Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar sebesar Rp 300-Rp 500 per liter tidak efektif membantu nelayan tradisional. Hal itu disebabkan sarana penyalur BBM nelayan masih minim sehingga nelayan kini terjerat untuk membeli BBM eceran berharga mahal.
Demikian dikemukakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik di Jakarta, Selasa (9/12).
Alokasi BBM yang tidak memadai dan merata di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil selama ini menyebabkan masyarakat terbebani membeli BBM eceran dengan harga 30-300 persen lebih mahal ketimbang harga resmi yang dipatok pemerintah.
"Penurunan harga BBM jenis premium dan solar tidak memberikan dampak yang signifikan bagi pembenahan ekonomi dan kegiatan perikanan tradisional, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Riza.
Rustan (39), nelayan tradisional yang tergabung dalam Perhimpunan Nelayan Kecil (PNK) di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, mengungkapkan, penurunan harga premium menjadi Rp 5.500 per liter belum memberikan manfaat bagi nelayan.
Harga premium di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum perairan di Kota Tarakan saat ini Rp 6.500 per liter, sedangkan di tingkat pengecer mencapai Rp 7.200 per liter. Terbatasnya sarana pengisian bahan bakar bagi nelayan membuat mereka terjerat untuk membeli premium kepada pengecer.
"Penurunan harga premium tidak membawa manfaat bagi nelayan karena minimnya sarana pengisian bahan bakar di perkampungan nelayan. Nelayan terpaksa membeli bahan bakar minyak dengan harga mahal," tutur Rustan.
Riza mengatakan, pemerintah dituntut segera membenahi pasokan BBM secara lebih merata, kemudahan akses, dan harga yang terjangkau guna memicu kebangkitan perikanan tradisional.
Total jumlah sarana penyalur bahan bakar bagi nelayan adalah 225 unit, tersebar di 136 kabupaten/kota di 31 provinsi. Departemen Kelautan dan Perikanan mengusulkan penambahan 47 unit kios penyaluran solar bagi nelayan (solar pack dealer nelayan) ke Pertamina. (LKT)
Demikian dikemukakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik di Jakarta, Selasa (9/12).
Alokasi BBM yang tidak memadai dan merata di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil selama ini menyebabkan masyarakat terbebani membeli BBM eceran dengan harga 30-300 persen lebih mahal ketimbang harga resmi yang dipatok pemerintah.
"Penurunan harga BBM jenis premium dan solar tidak memberikan dampak yang signifikan bagi pembenahan ekonomi dan kegiatan perikanan tradisional, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Riza.
Rustan (39), nelayan tradisional yang tergabung dalam Perhimpunan Nelayan Kecil (PNK) di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, mengungkapkan, penurunan harga premium menjadi Rp 5.500 per liter belum memberikan manfaat bagi nelayan.
Harga premium di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum perairan di Kota Tarakan saat ini Rp 6.500 per liter, sedangkan di tingkat pengecer mencapai Rp 7.200 per liter. Terbatasnya sarana pengisian bahan bakar bagi nelayan membuat mereka terjerat untuk membeli premium kepada pengecer.
"Penurunan harga premium tidak membawa manfaat bagi nelayan karena minimnya sarana pengisian bahan bakar di perkampungan nelayan. Nelayan terpaksa membeli bahan bakar minyak dengan harga mahal," tutur Rustan.
Riza mengatakan, pemerintah dituntut segera membenahi pasokan BBM secara lebih merata, kemudahan akses, dan harga yang terjangkau guna memicu kebangkitan perikanan tradisional.
Total jumlah sarana penyalur bahan bakar bagi nelayan adalah 225 unit, tersebar di 136 kabupaten/kota di 31 provinsi. Departemen Kelautan dan Perikanan mengusulkan penambahan 47 unit kios penyaluran solar bagi nelayan (solar pack dealer nelayan) ke Pertamina. (LKT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar