Saatnya Bertindak Lebih Tegas Terhadap Pencuri Ikan
Saat Departemen Kelautan dan Perikanan atau DKP tak lagi memperpanjang
izin penangkapan ikan bagi kapal berbendera asing pada 2007, timbul
keyakinan takkan ada lagi pencurian di perairan
perusahaan asing diberi peluang mengembangkan industri perikanan terpadu
di wilayah nusantara.
Akan tetapi, fakta memperlihatkan sebaliknya. Selama Januari-Mei 2008, DKP
telah menangkap dan menahan 150 unit kapal ikan asing yang kedapatan
mencuri ikan. Jumlah itu mendekati penangkapan pada tahun 2007 sebanyak
184 unit.
Bobot kapal ikan asing tersebut berkisar 30 grosston (GT) sampai 100 GT.
Alat tangkap yang digunakan, antara lain pukat dasar yang dapat menjaring
semua jenis dan ukuran ikan, termasuk menghancurkan terumbu karang.
Aktivitas kapal penangkap selalu dikawal ”kapal induk” selaku penampung
ikan secara bergantian. Jika sudah terisi penuh, ”kapal induk” langsung
berlayar keluar dari perairan Indonesia, lalu membongkar muatan ikan di
negara asal.
Modus seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun. Penertiban pun terus
dilakukan DKP, TNI AL, dan Kepolisian. Bahkan, TNI AL, misalnya, pada
tahun 2004 pernah menerapkan kebijakan penembakan dan penenggelaman setiap kapal ikan asing ilegal. Namun, tindakan tersebut ternyata tidak membuat
pelaku pencurian jera.
Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso meyakini kurang lebih 1.000 unit kapal
asing ilegal masih beroperasi di perairan Indonesia. Volume penangkapan
setiap kapal rata-rata 100 ton per bulan. Penangkapan terkosentrasi di
Laut Arafura, Laut China Selatan, dan perairan Sulawesi bagian utara.
Kerugian yang diderita Indonesia sangat besar. Pertama, dari ikan yang
ditangkap dan diangkut secara ilegal keluar negeri berkisar 1 juta ton
sampai 1,5 juta ton per tahun dengan nilai 2 miliar dollar AS sampai 3
miliar dollar AS atau setara Rp 20 triliun-Rp 40 triliun per tahun.
Kedua, ikan-ikan yang ditangkap yang terpakai hanya tuna. Selebihnya
dibuang lagi ke laut karena tidak sesuai ketentuan industri pengolahan di
negara asal. Kerugian ini pun mencapai triliunan rupiah. Ketiga, kerugian
lain adalah kerusakan terumbu karang dan biota laut sehingga ikan yang
masih hidup sulit berkembang biak karena kehilangan habitat.
Penenggelaman kapal
Dengan kerugian yang sangat banyak itu, menurut Sularso, semua instansi
terkait harus lebih kompak melakukan tindakan tegas secara
berkesinambungan. Salah satu tindakan yang digagas adalah menenggelamkan
kapal asing yang kedapatan mencuri ikan.
”Biaya pengadaan satu unit kapal ikan mencapai jutaan dollar AS. Jadi,
kalau penenggelaman kapal asing ilegal itu menjadi keputusan pemerintah
yang harus dilakukan terus-menerus, perusahaan asing mana pun akan
berpikir seribu kali untuk mengoperasikan kapalnya menangkap ikan secara
ilegal di perairan Indonesia,” kata Sularso.
Namun, pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana,
tidak sependapat dengan gagasan itu. Ia mengatakan, kapal yang digunakan
untuk menangkap ikan secara ilegal belum tentu dimiliki pelaku kejahatan.
Kapal itu bisa saja disewa sehingga penenggelaman rawan menuai gugatan
dari pemiliknya. ”Penanganan kapal ilegal harus mengikuti proses hukum
dengan menunggu keputusan pengadilan, apakah kapal itu disita, dilelang,
dimusnahkan, atau dikembalikan kepada pemilik,” kata Hikmahanto, (Kompas,
24 April 2008).
Pakar hukum laut, Hasyim Djalal, juga mengingatkan untuk mewaspadai
kemungkinan adanya gugatan pemilik kapal di pengadilan. Namun, menurut ia,
keputusan untuk menenggelamkan kapal asing ilegal dapat dilakukan karena
telah terjadi pelanggaran terhadap kedaulatan perairan teritorial
Indonesia.
Kendati demikian, Sularso berpendapat, penangkapan ikan secara ilegal yang
diperparah lagi dengan perusakan terumbu karang dan biota laut termasuk
kejahatan yang sulit ditoleransi. ”Jadi, penenggelaman kapal adalah bagian
dari upaya menekan dan membasmi kejahatan tersebut,” tutur Sularso.
Alasan lain adalah minimnya sarana untuk mengawasi laut. Hingga saat ini
DKP, misalnya, hanya memiliki 21 unit kapal pengawas yang harus beroperasi
dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote.
Keterbatasan tersebut tidak bisa teratasi dalam waktu singkat, mengingat
pemerintah masih dilanda krisis ekonomi. Untuk mengimbanginya dibutuhkan
tindakan tegas petugas pengawasan di lapangan terhadap kapal ikan asing
ilegal sehingga timbul efek jerah.
”Kalau kita berani bertindak tegas, saya yakin nakhoda kapal ikan asing
ilegal takkan berani melakukan pencurian ikan. Sebaliknya, kalau kita
ragu-ragu dalam bertindak, pencurian ikan pasti tetap marak,” kata
Sularso.
Investasi baru Kapal ikan asing ilegal itu umumnya berasal dari Thailand, Filipina, dan China. Ketiga negara tersebut sebetulnya pernah mendapatkan izin
penangkapan ikan di perairan Indonesia. Akan tetapi, melalui Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006, izin tersebut tidak
lagi diperpanjang.
Izin penangkapan hanya diberikan jika pengusaha asing membangun dan
mengembangkan industri perikanan terpadu di Indonesia. Artinya, ikan yang
ditangkap wajib dibongkar di salah satu pelabuhan di Indonesia, lalu
diolah dan diekspor.
Tujuannya agar industri perikanan nasional dapat berkembang. Harapan itu
mulai terwujud. Selama 27 Juli 2006 sampai 16 Januari 2008 sebanyak 35
perusahaan asing dan nasional melakukan investasi baru industri perikanan
terpadu. Lokasinya, antara lain di Manokwari, Natuna, Sibolga, Belawan,
Jakarta, Aceh, dan Minahasa. Investor asing, antara lain China, Thailand,
Amerika Serikat, Malaysia, dan Vietnam. Mereka umumnya melakukan patungan
dengan investor nasional.
Total nilai investasi mencapai 162,479 juta dollar AS atau setara Rp 3,644
triliun. Pada tahap awal tenaga kerja yang tertampung sekitar 46.524 orang
yang meliputi 29.721 orang untuk penangkapan dan 16.803 orang menangani
usaha pengolahan di darat.
Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan DKP
Martani Huseini, industri pengolahan perikanan di luar negeri, terutama di
Thailand, Filipina, dan China, mulai menderita krisis bahan baku. Untuk
itu, para pemodal terus melirik Indonesia menjadi lokasi pengembangan
investasi usaha perikanan terpadu.
”Antusiasme investor asing tersebut adalah buah dari semakin ketatnya
Indonesia memerangi pencurian ikan dan melarang ekspor sejumlah jenis ikan
dalam bentuk gelondongan. Kondisi ini harus dipertahankan karena nilai
tambah dari adanya investasi sangat besar,” tutur Martani. (Jannes Eudes Wawa) Kompas. Kamis, 12 Juni 2008.
2 komentar:
Kenapa kapal nelayan kita dibakar habis oleh Pemerintah Australia, kita tidak menuntut atas nama HAM?
Dan ketika kapal-kapal asing dengan seenak udelnya saja menangkap secara illegal kita tidak boleh bakar/ musnahkan??
bagaimana agar pemerintah kita bisa secara serius untuk melakukan penegakan hukum di laut kita?
salam,
suryadi
Dirjen Pengawasan dan Pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Sudah Berupaya maksimal.
Posting Komentar