11 Agustus, 2008

PERIKANAN ASIA-PASIFIK HADAPI OVER-FISHING, KEMISKINAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Para petinggi, pakar dan stake-holder yang menangani perikanan dari 25 negara Asia dan Pasifik bertemu membahas permasalahan dan tantangan sector perikanan, dalam Sidang Utama (Main Session) Asia-Pacific Fishery Commission (APFIC) ke-30. Kegiatan agenda tahunan FAO ini berlangsung tgl 11-13 Agustus 2008, di Hotel Ritzy Manado. Diselenggarakan bersama pemerintah Indonesia, dibantu oleh Badan Pembangunan Internasional Swedia (SIDA). Sebelumnya para pejabat senior telah mengadakan pertemuan pendahuluan berupa APFIC Regional Consultative Forum tgl 6-9 Agustus 2008 di tempat yang sama.


Dalam pidato pembukaannya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi menyampaikan bahwa walaupun saat ini pengelolaan sektor perikanan telah menunjukkan berbagai kemajuan, namun masih memerlukan kerja keras dan kerjasama berbagai pihak, dalam lingkup regional maupun global, dalam menghadapi kondisi serius pengurangan sumberdaya alam, kemiskinan nelayan, dan ancaman perubahan iklim.

Banyak daerah penangkapan ikan di Asia dan Pasifik telah mengalami lebih tangkap dan perusakan, sehingga sumberdaya perairan yang ada telah mengalami penurunan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Guna memulihkan kondisi dan menciptakan pengelolaan yang berkelanjutan serta bertanggung jawab, diperlukan kerjasama antar negara, berupa pengaturan peralatan penangkapan ikan (termasuk trawl), zonasi daerah tangkap, pengaturan waktu penangkapan ikan, penanganan IUU fishing, pemanfaatan ikan rucah (trash/low value fish), serta meningkatkan kualitas data dan statistic perikanan.

Guna mengendurkan tekanan pada sector perikanan tangkap, maka peran akuakultur diharapkan dapat menggantikannya. Saat ini akuakultur di Asia Pasifik telah menunjukkan perkembangan produksi yang menggembirakan, namun harus diupayakan kualitas operasionalisasinya harus bertanggung jawab dan ramah lingkungan. Dalam pertemuan APFIC ke-30 ini diharapkan dapat disepakati tentang implementasi program Sertifikasi Akuakultur.

Disamping berfungsi untuk menyediakan pangan yang bergizi bagi masyakarakat, serta melakukan pengelolaan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab, sektor perikanan juga menghadapi permasalahan internal yang sangat penting, yakni menanggulangi kemiskinan masyarakat nelayan itu sendiri. Apalagi saat ini sedang diperparah oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dunia. Pertemuan APFIC ke-30 diharapkan membahas secara mendalam pola subsidi, program pengembangan nelayan tradisional kea rah perikanan samudera, cara penanganan dan pengolahan ikan, termasuk untuk memperoleh nilai tambah produk, penciptaan mata pencaharian alternative, serta terus mendorong system co-management yang saat ini telah berkembang baik.

Agenda yang disoroti secara serius dalam APFIC ke-30 ini juga akan membahas tentang ancaman perubahan iklim terhadap kelautan, terutama sector perikanan, termasuk kehidupan masyarakatnya. Diharapkan mulai dipikirkan tentang dampak pemanasan global terhadap pemukiman nelayan, dan kemungkinan perubahan yang terjadi pada biota perairan. Materi mengenai dampak perubahan iklim dan peran laut terhadap perubahan iklim itu sendiri, tentu terkait dengan CTI (Coral Triangle Initiative) dan penyelenggaraan WOC (World Ocean Conference) 2009. 

CTI adalah kolaborasi enam negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, dan Solomon Islands) yang memiliki sebagian besar kawasan terumbu karang dunia, dengan didukung oleh beberapa negara besar, untuk mengelola terumbu karang secara intensif dan positif. WOC 2009 yang diselenggarakan atas inisiatif Indonesia, akan berlangsung tgl 11-15 Mei 2009 di Menado, guna membahas tentang perubahan iklum global, terkait dengan kelautan, termasuk perikanan.

Manado, 11 Agustus 2008, Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi,
Ttd Soen’an Hadi Poernomo

Tidak ada komentar: