PANDANGAN BERSAMA
ORNOP dan ORMAS Nelayan Terhadap 4 (empat) Tahun Kinerja Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHII,
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan/KIARA
Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia/KPNNI
Sejak awal dikumandangkan—Deklarasi DJoeanda (1957) telah memberikan keteguhan atas konsepsi
Harapan yang disandarkan kepada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dalam empat tahun terakhir, justeru tidak memberikan arah dan sikap yang konkret dalam upaya membenahi kegiatan perikanan nasional, termasuk didalamnya upaya mensejahterakan nelayan dan petambak tradisional, serta upaya serius dalam melindungi keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut nasional. Berbagai kegagalan tersebut dapat dilihat pada sejumlah pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, diantaranya:
1. Dalam hal keluarnya UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), untuk pertama kali Negara memberikan konsesi atas wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada sektor swasta (termasuk asing) hingga lebih dari 20 tahun. Hal ini sekaligus menunjukkan arah keberpihakan Negara terhadap sektor swasta daripada masyarakat pesisir, adat, dan perikanan tradisional.
2. Keluarnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KepMenDKP) No.06 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) di Perairan Kabupaten Kalimantan Timur Bagian Utara, menunujukkan inkonsistensi kebijakan Negara dalam mengatasi praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia. Sejak era 80-an, penggunaan trawl diperairan Indonesia telah ditetapkan oleh sejumlah kebijakan Negara sebagai bagian dari pelanggaran/kejahatan perikanan, baik dengan alasan memicu konflik sosial, maupun terkait ancaman keberlanjutan sumberdaya periakanan nasional. Keluarnya KepMenDKP No.06 pada pertengahan tahun 2008, menunjukkan pemerintah tidak cermat melihat sitausi perikanan nasional yang sudah menunjukkan situasi yang sangat memprihatinkan, bahkan gejala krisis ikan sudah semakin nyata.
3. Pilihan revitalisasi perusahaan udang terbesar—PT.Dipasena hingga penjualan perusahaan tersebut kepada Konsorsium Neptune di pertengahan tahun 2007 lalu, adalah sebuah kekeliruan nyata baik dalam konteks penguatan usaha perikanan nasional (kususnya komoditas andalan udang), maupun dalam upaya memberdayakan masyarakat petambak (plasma) yang selama ini dirugikan. Akibat dari penjualan asset tersebut, lebih dari 60% dari lahan potensial pertambakan udang di propinsi Lampung, dikuasai oleh industri yang syarat atas kerusakan lingkungan dan masalah sosial.
4. Minimnya pemahaman Negara akan pentingnya melindungi sumberdaya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, baik secara ekologis, sosial maupun bagi keberlanjutan ekonomis masyarakat perikanan tradisional, telah menyebabkan laut ditempatkan sebagai “tong sampah”. Upaya pembuangan lumpur panas Lapindo ke laut, hingga ekspolitasi pulau-pulau kecil untuk kegiatan pertambangan adalah gambaran terkini dari ketidakberpihakan Negara dalam menjamin dan melindungi kehidupan masyarakat nelayan dan petambak tradisional.
5. Hingga kenaikan BBM ketiga Mei 2008 lalu, tuntutan nelayan untuk pemenuhan hak atas keadilan energi (akses, alokasi, harga) belum juga terpenuhi. Padahal, kegagalan kebijakan energi nasional tersebut telah menyebabkan 4 dari 10 armada nelayan tradisional tidak dapat melaut, hingga menurunnya kemampuan jelajah kapal patroli keamanan laut dalam menjaga laut Indonesia dari praktek kejahatan perikanan.
6. Program nasional industrialisasi pertambakan dengan dukungan Bank Pembangunan Asia—ADB (2006-2013) sebesar US$30juta, telah menyebabkan kehancuran lahan basah dan ancaman bencana ekologis yang semakin nyata dihadapan masyarakat pesisir Indonesia. Hingga tahun 2003, akibat hilangnya ekosistem lahan basah dan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan telah menyebabkan lebih dari 12,000 desa pesisir terkena banjir, lebih dari 750 desa pesisir terkena abrasi, dan lebih dari 12,000 hektar lahan tambak terbengkalai dan di konversi menjadi kawasan perindustriaan.
7. Lemahnya perlindungan Negara terhadap nelayan tradisional Indonesia yang ditangkap oleh Negara asing, baik akibat akibat ketidaktahuan terhadap batas-batas terrorial maupun atas dasar hak perairan tradisional. Maraknya penangkapan nelayan-nelayan Indonesia oleh pemerintah Australia dan Malaysia akhir-akhri ini telah menyebabkan ratusan nelayan kehilangan alat tangkap dan terlantar di Negara asing.
8. Konflik perebutan sumberdaya pesisir antara nelayan tradisional dan korporasi (termasuk asing) terbukti gagal diselesaikan oleh Kabinet Indonesia Bersatu. Konflik ini telah menyebabkan kerugian besar terhadap Negara, kalangan nelayan tradisonal, dan masyarakat pesisir.
9. Lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku illegal fishing telah menyebabkan maraknya praktek kejahatan perikanan diperairan Indonesia. Hal ini menjadi tanda tanya besar keberpihakan dan komitmen Kabinet Indonesia Bersatu dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan nasional.
Berdasarkan hal tersebut diatas, kami memandang bahwa Kabinet Indonesia Bersatu belum secara sungguh-sungguh membenahi sektor kelautan perikanan nasional sebagai bagian dari pilar penyelamatan
Kontak:
M.Riza Damanik, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)—0818773515
Berry N Furqon, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)—08125110979
Dedy Ramanta, KPNNI (Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia)— 08131491254
Tidak ada komentar:
Posting Komentar