika dikaitkan dengan Keppres No.39 Tahun 1980 ?

Trawl si pukat harimau dilarang
Mengapa trawl (pukat harimau) dilarang sejak tahun 1980 ?; pertama; berkaitan pembinaan sumber daya ikan (SDI); penggunaan yang tidak terkendali berdampak negatip pada kelestarian. Dengan mesh size (mata jaring) kecil maka ikan/udang berbagai ukuran tertangkap tanpa batasan. Diharapkan dengan kebijakan hapusnya trawl maka hasil tangkapan nelayan tradisional meningkat. Kedua, menghindarkan ketegangan sosial antara nelayan tradisional dan pengguna kapal trawl; karena alat tangkap (statis) milik nelayan di fishing ground nya rusak terseret trawl; ditambah kesenjangan perolehan hasil. Dua hal mendasar inilah yang digunakan bahan pertimbangan Keppres No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl; yang ditanda tangani tanggal 1 Juli 1980. Negara tetangga heran atas kebijakan tersebut; karena dengan alat produktif seperti trawl ini akan menunjang kebutuhan pangan ikani maupun devisa negara utamanya berasal dari komoditas udang. Keputusan presiden ini sebenarnya menguntungkan karena peluang memanfaatkan SDI lebih besar; sebab kebijakan itu dibarengi dengan mengucurnya Kredit Keppres No.39 Tahun 1980 dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas usaha nelayan tradisional; namun buntutnya justru menimbulkan masalah karena tidak tepat mutu dan sasarannya.

 Membuka klipping media cetak sejak larangan trawl dikeluarkan, ternyata pelanggaran penangkapan ikan; khusus yang menggunakan trawl mencapai puncak tahun 2001- 2002 seiring berkembangnya modifikasi alat tangkap jaring kantong mirip trawl atau trawl mini inilah penyebab utama keresahan dan konflik nelayan. Keresahan meluas dengan beroperasinya trawl mini di beberapa daerah, penggunaan bahan peledak, serta adanya rasa memiliki perairan laut dampak pemahaman makna otonomi daerah yang berbeda. Modifikasi jaring berkantong hasil kreasi nelayan, membuat semakin rancu keadaan; walaupun sebenarnya sudah ada Kepmentan No.503/Kpts/ Um/7/1980 memberi pengertian spesifikasi jaring trawl, yang kemudian secara rinci dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: IK.340/DJ.10106/97 sebagai petunjuk pelaksanaan. Dengan adanya batasan jaring berkantong yang boleh beroperasi; menimbulkan akal-akalan guna menghindari pelanggaran atas persyaratan yang ditetapkan; alhasil konflik tak pernah henti. Apakah masalah ini salah satu pemicu wacana menghalalkan trawl beroperasi kembali.........??

Wacana meninjau penghapusan trawl mengemuka tahun 1999, di saat Menteri Pertanian selaku penanggung jawab sektor perikanan waktu itu berjanji akan meninjau Keppres No. 39 Tahun 1980 dalam rapat kerja Komisi III DPR RI; pernyataan yang cukup menarik, dan memberi harapan berkembangnya usaha penangkapan ikan nelayan tradisional (Tribawono,1999). Ternyata apa yang dijanjikan tidak gampang pelaksanaannya, karena banyak pihak menyatakan ”tidak setuju” membuka kran beroperasinya trawl di republik ini. Perlu pertimbangan matang dari para stakeholders sehingga hasil analisis kebijakan publik yang akan diwujudkan legalitas berdampak positif bagi nelayan tradisional; bukannya malah memberi peluang lebih besar kepada mereka yang bermodal kuat.

Antara pro dan kontra 
Permen Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara; ditanda tangani Menteri Freddy Numberi 28 Pebruari 2008. Pukat hela kata lain trawl adalah semua jenis alat penangkapan ikan berbentuk jaring berkantong, berbadan dan bersayap yang dilengkapi pembuka jaring yang dioperasikan dengan cara ditarik/dihela menggunakan satu kapal yang bergerak. (SNI 01-7232-2006 dan SNI 7277.5:2008). Dalam ketentuannya pukat hela hanya boleh beroperasi pada perairan yang membentang dari perairan Kodya Tarakan dengan koordinat 30010’ LU hingga perairan terluar Pulau Sebatik, meliputi Kab. Nunukan, Kab. Bulungan, Kab. Tana Tidung dan Kodya Tarakan. Daerah Operasi. Jalur I ( antara 1 – 4 mil laut ), untuk kapal ukuran sampai dengan 5 GT yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Sedang pada Jalur II yaitu lebih dari 4 sampai 12 mil laut untuk kapal ukuran sampai dengan 30 GT menjadi kewenangan propinsi. Hasil tangkapan wajib didaratkan di PPI Sebatik, PPI Pulau Bunyu, PPP Tarakan, atau di Pelabuhan Perikanan Mansapa Nunukan. Ini dimaksudkan agar berdampak positip terhadap perkembangan perekonomian daerah. Selain itu, akan memudahkan pemantauan/pengumpulan data yang dapat digunakan sebagai.bahan acuan menentukan kebijakan selanjutnya.

Rupanya Permen KP banyak dikritisi sesuai argumentasi masing-masing sehingga timbul kelompok pro-kontra pelaksanaannya. Ada yang menolak mentah-mentah karena masih banyak kebijakan-kebijakan formal lain atas dasar kelestarian SDI dan lingkungan hidup; serta terkait konflik sosial dan ekonomi. Argumen ini ada yang menganggap sebagai alasan kurang tepat dan sangat mengada-ada sehingga tidak tepat jika Permen KP ditentang keberadaannya. Secara kesejarahan keluarnya Permen KP dilatar belakangi usulan Bupati Bulungan, Berau, Malinau, Nunukan dan Walikota Tarakan; Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pernah mengusulkan agar secepatnya merealisasikan peraturan khusus dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan perikanan di perbatasan. HNSI Kalimantan Timur menyampaikan aspirasinya langsung ke DPR RI agar pemerintah melegalkan pukat hela khusus di wilayah perairan Kalimantan Timur bagian Utara. Artinya kebijakan pukat hela ini juga merupakan kehendak masyarakat lokal dalam memanfaatkan SDI untuk kesejahteraan.

Alih alih mengumpulkan argumentasil tentu saja menjadi setumpuk dokumen yang semua berada pada kisi-kisi pembenaran dalam mengkritisi Permen KP. Kalau posisi seperti ini terus berlanjut, kapan lagi republik ini mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan SDI perbatasan yang dirampok nelayan asing. Kiranya tidak perlu lah adu argumentasi berkepanjangan; supaya tidak menebar konflik antara yang mengusulkan legalitas pukat hela dengan kelompok yang tidak menghendakinya. Seyogyanya kita perlu positive thinking bahwasanya kebijakan publik tersebut keluar demi kebaikan; apabila ada yang berpendapat lain itu hal yang lumrah terjadi dan merupakan pernik-pernik dampak yang harus diterima oleh pembuat kebijakan; siapa tahu perkembangannya kemudian adalah benar bahwa kebijakan legalisasi pukat hela kurang tepat dikeluarkan sekarang..

Launching dulu baru evaluasi 
Ibaratnya Permen KP ini baru di launching sudah dibombardir bermacam kehendak yang satu sama lain berbeda dasar pemikiran. Apakah harus “dibunuh” sebelum tumbuh dan berkembang ? Karena Pasal 15 menyatakan bahwa “Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan” dan disisi lain Keppres No.39/1980 pun belum dicabut. Senyampang pukat hela hanya boleh di perairan Kalimantan Timur bagian utara berarti ada “keistimewaan”; jadi terus akan bukan berlaku secara nasional; andaikan khalayak berpikiran pukat hela dilegalisasi secara nasional maka kita tunggu saja pasti akan muncul Keppres No.39/1980 jilid dua.................

Selanjutnya jika dicermati; Pasal 14 menyebutkan “Penggunaan kapal pukat hela di Kalimantan Timur bagian utara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dievaluasi setgiap tahun oleh Direktur Jenderal dan hasilnya dilaporkan secara tertulis kepada Menteri”; pasal ini memberi isyarat jika Permen KP 06/2008 menjadi tidak bermanfaat bagi bangsa dan negara niscaya bukannya tidak mungkin kebijakan iini akan ditinjau dikemudian hari. Semua pihak perlu saling menahan diri dan harus “mengawal” implementasinya berkaitan dengan pengawasan dan pengendalian SDI Para stakeholders sesuai peran, fungsi dan kepentingan masing-masing harus mentaati apa yang sudah ditetapkan dalam Permen KP; perizinan harus sesuai persyaratan dan alokasi yang ditetapkan, jangan sampai terjadi over dosis izin yang dikeluarkan ; demikian pula halnya pengguna pukat hela harus taat hukum dalam pelaksanaannya;. Diharapkan Permen KP No.06/2008 merupakan roh nya masyarakat perikanan mulai sadar hukum demi usaha perikanan bertanggung jawab dan berkelanjutan. Mari lah kita menunggu hasil evaluasi pelaksanaannya sehingga peraturan ini benar-benar menjadi titik balik meningkatkan produksi sekaligus mengamankan illegal fishing di perbatasan. Dalam hal ini tingkatkan peran serta nelayan dalam kelompok SISWASMAS (sistem pengawasan masyarakat) membantu aparat berwenang karena menjadi faktor kunci mengawal kebijakan pemerintah demi kesejahteraan nelayan tradisional.

Penulis :
Djoko Tribawono
Alumnus Perikanan UGM
Dosen (LB) Fak. Perikanan dan Kelautan UNAIR



Tidak ada komentar: