Pemuda Maritim - Apabila
beberapa orang masih meragukan kebenaran nenek moyang bangsa dengan
label ‘pelaut’, tidak demikian dengan komunitas Suku (Orang) laut. Suku
Laut merupakan komunitas adat yang hidup mengembara di laut. Berdasarkan
literatur The National Museum of Singapore dalam ringkasan laporan
pendataan masyarakat terasing di daerah perbatasan Riau oleh Departemen
Sosial (1998) disebutkan, sebagian besar hidup bermukim di Provinsi
Kepulauan Riau.
Berbeda dengan pada umumnya suku-suku lain, Suku Laut sejak awal memilih laut sebagai habitatnya, tempat membentuk lingkungan sosial dan budaya (Arba MF dan Rahman, 2002). Mobilitas kehidupan komunitas ini menyebar, khususnya yang berada di wilayah Batam berada di sekitar Selat Malaka, Selat Phillip, selat Singapura, dan Laut China Selatan.
Bagi negara, mobilitas tersebut ternyata menyebabkan persoalan teritorial tersendiri, sebagaimana diungkap Dirjen Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial RI (1988) bahwa mobilitas Suku Laut menyebabkan persoalan sosial di antaranya menyangkut konsentrasi teritorial, masalah politis, masalah ekonomi, masalah sosial budaya, dan masalah pertahanan keamanan.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar perlunya campur tangan pemerintah melalui Program Perberdayaan Komunitas Suku Laut dengan salah satu output dari pelaksanaan program adalah bermukimnya secara permanen komunitas di pulau Bertam, Kota Batam.
Program ini diyakini sebagai program unggulan pemerintah, dengan pelaksana program di bawah koordinasi Departemen Sosial serta merupakan proyek percontohan pembinaan Suku Laut melalui peran serta masyarakat, kerjasama Depsos RI dengan organisasi sosial, yaitu Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam yang sebelumnya bernama Forum Komunikasi Dan Konsultasi Sosial (FKKS) Batam.
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil menyebutnya sebagai ‘salah satu bentuk kepedulian dan komitmen pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan pada mereka yang masih belum tersentuh proses pembangunan nasional yang umumnya berada pada daerah-daerah yang sulit terjangkau’.
Hidup Permanen
Ketika Suku Laut harus hidup secara permanen, perubahan hidup menjadi sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya sebagai pengembara (nomaden) di lautan. Menetap secara permanen menyebabkan kehidupan mereka tergantung dengan kondisi lingkungan sekitar pulau, salah satunya adalah polusi.
Polusi di perairan Batam diakibatkan limbah industri perkapalan di sekitar Pulau Batam. Jarak yang relatif dekat antara Pulau Batam dan Pulau Bertam menyebabkan berkurangnya habitat ikan sehingga mempengaruhi hasil tangkapan warga Bertam, yang secara langsung berpengaruh pada pendapatan.
Mengingat pekerjaan utama mayoritas warga Bertam adalah nelayan, sehingga pendapatan mereka sangat tergantung pada hasil tangkapan ikan. Dengan semakin sedikitnya tangkapan ikan di perairan Bertam serta berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelum bermukim di Bertam membuat sebagian besar warga melakukan kegiatan ‘bertandang’.
Kegiatan bertandang dilakukan warga selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk mencari ikan di sekitar perairan kepulauan Riau dengan membawa serta istri dan anak mereka, tak terkecuali mereka yang masih duduk di bangku sekolah.
Akibat kegiatan ini, anak pun membolos, sehingga berpengaruh pada proses belajar mengajar. Yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah bahwa ‘pelaut’ merupakan keahlian mereka yang telah turun-temurun menjadi napas dalam kehidupan. Aset inilah yang menggerakkan roda kehidupan utama komunitas.
Berbeda dengan pada umumnya suku-suku lain, Suku Laut sejak awal memilih laut sebagai habitatnya, tempat membentuk lingkungan sosial dan budaya (Arba MF dan Rahman, 2002). Mobilitas kehidupan komunitas ini menyebar, khususnya yang berada di wilayah Batam berada di sekitar Selat Malaka, Selat Phillip, selat Singapura, dan Laut China Selatan.
Bagi negara, mobilitas tersebut ternyata menyebabkan persoalan teritorial tersendiri, sebagaimana diungkap Dirjen Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial RI (1988) bahwa mobilitas Suku Laut menyebabkan persoalan sosial di antaranya menyangkut konsentrasi teritorial, masalah politis, masalah ekonomi, masalah sosial budaya, dan masalah pertahanan keamanan.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar perlunya campur tangan pemerintah melalui Program Perberdayaan Komunitas Suku Laut dengan salah satu output dari pelaksanaan program adalah bermukimnya secara permanen komunitas di pulau Bertam, Kota Batam.
Program ini diyakini sebagai program unggulan pemerintah, dengan pelaksana program di bawah koordinasi Departemen Sosial serta merupakan proyek percontohan pembinaan Suku Laut melalui peran serta masyarakat, kerjasama Depsos RI dengan organisasi sosial, yaitu Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam yang sebelumnya bernama Forum Komunikasi Dan Konsultasi Sosial (FKKS) Batam.
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil menyebutnya sebagai ‘salah satu bentuk kepedulian dan komitmen pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan pada mereka yang masih belum tersentuh proses pembangunan nasional yang umumnya berada pada daerah-daerah yang sulit terjangkau’.
Hidup Permanen
Ketika Suku Laut harus hidup secara permanen, perubahan hidup menjadi sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya sebagai pengembara (nomaden) di lautan. Menetap secara permanen menyebabkan kehidupan mereka tergantung dengan kondisi lingkungan sekitar pulau, salah satunya adalah polusi.
Polusi di perairan Batam diakibatkan limbah industri perkapalan di sekitar Pulau Batam. Jarak yang relatif dekat antara Pulau Batam dan Pulau Bertam menyebabkan berkurangnya habitat ikan sehingga mempengaruhi hasil tangkapan warga Bertam, yang secara langsung berpengaruh pada pendapatan.
Mengingat pekerjaan utama mayoritas warga Bertam adalah nelayan, sehingga pendapatan mereka sangat tergantung pada hasil tangkapan ikan. Dengan semakin sedikitnya tangkapan ikan di perairan Bertam serta berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelum bermukim di Bertam membuat sebagian besar warga melakukan kegiatan ‘bertandang’.
Kegiatan bertandang dilakukan warga selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk mencari ikan di sekitar perairan kepulauan Riau dengan membawa serta istri dan anak mereka, tak terkecuali mereka yang masih duduk di bangku sekolah.
Akibat kegiatan ini, anak pun membolos, sehingga berpengaruh pada proses belajar mengajar. Yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah bahwa ‘pelaut’ merupakan keahlian mereka yang telah turun-temurun menjadi napas dalam kehidupan. Aset inilah yang menggerakkan roda kehidupan utama komunitas.
Sumber : http://jurnalmaritim.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar