JAKARTA - Sejak ditemukan sepuluh tahun yang lalu di perairan Manado Tua, Sulawesi, Ikan Raja Laut atau yang lazim disebut Coelacanth, membuat nama Indonesia menjadi buah bibir di kalangan peneliti ikan di seluruh dunia, khususnya ikan purba.
Menurut Peneliti Bidang Oceanografi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Augy Syahailatua PhD, ikan ini baru ditemukan di negara-negara Afrika Timur seperti Kenya, Madagaskar, Tanzania, Kongo, dan Mozambik, serta di Indonesia. Oleh karena itu keberadaanya perlu dilindungi sebagai satwa langka dari kepunahan maupun tindak pencurian.
“Untunglah sejak tahun 1999 sudah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 yang melarang ikan ini dijadikan sebagai komoditas yang diperjual-belikan secara bebas,” ujar Augy, dalam workshop mengenai Coelacanth di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (16/12).
Selain itu, keberadaan Coelacanth juga dilindungi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (Cites) secara hukum internasional. “Jadi misalkan ada pihak asing yang membeli Coelacanth secara ilegal dari Indonesia, bila ketahuan, maka kami akan usut dan memintanya untuk mengembalikannya ke Indonesia,” katanya.
Coelacanth, sebelumnya dikenal orang hanya sebagai fosil Ikan yang banyak ditemukan di daratan Eropa, Namun sejak Ikan ini ditemukan di perairan Comoros, banyak orang berpendapat bahwa ikan ini masih ada. Di Indonesia awal kabar ikan ini berasal dari laporan Dr. Mark V. Erdmann, peneliti dari Universitas of California Berkeley, Amerika Serikat, yang menjumpai di Pasar Bersehati, Manado, dalam keadaan mati.
“Setahun kemudian seorang nelayan di Manado secara kebetulan menangkap seekor Coelacanth, yang kemudian dibawa dan diawetkan di Museum Zoologi LIPI di Bogor. Dalam rentang 2008 ini, sudah empat spesimen ditemukan di Perairan Sulawesi, khususnya, Sulawesi bagian utara,” lanjutnya.
sumber: Kompas
Menurut Peneliti Bidang Oceanografi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Augy Syahailatua PhD, ikan ini baru ditemukan di negara-negara Afrika Timur seperti Kenya, Madagaskar, Tanzania, Kongo, dan Mozambik, serta di Indonesia. Oleh karena itu keberadaanya perlu dilindungi sebagai satwa langka dari kepunahan maupun tindak pencurian.
“Untunglah sejak tahun 1999 sudah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 yang melarang ikan ini dijadikan sebagai komoditas yang diperjual-belikan secara bebas,” ujar Augy, dalam workshop mengenai Coelacanth di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (16/12).
Selain itu, keberadaan Coelacanth juga dilindungi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (Cites) secara hukum internasional. “Jadi misalkan ada pihak asing yang membeli Coelacanth secara ilegal dari Indonesia, bila ketahuan, maka kami akan usut dan memintanya untuk mengembalikannya ke Indonesia,” katanya.
Coelacanth, sebelumnya dikenal orang hanya sebagai fosil Ikan yang banyak ditemukan di daratan Eropa, Namun sejak Ikan ini ditemukan di perairan Comoros, banyak orang berpendapat bahwa ikan ini masih ada. Di Indonesia awal kabar ikan ini berasal dari laporan Dr. Mark V. Erdmann, peneliti dari Universitas of California Berkeley, Amerika Serikat, yang menjumpai di Pasar Bersehati, Manado, dalam keadaan mati.
“Setahun kemudian seorang nelayan di Manado secara kebetulan menangkap seekor Coelacanth, yang kemudian dibawa dan diawetkan di Museum Zoologi LIPI di Bogor. Dalam rentang 2008 ini, sudah empat spesimen ditemukan di Perairan Sulawesi, khususnya, Sulawesi bagian utara,” lanjutnya.
sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar