Jalesveva Jayamahe. Semboyan Angkatan Laut Republik
menggetarkan: ”Di Laut Kita Jaya”!
Lupakan sejenak olok-olok ataupun cerita-cerita konyol terkait berbagai
kasus ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Lupakan dulu bahwa 80
persen dari sekitar 7.000 kapal perikanan di laut Nusantara adalah milik
asing meski dipasangi bendera
persen dari ekspor berbagai komoditas kita yang dilayani kapal domestik,
sedangkan 95 persen lainnya oleh kapal-kapal asing.
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), yang dideklarasikan oleh
Perdana Menteri Ir Djoeanda pada 13 Desember 1957 dan diterima PBB pada
1982, bukankah sudah sepantasnya bila mimpi sebagai penguasa laut itu bisa
diwujudkan? Kalaupun hari ini belum jadi kenyataan, paling tidak impian itu
bisa menjadi semacam doa.
Masih dalam suasana peringatan ulang tahun kemerdekaan RI seperti sekarang,
ketika nilai-nilai patriotisme muncul dari lorong dan sudut-sudut jalan,
mendengar semboyan bahwa ”Di Laut Kita Jaya” seharusnya menggugah
kembali semangat bahari pada anak-anak bangsa ini. Ungkapan ”nenek
moyangku orang pelaut”, seperti tertuang dalam salah satu bait lagu yang
sangat terkenal itu, juga seharusnya tidak sekadar kata-kata kosong tanpa
disertai kesadaran untuk mengelola laut Nusantara sebagai sumber hidup dan
penghidupan bagi anak bangsa ini.
Namun, yang kerap dilupakan adalah kesadaran bahwa kejayaan tidak datang
begitu saja hanya lantaran kita ditakdirkan sebagai bangsa yang memiliki
wilayah laut begitu luas. Kejayaan itu mesti dibangun dan direbut. Bukan
cuma slogan, apalagi sekadar semboyan yang dimitoskan.
Pertanyaannya, sudahkah bangsa ini mensyukuri karunia Tuhan itu dengan
memberi perhatian lebih pada matra kelautan yang dimilikinya? Sudahkah laut
ditempatkan sebagai yang utama, sesuatu yang penting, sehingga orientasi
kita pun sebagai bangsa lebih diarahkan untuk menatap laut daripada daratan?
Tanpa harus membolak-balik statistik keuangan negara mengenai seberapa besar
alokasi dana APBN untuk pembangunan kelautan, atau mengukur komitmen negara lewat aturan perundang- undangan yang diciptakannya sebagai pijakan bagi kebijakan kelautan, dengan gamblang pertanyaan-pertanya an tadi sudah
menemukan jawabannya sendiri.
Bahwa, setelah 63 tahun Indonesia merdeka, laut masih diabaikan. Perhatian
pemerintah masih dan bahkan cenderung akan terus tersedot ke daratan. Sejauh
ini laut baru dilihat sebatas potensi tidur.
”Ini pula yang menjadi faktor kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, persoalan besar sebuah negeri
dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah bagaimana memelihara
kedaulatan laut dan memanfaatkan potensinya seoptimal mungkin bagi
kesejahteraan rakyat,” kata Susanto Zuhdi, guru besar sejarah (maritim)
dari Universitas Indonesia.
Ditinggalkan
Tiap tanggal 21 Agustus, kalender peringatan hari-hari bersejarah bagi
bangsa ini mencatatnya sebagai Hari Maritim. Akan tetapi, seberapa banyak
warga-bangsa yang tahu dan peduli bahwa hari itu menandai awal penguasaan
laut Nusantara oleh Indonesia yang direbut dari tangan Jepang?
Pada peringatan Hari Maritim 2008, beberapa waktu lalu, hampir tak ada
berita di media massa—cetak maupun elektronik— nasional yang
menyuarakannya. Perhatian lebih terfokus pada kisruh dunia perpolitikan,
kasus aliran dana Bank Indonesia yang kian tak menentu ujungnya,
melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok, hingga gosip-gosip di
sekitar kehidupan para selebritas.
Peringatan Hari Maritim pun berlalu tanpa catatan berarti. Laut baru ditoleh
dan mendapat tempat dalam pemberitaan ketika ombak mengganas dan kisah
tragis tenggelamnya kapal yang menelan banyak korban terjadi. Jangankan
peringatan Hari Maritim, kisah heroik para penjelajah pulau-pulau terluar
yang dimotori oleh Wanadri pun seperti tenggelam dalam hiruk-pikuk
keseharian bangsa bahari yang masih berorientasi ke daratan ini.
Ironis? Memang! Tak berlebihan bila mantan Panglima Armada Barat TNI AL
Djoko Sumaryono sampai pada kesimpulan, ”… harus jujur kita akui bahwa
budaya maritim yang pernah kita miliki berabad-abad lalu telah lama kita
tinggalkan.”
Akibatnya bukan saja laut Nusantara kehilangan kendali sepenuhnya oleh sang
pemilik, kedaulatan bangsa pun kian terancam. Meski satu-dua kasus
penangkapan kapal-kapal ikan asing yang beroperasi di perairan Nusantara
sempat mencuat, sesungguhnya jauh lebih banyak yang bebas berkeliaran dalam
aksi pencurian ikan di wilayah kedaulatan Indonesia.
Belum lagi berbagai kasus penyelundupan, perompakan, dan pelanggaran wilayah
oleh kapal asing yang melintas tanpa izin. Semua itu mengindikasikan
ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Berbagai potensi kerawanan itu
secara tidak langsung ikut meruntuhkan wibawa Indonesia sebagai penguasa
laut Nusantara di mata internasional.
Dengan luas wilayah laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, melingkupi
pantai sepanjang 81.000 kilometer atau setara dua kali panjang khatulistiwa,
bisa dipahami jika potensi kerawanan selalu muncul. Kondisi ini tentunya
menuntut perhatian lebih, terutama bila mimpi untuk menjadi penguasa laut
Nusantara benar-benar ingin diwujudkan.
Masalahnya, dihadapkan pada kenyataan ini, TNI AL sebagai garda terdepan
pengamanan laut Nusantara yang begitu luas hanya memiliki kurang dari 150
kapal perang. Itu pun hanya sepertiganya yang berpatroli secara bergantian,
sepertiga lagi dalam posisi siaga, dan sisanya dalam perawatan.
Bahkan, menurut catatan peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Jaleswari
Pramodhawardani (”Jalesveva Jayamahe”, Cuma Tinggal Mitos?, 2007), saat
ini tinggal 40 persen alat utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI AL
yang bisa dikatakan layak pakai. Dari 209 unit KAL (kapal patroli berukuran
lebih kecil dibandingkan kapal perang), misalnya, yang dalam kondisi siap
operasi tinggal 76 unit. Adapun dari 435 unit kendaraan tempur Marinir,
hanya 157 unit dalam kondisi siap.
Keterbatasan itu masih dihadapkan pada kondisi di mana peralatan pertahanan
yang dimiliki TNI AL tersebut rata-rata sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan teknologi. Sekadar contoh, Jaleswari menunjuk kondisi 79 buah
KRI, kapal patroli, dan kapal pendukung yang layak pakai ternyata usia
pakainya 20-40 tahun.
Jaleswari bahkan menambahkan, ”10 kapal pendukung (usia pakainya) telah
lebih dari 40 tahun. Saat ini Marinir (malah) masih mempergunakan kendaraan
tempur produksi tahun 1960-an, yang secara teknis telah sangat menurun efek
penggetar dan pemukulnya.”
Dari paparan singkat tersebut, jelas bahwa kekuatan TNI AL sebagai penjaga
laut Nusantara sangat tidak sebanding dengan wilayah laut yang harus mereka
awasi. Itu baru satu hal. Sudah bukan rahasia lagi bila kekayaan laut
Nusantara lebih banyak dinikmati oleh pihak asing.
Di sektor perikanan, misalnya, sebagaimana telah disinggung di awal tulisan
ini, dari sekitar 6,7 juta ton ikan hasil tangkapan dari wilayah laut
Indonesia per tahun, sebagian besar dinikmati pengusaha-pengusaha asing. Di
luar hasil tangkapan yang dicuri nelayan-nelayan asing, 80 persen lebih dari
sekitar 7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di perairan Nusantara
milik pemodal dari luar yang diberi bendera Indonesia.
Kehadiran nelayan-nelayan asing bukan saja bentuk pelanggaran kedaulatan
bangsa, tapi juga kian memarjinalkan posisi nelayan-nelayan domestik. Para
nelayan kita terjepit.
Selain harus bersaing dengan nelayan asing yang ditopang permodalan kuat,
nelayan-nelayan lokal juga harus menyiasati berbagai kesulitan akibat
ketidakberpihakan pemerintah atas nasib mereka, termasuk di dalamnya dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak yang terus ”menggila” sejak
beberapa tahun terakhir. Kearifan lokal yang mereka warisi juga ikut
terdesak oleh penggunaan teknologi maju di bidang perikanan.
Bagaimana dengan transportasi laut untuk melayani aktivitas ekspor-impor?
Ini jauh lebih mengerikan. Berbagai sumber menyebutkan, 95 persen arus
bongkar-muat komoditas ekspor-impor dikuasai kapal-kapal asing. Bahkan,
lebih dari 50 persen barang dagangan yang diantarpulaukan pun menggunakan
jasa armada pelayaran asing berbendera ”Merah Putih”.
Apa boleh buat! Inilah sebagian dari ironi yang melingkupi sebuah negeri
yang telah mengklaim diri sebagai negara kepulauan alias negara bahari.
Keinginan untuk menjadi penguasa laut Nusantara yang sesungguhnya, sebuah
negara maritim yang berorientasi kelautan, hingga sejauh ini tampaknya masih
sebatas harapan.
Memang dibutuhkan keberanian untuk melakukan semacam reorientasi nilai.
Paradigma negara konsentris yang bertumpu pada daratan mesti
digeser—paling tidak dilakukan bertahap—ke pengembangan budaya maritim.
Jika tidak, semboyan Jalesveva Jayamahe-nya TNI AL bisa jadi hanya berhenti
sebatas slogan sebagaimana kekhawatiran Jaleswari Pramodhawardani. Cuma
tinggal mitos! (wad/ken) Kompas cetak, Jumat, 5 September 2008 | 03:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar