28 Juni, 2008

Australia Bakar lagi Satu Kapal Nelayan Indonesia

Otoritas keamanan perairan Australia membakar sebuah kapal nelayan Indonesia asal Merauke setelah tertangkap tangan sedang menangkap ikan kakap di perairan laut Arafura 15 Juni lalu, kata Kabid Penerangan Sosial dan Budaya Konsulat RI Darwin, Arvinanto Soeriaatmadja.
"Kapal 'Ramlan-07' dengan enam orang awak ini sudah masuk wilayah Australia,"katanya dalam penjelasannya kepada ANTARA di Brisbane, Rabu malam.
Ke-enam anak buah kapal dari "home port" (pelabuhan asal) Merauke itu diberi kesempatan untuk menurunkan bendera Merah Putih dari tiang kapal dan beberapa barang mereka sebelum kapal dibakar, katanya.

Seperti umumnya para nelayan Indonesia lain yang tertangkap, nakhoda dan anak buah kapal "Ramlan-07" itu kini ditahan di Pusat Penahanan Darwin sembari menunggu kasusnya disidangkan, kata Arvinanto.
Kasus nelayan Indonesia yang ditangkap dan ditahan di Darwin dengan tuduhan bahwa mereka menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan Australia bukan lagi cerita baru.

Pada April 2008 misalnya, Konsulat RI Darwin sempat mencatat setidaknya ada 253 nelayan Indonesia yang ditahan otoritas Australia di Pusat Penahanan Darwin. Mereka umumnya adalah para nelayan asal Sulawesi Selatan yang merupakan awak dari 33 kapal ikan.
Tidak semua nelayan Indonesia yang ditangkap dan kemudian kapalnya dihancurkan otoritas keamanan Australia adalah mereka yang tertangkap tangan saat menangkap ikan di perairan negara tetangga ini. Ada kalanya mereka ditangkap kapal-kapal patroli Australia saat mereka masih berada di perairan Indonesia.
Kasus nelayan Indonesia yang menjadi korban salah tangkap dan pemerintah federal Australia membayar ganti rugi atas kapal-kapal mereka yang terlanjur dibakar pernah terjadi dua bulan lalu.

Bahkan pada 14 Mei lalu, lebih dari 200 nelayan Indonesia yang sedang ditahan di Pusat Pehananan Darwin, menggelar protes atas tindakan otoritas Australia yang mereka tuding telah menangkap kapal-kapal ikan mereka di dalam perairan Indonesia.
Sehari setelah aksi protes di Pusat Penahanan Darwin itu, Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia, Tony Burke, mengatakan kepada parlemen negara itu bahwa sebanyak 55 nelayan Indonesia yang ditahan di Pusat Penahanan Darwin terbukti tidak melanggar kedaulatan perairan Australia.

Para nelayan itu kemudian diberikan pembayaran kompensasi (ganti rugi) atas kapal-kapal mereka yang dihancurkan aparat Australia pada saat penangkapan, kata Burke.
Terhadap pengakuan dan pembayaran kompensasi ini, Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb menyambut baik sikap ksatria pemerintah federal Australia yang mengakui bahwa sembilan dari 33 kapal nelayan Indonesia yang telanjur ditangkap kapal patroli negara itu terbukti tidak bersalah dan diberi ganti rugi.
"illegal fishing" masalah bersama

Dalam masalah "illegal fishing" di perairan Australia oleh kapal ikan asing, termasuk asal Indonesia, Menteri Dalam Negeri Australia Bob Debus, baru-baru ini mengatakan bahwa "illegal fishing" adalah masalah yang bukan hanya dihadapi Australia tetapi juga Indonesia.
Cara efektif untuk mengatasi persoalan itu adalah kerjasama internasional, katanya. "Pencurian ikan adalah masalah internasional yang telah mengancam stok ikan dunia, lingkungan bahari dan keamanan perbatasan semua negara di kawasan," kata Debus.
Persoalan perbedaan peta yang dikeluarkan TNI AL dan otoritas Australia merupakan hal yang dikeluhkan sebagian nelayan Indonesia yang pernah ditahan di Pusat Penahanan Darwin.

Seperti pernah disampaikan Arvinanto, banyak di antara nelayan Indonesia itu mengatakan bahwa mereka menggunakan "peta nomor 367" yang dikeluarkan TNI Angkatan Laut tahun 2000 sebagai pegangan mereka dalam melaut.
Dalam "peta nomor 367" itu, perbatasan laut kedua negara memang terlihat namun daerah zona penangkapan yang diarsir sesuai dengan kesepakatan MoU Box 1974 kedua negara tidak jelas terlihat dalam peta yang dikeluarkan TNI AL dan menjadi pegangan para nelayan, katanya.

"Kita sudah menerima 'peta nomor 367' yang menjadi pegangan banyak nelayan kita ini dari Otoritas Manajemen Perikanan Australia (AFMA). Memang secara teknis, tidak terlihat jelas daerah yang diarsir sebagaimana yang ada dalam peta yang dikeluarkan pihak Australia," katanya.

Dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Australia, berdasarkan MoU Box 1974, para nelayan tradisional Indonesia masih memiliki akses penangkapan di zona khusus.
Kawasan yang diperbolehkan Australia bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah Kepulauan Karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Tidak ada komentar: